Selasa, 08 September 2009


SITI HAJAR, wanita istimewa yang menggoreskan arti emansipasi sesungguhnya dalam sejarah Tauhid. dilahirkan sebagai budak tak lantas membuat derajatnya menjadi hina. justru melalui beliau, Allah memperkenalkan ketauhidan tak hanyalah milik bangsawan ataupun kaum rahib yang memang sudah terlahir dalam lingkungan yang mendukung. Tauhid dapat dimiliki sebagai harta sekaligus kebebasan terbesar seorang insan yang menyerahkan dirinya hanya pada Allah semata, meskipun insan tersebut hanya berstatus sebagai budak sekalipun. pada kisah Siti Hajar, Allah juga menggambarkan begitu Indah dan mulianya Tauhid yang juga bisa di tembus oleh kebebasan gender (baca:emansipasi). Karena bagi Allah, yang termulia di MataNya adalah yang memiliki ketauhidan sempurna tanpa keraguan tak perduli apakah itu perempuan ataupun laki-laki.

Dinikahi oleh Nabiyullah Ibrahim AS atas anjuran Siti Sarah adalah dengan niat agar Nabiyullah Ibrahim AS dapat memiliki keturunan sebagai penerus risalah. Sebelumnya, mungkin bermimpipun tidak Siti Hajar akan diangkat derajatnya begitu tinggi menjadi istri seorang Nabi. namun Allah telah menganugrahkan kemuliaan ini padanya sebagai hadiah yang membuat jalan hidupnya menjadi lebih berarti dari sebelumnya yang sekedar sebagai budak hina biasa. belum henti kegembiraannya akan anugrah tersebut, ia di beri lagi anugrah mulia lainnya berupa kelahiran Ismail yang kelak oleh Allah juga di angkat derajatnya menjadi seorang Nabi layaknya ayahanda Ibrahim AS. Kebahagiaan yang begitu lengkap sebagai seorang wanita yang telah memiliki keluarga utuh membuat Siti Hajar tak henti-hentinya bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan padanya.

Namun demikian, sudah Sunatullah ketika seseorang telah diangkat derajatnya oleh Allah, maka ia akan diberi ujian untuk menegtahui apakah kemuliaan tersebut dapat bertahan dalam jendela Tauhid yang merupakan fitrah setiap insan yang tercipta di dunia ini? Dengan bermaksud lebih memuliakannya lagi, Siti Hajar diletakkan pada situasi, dimana ia harus berpisah dengan suami tercintanya di tengah padang gersang tak berpenghuni hanya bersama anaknya Ismail yang masih bayi. Tentu keadaan ini bukanlah keadaan yang mudah bagi seorang istri yang baru saja mendapatkan anugrah sebuah keluarga yang utuh. Ia akan tinggal di padang itu tanpa suami yang juga sudah tentu tidak akan menafkahinya lahir batin selama ia dan Ismail berada di padang tersebut. Tapi sudah pasti Allah meletakkan Siti Hajar pada situasi tersebut karena telah mampu melihat kapasitas keimanan Siti Hajar yang istimewa.

Dengan penuh ketaatan, Siti Hajar menerima perpisahan yang mengharukan dengan suaminya tanpa bantahan sedikitpun, juga tanpa permintaan untuk bercerai karena pada kondisi tersebut, ia tak akan dinafkahi suaminya dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Kesetiaannya pada Allah SWT dan pada suaminya Nabiyullah Ibrahim AS telah membentuknya menjadi wanita yang melaksanakan emansipasi sesungguhnya. Dengan jerih payah dan tanggung jawabnya sebagai seorang bunda, ia berusaha mencarikan air bagi bayi Ismail yang sedang kehausan di tengah padang gersang nan tandus. Dengan penuh ketaatan dan ketakwaan ia berlari-lari antara bukit safa dan marwah berharap ada oase ataupun insan lain yang lewat memberinya keajaiban setetes air. Namun harapannya tak segera terjawab. Bukanlah Siti Hajar jika harus menyerah begitu saja pada keadaan. Mentalnya sebagai budak yang telah terbiasa hidup susah telah membuatnya menjadi seorang wanita yang tangguh. Kembali dengan keimanan yang penuh, ia berlari lagi diantara kedua bukit kecil itu hingga tujuh kali. Karena ia tak juga mendapatkan apa-apa, akhirnya ia kembali pada Ismail untuk melihat keadaan buah hati tercintanya itu.

Allah begitu mencintai Siti hajar atas emansipasi tauhid yang dilakukannya dengan penuh ketaatan dan ketakwaan. pada saat Ismail terus menangis dan Siti hajar baru saja menghampirinya dari usahanya mencarikan Ismail air, Allah langsung menurunkan keajaiban kepada ibu dan anak tersebut berupa keluarnya sebuah sumber mata air tepat dibawah kaki Ismail yang sedang menendang-nendang pasir karena kehausan. Dan jadilah sumber mata air itu memberi kehidupan tidak hanya pada buah hatinya Ismail, melainkan seluruh kafilah-kafilah yang melewati padang tersebut, hingga padang yang dulunya gersang tak berpenghuni menjadi ramai diduduki kafilah-kafilah yang membentuk peradaban baru di sekitarnya.

Keberhasilan Siti hajar membangun sebuah komunitas peradaban di sepanjang padang gersang tersebut, merupakan bentuk keberhasilan emansipasi yang hanya bisa dilakukan oleh wanita setangguh dan sekuat Siti Hajar saja. Atas keberhasilan emansipasi tauhidnya itu, Allah mengembalikan dirinya pada suami tercinta dan mengabadikan perjuangan mencarikan Ismail air sebagai sebuah momentum atas ibadah umat Islam hingga kini dalam ritual Ibadah Haji dan Umrah.

Sangat special, karena Ibadah haji ini diletakkan Allah sebagai rukun Islam yang kelima, menggambarkan bahwa haji adalah ibadah dimana seorang muslim telah bertauhid, menjalankan sholat, puasa dan berzakat sebagai kemapanan ibadahnya. kemampanan ibadah inilah yang akan membentuk pribadi seorang muslim yang tak sekedar melakukan rukun-rukun tersebut sebagai ritual belaka, melainkan terimplikasikan melalui ahlakul karimahnya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ke-empat rukun sebelum haji telah terlampaui secara lahir dan bathin maka pelaksanaan haji adalah sebagai simbol kesempurnaan ibadah rukun Islam yang mnandakan bahwa insan tersebut telah mapan secara spritual dan lahiriah.

Dan Siti Hajar pun ikut berperan secara monumental dalam Emansipasi Tauhid tersebut. Walauhualambishowab. [gkw]

Minggu, 06 September 2009

Buaian Mimpi

Posted by Kak Galuh On 14.41 | No comments
Ketika pada suatu ujung hari yang hening, jauh dari kehidupan duniawi yang memabukkan, sebuah desiran suara membisikkan "sebentar lagi kau akan mati". Mengayun lembut pada mimipi yang entah sudah berapa kali terjadi. Sejenak suara itu menghilang dan membuat jiwa yang terbuai mimpi segera bangun dan tersadar. Jiwa ini memiliki raga yang masih berusia muda. Mungkinkah jiwa itu akan segera pergi secepat itu dari raga yang terlihat masih sehat ini??? Istighfar pun meluncur dari lidah kelu yang entah apakah selama ini telah cukup banyak terpakai untuk menyebut Asma Allah, Sang Pemberi Kehidupan pada si empunya mimpi???

Setelah sholat lail, berdzikir dan bersimpuh kepadaNYA hingga subuh tak juga membuat si empunya mimpi menjadi lebih baik. Ia tetap merasa belum memiliki apa-apa untuk dibawanya sebagai bekal andai kematian itu memang terbentang di depan matanya bak jurang lebar yang tiba-tiba hadir di depan pintu kamarnya. Sama sekali tak bisa dihindari. Karena tak ada jalan keluar dari kamar itu selain pintu kamar itu sendiri. Adapun jendela yang terpasang lebar di sudut kamar lain telah diteralis besi oleh pemilik rumah tempatnya mengontrak.

Bagaimana jika ia mati sekarang??? Sudah cukupkah sholatnya, puasanya, zakatnya selama ini??? Apakah sholat, puasa, zakat, berbuat baik pada sesama saja sudah cukup sebagai bekalnya menghadap Sang Pencipta. Tiba-tiba si empunya mimpi menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang tidak mendapatkan keinginnnya dari orang tuanya. Ia menangis karena selama dua puluh empat jam setiap hari yang dilaluinya hanya ketika sholat saja ia mengingat Allah. Pada waktu lain, ia hanya disibukkan oleh pekerjaan yang tak kunjung selesai. Ia juga menangis karena hanya berpuasa pada bulan Ramadhan, sedangkan pada bulan-bulan lain ketika ada kesempatan berpuasa sunah, tak pernah ia kerjakan. Ia pun menangisi, harta yang dikeluarkannya untuk zakat hanyalah setahun sekali ketika menjelang idul fitri. Selebihnya, ia pakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin hari semakin banyak, bertambah karena tuntutan zaman dan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Allah yang sudah memberikan rezeki tersebut padaNya.

Ia terus menangis hingga air matanya kering... tapi terlambat sudah... malaikat maut sudah menunggunya di depan pintu kamar... [gkw]

Rabu, 29 Juli 2009

Selamatkan Anak

Posted by Kak Galuh On 06.12 | No comments
Sumpah saya tidak akan menulis yang aneh-aneh disini. Becanda pun tidak. Sebab hal ini bukan untuk ditertawakan atau dibecandakan. Boleh lah sekali-kali saya tidak becanda. Meskipun becanda itu senjata ampuh penolak santet dan anti interograsi. Tapi sekali lagi saya tidak ingin becanda dalam hal ini.

Itu saya kemarin melihat tiba-tiba TV hidup. Entah siapa yang menjadi Tuhan baginya. Soalnya ketika saya datang ke tempat TV, dirinya sudah hidup seperti itu. Tapi biarlah. Saya tidak perduli siapa Tuhan dia. Sebab Tuhan saya hanya Allah dan Muhammad saw-lah rasul saya.

Si TV sebenarnya tidak saya persalahkan atas kehidupannya. Yang saya permasalahkan adalah apa yang dia perlihatkan pada saya. Entah kenapa hal seperti itu bisa terjadi lagi. Disaat tanggal keramat seperti waktu itu. Ya 23 Juli 2009.

Tepat ditanggal keramatnya anak-anak se-Indonesia itu, saya kembali dibuat terdiam oleh TV. Bukan berarti TV telah menajdi Tuhan buat saya. Atau dia punya ilmu hipnotis seperti Romy Rafael. Tapi karena apa yang saya lihat ternyata begitu sangat ..... apa ya??? Saya susah mendeskripsikannya. Terserah mau dikatakan apa. Saya ceritakan saja sekilas. Tidak usah banyak-banyak. Kalau banyak-banyak nantinya tidak bagus. Seperti halnya hujan. Kalau hujan kebanyakan nantinya banjir. Seperti rumah saya dulu yang lalu kala. Ah, tidak usah saya ceritakan. Ini masalah saya dengan hujan.

Singkat cerita, sebelum saya melihat adegan yang membuat saya ngilu, saya terlebih dahulu melihat siaran berita tentang usaha Pemerintah & LSM yang konsern masalah peranakan (bukan peranakan dalam arti orang hamil ini beda jauh). ”Katanya” mereka ingin agar dalam menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2009 ini dilakukan berbagai kegiatan. Macam-macamlah kegiatannya. Saya juga tidak tahu pasti. Yang jelas ada konferensi pers, aksi damai di Bundaran HI, dan propaganda mengurangi menonton TV.

Kegiatan yang menampilkan Seto Mulyadi (Komnas Perlindungan Anak), Fetty Fajriati Miftach (Komisi Penyiaran Indonesia Pusat), dan Dr.Sudjatmiko (Ikatan Dokter Anak Indonesia) ini memang ”katanya” ditujukan untuk memberikan pembelajaran agar keluarga serius terhadap masa depan anak-anak mereka. Terlebih lagi terhadap dampak negatif dari TV. Acara-acara TV sebagian besar justru berisi hal yang tidak sehat, tidak mendidik, menampilkan realitas semu, dan gaya hidup berlebihan. Intinya lebih banyak menimbulkan distruksi. Begitu yang mereka bilang.

Sampai disana saya sangat merespon positif atas usaha dan ide ini. Iya sampai disana. Sampai sebelum acara penganugerahan piala-piala yang entah atas hasil apa. Hasil balapan kerupuk kah? Entah. Saya tidak begitu menyimak ketika alasan si pememang layak mendapatkan piala itu. Yang saya lihat naiklah Luna Maya disertai Ariel Peterpan menuju podium. Dengan digemuruhi sorak-sorai anak-anak yang bagai semut gatal di bawahnya.

Klimaknya setelah Luna Maya diminta untuk speak-speak thank you atau apalah namanya. Seketika itu dari bawah berteriaklah anak-anak yang belum baligh itu. Kalau terikan takbir sih bagus. Walaupun saya bakal protes juga kalau sampai anak-anak itu teriak takbir. Masa takbir di acara seperti begitu. Sayangnya teriakan mereka justru malah seruan agar Ariel berbuat mesum pada Luna seketika itu juga di panggung. Cium... ciummm... ciummmm...

Innalilahi.... Apa yang ada di otak mereka pikir saya. Padahal sesaat lalu mereka, orang tua mereka, panitia, satpam, penyelenggara, pakar, dan semua makhluk yang hadir disana baru saja selesai menyepakati tentang arah yang lebih baik untuk anak-anak Indonesia. Kalau ternyata yang lebih baik itu saat ini seperti demikian. Seperti yang mereka biarkan itu anak-anak kecil berteriak-teriak mesum tanpa dilarang. Maka jangan salahkan saya untuk mengatakan pada Khalil Gibran bahwa ucapannya;

... Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya, Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, Yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian …

sudah tidak berlaku lagi bagi saya saat ini. [begundal militan]

Sabtu, 13 Juni 2009

Resensi: The Road To The Empire

Posted by Kak Galuh On 10.42 | No comments
Judul Buku: The Road To The Empire
Penulis: Sinta Yudisia
Penyunting: Maman S. Mahayana & Taufan E. Prast
Tebal: 586 hlm; 20,5 cm
Terbit: Cetakan 1, Desember 2008
Cetakan 2, Februari 2009
Penerbit: PT. Lingkar Pena Kreativa, 2008


The Road To The Empire, adalah sebuah kisah perjuangan heroik penuh hikmah yang terjadi pada peradaban Bangsa Mongolia, keturunan Jengis Khan yang tersohor bengis dan kejam beberapa abad lalu. Novel betikan Sinta Yudisia ini bukanlah sekedar kisah tentang perebutan kekuasaan, konspirasi, dan kudeta yang layaknya terjadi pada sebuah perjalanan kekuasaan para Kaisar. Juga bukan sekedar kisah cinta terhormat yang tersembunyi mewarnai kehidupan tokoh sentralnya. Semuanya terangkum secara apik. Tapi dibalik tema The Road To The Empire tersebut ada sebuah kisah yang menjadi ruh novel ini, yakni tentang perjuangan keimanan yang patut menjadi renungan. Sekaligus pengingat, bahwa sunnah sejarah selalu berulang. Sejak zaman Rasulullah Saw., hingga masa peradaban Mongolia yang terekam dalam novel ini, kembali sejarah menampilkan pengulangan. Jalan mendaki, terjal, fitnah, kesabaran tanpa batas, adalah resiko yang harus dihadapi dalam mempertahankan keimanan. Inilah pesan agung dari The Road To The Empire.

Adalah Tuqluq Timur Khan, seorang Kaisar Mongol yang berkuasa pada saat itu menjalin kisah persahabatan yang monumental dengan Syeikh Jamaluddin, musafir Muslim yang sedang mengembara di daratan Mongol bersama beberapa muridnya. Awalnya, pengembaraan tersebut menyebabkan Kaisar murka. Karena Sang Musafir telah dianggap menggangu waktu berburu Kaisar. Namun tak diduga, ketika Syeikh Jamaluddin ditangkap dan hendak dibunuh oleh prajurit Kaisar, Kaisar Tuqluq Timur Khan dengan kebencian penuh kesal menanyakan permintaan terakhir Syeikh Jamaluddin, segera Syeikh Jamaluddin pun menjawab pertanyaan Kaisar secara arif. Sebuah jawaban yang mencerminkan kesederhanaan serta keyakinan yang teguh. Tersentak hati Kaisar Tuqluq Timur Khan mendengar jawaban yang diutarakan Syeikh Jamaluddin. Alih-alih Syeikh Jamaluddin akan dieksekusi, Kaisar sebalikya menjadi kagum dengan Syeikh Jamaluddin. Karena ternyata jawaban yang dilontarkan Syeikh Jamaluddin berbanding terbalik dengan keyakinan warisan leluhurnya Jengis Khan. Kaisar Tuqluq Timur Khan telah mempercayai bahwa Kaisar Mongolia adalah keturunan dewa yang berhak melebarkan kekuasaan pada bangsa, dan suku lain untuk tunduk dalam sebuah imperium emas Mongolia dengan hanya satu kepemimpinan saja. Karenanya, sebagai titisan dewa ia merasa berhak untuk melakukan apapun untuk mencapai ambisi leluhurnya, meski dengan terus berperang secara keji dan tak kenal belas kasih jika ada yang menghalangi niatnya. Kesederhanaan Syeikh Jamaluddinlah yang akhirnya meruntuhkan seluruh kesombongan Tulquq Khan. Dan pada akhirnya persahabatan sejati terjalin dengan sebuah janji, bahwa suatu saat Mongol akan berdiri sebagai bangsa yang besar, beradab dalam naungan keyakinan dan kesederhanaan sejati, seperti yang diyakini oleh Syeikh Jamaluddin.

Mewanginya persahabatan tersembunyi antara Sang Kaisar dan Sang Musafir, tercium begitu anyir oleh beberapa petinggi kekaisaran, termasuk panglima besar kepercayaan Kaisar Albuqa Khan yang ingin tetap mempertahankan status quo, yakni kekuasaan mutlak dibawah kaki imperium Mongol dengan satu kepemimpinan. Mimpi buruk warisan leluhurnya itu ternyata telah begitu membutakan mata hati pendukung status quo. Sehingga mereka berani melakukan konspirasi jahat untuk melenyapkan Kaisar Tulquq Khan dan Permaisuri Ilkhata, yang bagi mereka terlalu lemah dan sudah tidak pantas memimpin bangsa Mongol yang kuat seperti serigala. Makar berhasil dilaksanakan. Kaisar dan Permaisuri wafat, dibunuh secara keji. Tetapi ketiga putra Kaisar dan Permaisuri tidak ikut dibunuh. Bahkan Pangeran pertama menghilang dari istana. Hilang dalam penyelematan diri atas titah Permaisuri dipenghujung akhir hayatnya. Karena pada Pangeran kesatulah janji yang terikat antara Kaisar Tuqluq Khan dan Syeikh Jamaluddin diwariskan. Tugas Suci yang tidak mudah ini menyebabkan Takudar sebagai putra mahkota pergi meninggalkan kedua adiknya Argun Khan dan Buzun di Istana. Takudar pergi bersama seorang dayang istana kepercayaan Permaisuri, Uchatadara. Mereka pergi ke suatu tempat dimana ahli waris satu-satunya Syeikh Jamaluddin yaitu Rasyiduddin tinggal.

Sejak menghilangnya pangeran kesatu Takudar, secara otomatis Pangeran kedualah Argun Khan yang menempati tahta kekaisaran. Kepemimpinan Argun Khan sangat dipengaruhi oleh Albuqa Khan, sehingga Argun Khan lebih terlihat seperti boneka Sang Panglima. Terlebih, Argun Khan sangat mencintai Urghana putri pertama Panglima yang cantik, cerdas, tinggi ilmu bela dirinya, dan juga memiliki kepribadian bangsawan yang santun. Namun sayang, cinta sang Kaisar bertepuk sebelah tangan, karena ternyata putri Panglima lebih mencintai Pangeran ketiga, Buzun. Pangeran ketiga yang menjabat sebagai kepala bendaharawan Kekaisaran itu, sifat dan karakternya begitu lembut dan welas asih terhadap orang miskin. Begitu jauh berbeda dengan sifat dan karakter Pangeran kedua, Argun Khan.

Kaisar Argun Khan melanjutkan ambisi leluhurnya Jengis Khan merebut Jerusalem di bawah Imperium Mongolia. Bahkan, Kaisar Argun Khan lebih kejam dari leluhurnya Jengis Khan. Meskipun leluhurnya Jengis Khan terkenal bengis dan tanpa ampun pada bangsa lain, tetapi masih berupaya untuk mensejahterakan bangsa Mongol secara keseluruhan. Berbeda dengan Argun Khan, kebijakan pemerintahannya sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Pendapatan negara yang diperoleh dari upeti bangsa-bangsa yang telah ditaklukkannya lebih banyak diprioritaskan untuk keperluan militer semata. Tak mengherankan bila perlengkapan perang dan pasukan yang dimiliki oleh Argun Khan adalah yang terbaik. Para pasukan dilatih dengan disiplin tinggi dan sangat keras pada perguruan-perguruan bela diri terbaik di negeri Mongolia. Tak hanya perlengkapan militer dan fisik, mental pasukan juga di persiapkan sedemikian rupa, hingga pada saat terjun ke medan perang mereka menjadi prajurit-prajurit tangguh yang tidak memiliki belas kasih sedikitpun, bagaikan serigala kelaparan yang memangsa domba tanpa ampun dan hanya menyisakan tulang-belulang saja. Rakyat yang semakin menderita hanya dapat memendam ketidakpuasan tersebut, karena takut akan tebasan pedang para algojo berbadan besar yang siap kapan saja menghujamkan pedang tajamnya atas perintah Kaisar Argun Khan. Kelak situasi ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Argun Khan saat menghadapi kakaknya, sang pangeran ke satu Takudar Khan dalam sebuah peperangan bersejarah.

Jika Argun Khan memiliki perlengkapan senjata dan pasukan yang memadai untuk dipersiapkan pada sebuah perang penaklukkan, sebaliknya Pangeran kesatu Takudar Khan tidak memiliki setengahpun dari apa yang dimiliki oleh adiknya. Di sisi Takudar hanya ada segelintir sahabat kaum Muslimin yang kerap menyemangatinya untuk menghentikan kekejian Argun Khan dengan perlawanan berbalutkan keimanan. Berbekal pendidikan santri di Babusallam tempat Rasyiduddin, Takudar Khan yang menyamar sebagai Baruji dalam pelariannya, mulai mengumpulkan strategi untuk menghentikan kekejaman Argun Khan. Dalam perenungannya pada misi besar dan mulia itu Takudar dihadapkan oleh perang batin yang dahsyat dan menguras seluruh emosinya. Tak dapat dipungkiri dalam darahnya mengalir deras ambisi Mongolia sebagai bangsa penakluk yang tak terkalahkan, berseberangan dengan aqidah yang telah diimaninya, dimana penegakkan keadilan dan perlawanan kepada pemerintahan lalim dan jahil dibawah panji Diinullah adalah sebuah kewajiban. Terbayang olehnya menghadapi kedua saudara kandungnya Argun dan Buzun, bukanlah perkara mudah mengingat mereka pernah tumbuh bersama dalam kedamaian masa kecil yang indah. Tapi tentu saja iman bukanlah hal yang pantas dipertaruhkan hanya karena darah yang sama. Saudara sekalipun, jika telah melewati batas-batas kemanusiaan akan menjadi musuh bagi keimanan yang diyakininya.

Masa-masa penyusunan strategi dan kekuatan bagi Takudar dan pasukan Muslim disekitar daratan Mongolia adalah masa-masa terberat. Pada prosesnya Takudar berhasil mendapatkan kitab sejarah perang milik Jengis Khan yang dicuri oleh Uchatadara. Kitab inilah yang menjadi gambaran bagi Takudar untuk membaca kekuatan lawan dibalik persiapan minimalis yang dimilikinya. Selain kitab tersebut, Takudar dibantu oleh beberapa Syeikh berpengalaman mengkaji strategi-strategi perang milik Rasulullah Saw. dan Sahabat, yang dalam sejarahnya kerap memenangkan perang meski dengan jumlah pasukan dan peralatan perang terbatas, jauh dengan apa yang dimiliki lawannya. Kunci dari rahasia terbesar Rasulullah Saw. dan pasukannya yang tidak didapati pada kitab sejarah perang milik Jengis Khan adalah keimanan, berpegang teguh kepada Diinullah. Bagi Takudar dan pasukannya, kunci rahasia tersebut adalah senjata paling ampuh diantara sekian banyak senjata perang tercanggih yang dimiliki oleh Argun Khan pada saat itu. Islam dengan segala kesempurnaannya telah memberi keuntungan bagi para pemeluknya. Jika mati dalam peperangan maka mereka meraih syahid, dan jika menang kemulianlah yang diraihnya. Oleh karenanya, meskipun tidak lebih dari sepuluh ribu pasukan, mereka tak gentar sedikitpun melawan pasukan Kaisar Argun Khan yang jumlahnya dua puluh kali lipat dari mereka.

Benar saja. Disaat perang antara kedua pasukan tak bisa dihindari lagi, pasukan Muslim yang meski sempat mengacau-balaukan barisan pasukan Argun Khan, secara tiba-tiba berkurang sedikit demi sedikit karena jumlah yang tak sepadan. Tapi tentu kematian mereka bukanlah sesunguhnya kematian. Terbayang pula begitu banyak bidadari-bidadari cantik yang menyambut diatas langit daratan Mongolia, menjemput jiwa-jiwa syahid yang tak pernah tersesat dalam kepulangannya. Pada saat Argun Khan merasa kemenangan berpihak padanya, dengan penuh kesombongan serupa Fir’aun dikarenakan pasukan lawan hanya tersisa Takudar Khan sebagai pemimpin dan beberapa orang sahabat saja, tiba-tiba saja Argun Khan dikagetkan oleh senjata rahasia milik kaum Muslimin bernama keimanan. Situasi yang semula berada dalam genggaman Argun Khan dibalikan seketika oleh Dzat Maha Besar yang tak pernah dikenal dan diyakini oleh Argun Khan selama ini. Sebagian pasukan Argun Khan yang telah lama muak dengan kelalimannya memecah diri dan berbalik memihak pewaris tahta sesungguhnya, Takudar Khan. Dengan harapan keadaan Mongolia akan lebih baik pada pundak Pangeran ke satu itu yang terlihat lebih bijak dan bersahaja. Belum reda sakit hati Argun Khan atas pengkhianatan pasukannya, ia di kejutkan pula oleh bala bantuan pasukan Muslimin yang datangnya dari Mesir untuk mengalahkan pasukan Argun Khan yang sebelumnya telah terpecah belah terlebih dulu. Dengan segala keyakinan yang di miliki Muhammad Takudar Khan, ia telah mampu menundukkan kezaliman yang diciptakan oleh adik kandungnya sendiri. Tunai sudah janji pada Ilahnya, pada kaum Muslimin taklukan Mongol, dan tentu pada Sang Ayah yang sedang tersenyum puas di alam yang terpisah jauh jaraknya dari alam kemenangannya saat itu.

Kisah epik ini, patut menjadi sumber inspirasi dan penyemangat bagi siapapun yang merasa bahwa kejayaan Islam sudah tidak mungkin lagi terjadi di dunia. Perjalanan perjuangan Takudar Khan tergambar jelas pada surat At-Taubah: 25-26. “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada rasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan Bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir”. Maka dari itu, perjuangan menegakkan Diinullah tidak akan pernah berakhir dan terhenti meski zaman terus berubah. Keimanan atas Diinullah inilah perjuangan akan terus berlanjut, hingga kejayaan Islam kembali. Dan Aqidah atas Diinullah menjadi kunci rahasia kejayaan itu. [gkw]



Kamis, 11 Juni 2009

Wanita di Emperan Musholla

Posted by Kak Galuh On 05.23 | No comments
Ketika saya coba mengamati wajah wanita yang berada di samping saya itu, ia tersenyum penuh keikhlasan di tengah peluhnya yang bercucuran. Tak sedikitpun terlihat wajah sedih ataupun kesusahan layaknya cerita yang baru saja mengalir dari bibirnya yang kering itu. Saya tidak belum pernah mengenal wanita itu, tapi entah mengapa rasanya seperti saya sudah mengenalnya bertahun-tahun. Dalam balutan gamis coklat tua dan juga bergo babat besar warna senada ia termenung pada emperan musholla terminal. Di genggamannya ada sebuah tas plastik kresek berwarna hitam yang isinya adalah setelan gamis dari bahan denim. Ia hendak menjual isi kresek tersebut kepada siapapun yang mau membelinya.

“Suami saya sudah dua minggu tidak pulang.” Wanita itu mencoba membuka pembicaraan. “Sebelum pergi dua minggu yang lalu ia berpesan, bahwa jika dalam waktu seminggu ia tidak pulang, maka telah terjadi sesuatu pada dirinya, dan dia minta saya mengikhlaskan dirinya.” Saya mulai memalingkan wajah saya yang tadinya tertunduk kearah wanita tersebut mengisyaratkan pada wanita itu bahwa saya siap dan serius ingin mendengar ceritanya. Wanita itu tersenyum penuh keikhlasan dan kembali bercerita sambil memandang jauh ke depan. “Suami saya bukan suami seperti kebanyakan orang. Ia juga bukan orang yang tidak bertanggung jawab pada keluarganya, meski fitnah tentang kelalaiannya pada keluarga sudah santer terdengan sejak awal kami menikah.” Sambil menghela nafas panjang ia kembali bercerita. “Mbak... mau menolong saya?” Saya gelagapan merespon pertanyaannya yang tiba-tiba itu. “eee... apa yang bisa saya bantu mbak?”saya balik bertanya padanya. “Ini adalah barang terbaik saya.“ ujarnya sambil menyodorkan gamis denim dari kresek yang dibawanya. “Kemarin ada seorang teman yang suaminya sama seperti suami saya, sudah tidak pulang sebulan lamanya tanpa ada kabar berita. Ia kerumah saya berniat untuk meminjam uang karena anaknya yang baru berusia satu tahun sudah tiga hari demam dan tidak juga turun. Kemarin saya belum bisa bantu karena saya memang tak memegang uang sepeserpun. Tapi jika mbak mau membeli gamis ini, mungkin saya bisa membantu teman saya itu.” Jelasnya lugas tanpa adanya tekanan nada kesulitan pada kalimat-kalimatnya.

“Terimakasih mbak.” Ucapnya saat saya memberikan beberapa lembar uang lima puluh ribuan padanya yang sesaat kemudian langsung dibalas olehnya dengan memberikan gamis denim yang di jualnya itu pada saya. Dengan tersenyum padanya saya kembalikan gamis itu sambil berkata “gamis ini adalah gamis favorit saya. sekarang saya menghadiahkannya untuk mbak sebagai sahabat baru saya. Tolong terima ya!” wanita itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pada saya. “Mbak sudah punya anak? “ Tanya saya mencoba untuk lebih akrab. “Sudah. Alhamdulillah sudah empat.” Jawabnya penuh kebanggaan. “Apa mereka tidak bertanya tentang bapaknya? Maaf jika pertanyaan saya terlalu pribadi”. “oh... tidak apa-apa. Anak-anak saya sudah tahu siapa bapaknya, dan untuk alasan apa bapaknya sering pergi dalam waktu yang lama tanpa ada kabar berita. Mereka anak-anak yang tangguh.” Sambil tersenyum simpul ia berkata lagi, “mereka memanggil bapaknya sebagai ‘pekerja langit’.” “Untuk alasan yang tidak akan pernah dimengerti oleh orang pada umumnya, orang-orang seperti suami saya tidak akan pernah berhenti untuk terus berjuang menyebarkan nilai-nilai sejati pada setiap sendi kehidupan di dunia ini. Ada yang merasakannya sebagai racun yang membunuh, tapi ada juga yang menikmatinya sebagai dahaga di sebuah padang pasir tandus.” Ucap wanita itu mengakhiri pembicaraan kami sambil kemudian menyalami saya penuh persahabatan dan menghilang di balik kerumunan seribu orang yang berlalu lalang di terminal.

Setelah pertemuan itu, saya kerap memikirkan wanita itu dengan bayangan-bayangan yang terkadang muncul atas daya khayal yang saya ciptakan sendiri. Pertemuan yang sungguh tak biasa, tapi terus menyisakan sejumlah pertanyaan yang tak pernah usai dan tak pernah terjawab hingga kini. Dan pertanyaan –pertanyaan dalam alam khayal itu bertambah menggigit saat saya membuka Al-quran yang menyebabkan terbacanya sebuah ayat yang artinya: “(berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS 2: 273).


Apakah orang-orang seperti keluarga wanita di emperan mushola itu adalah termasuk dari orang-orang yang terikat yang tidak dapat berusaha di muka bumi ini??? Entahlah… Wallahu’alam…  [gkw]

Kamis, 04 Juni 2009

Bowo, Remaja 17 Tahun

Posted by Kak Galuh On 06.30 | No comments
Dini hari ini Bowo kembali harus bangun lebih awal lagi sebelum pemilik emperan toko tempat dia menginap mencacinya dengan segala sumpah serapah yang mungkin saja akan disertai dengan siraman air bekas rendaman pakaian seperti yang dirasakannya tempo hari. Seandainya saja Bowo mampu melangkahkan kakinya pulang ke rumah, mungkin ia tak kan harus bangun sepagi ini. Tapi apa yang akan dikatakannya pada orang-orang rumahnya ketika mereka mengetahui Bowo pulang tanpa membawa hasil apapun, sementara Ibu dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil seperti kumpulan anak ayam yang sangat membutuhkan perlindungan induknya itu begitu bergantung pada apapun yang dibawa Bowo pulang kerumahnya. Entah itu hanya gorengan oncom yang berjumlah tiga biji ataupun suatu waktu yang sangat jarang sebungkus nasi padang lengkap dengan ayam karenya, tak perduli apa yang dibawa Bowo, yang penting enam mulut dirumahnya yang termasuk ibunya memiliki sesuatu untuk dimakan dan dibagi, meskipun pembagian tersebut sangatlah jauh dari ukuran keadilan dan kesejahteraan.


Sudah empat hari Bowo tak muncul dirumahnya. Sang Ibu yang sebenarnya masih terlihat segar itupun sudah beberapa hari ini celingukan menantikan kehadirannya. Setahun lalu ketika adik bungsunya baru saja lahir, Bapak Bowo pamit untuk mencari kerja di Ibu Kota demi mencukupi kebutuhan ke-enam anaknya. Namun pada saat Bapak Bowo melangkahkan kakinya satu langkah keluar rumah, pada saat itu pula Bowo merasa laki-laki tak bertanggung jawab itu tidak akan kembali lagi. Dan benar saja, meski tiap hari sang Ibu begitu rajin menengok halaman depan rumahnya, tetap saja tak ditemukan sosok lelaki yang dicintainya itu. Kepergian Bapak Bowo tidak begitu memberi pengaruh besar bagi Bowo dan adik-adiknya. Karena toh selama Ia berada di rumah , tak ada satupun yang berguna yang dilakukannya kecuali menambah utang dari segala penjuru pelosok kampung ini. Satu-satunya yang masih dengan sabar melayani Bapak Bowo hanyalah Ibunya. Sang Ibu yang cantik itu begitu mencintai Bapak yang pengangguran itu. Meski sering dibohongi Bapak Bowo, Sang Ibu tetap memujinya habis-habisan di depan anaknya sebagai seorang bapak yang baik. Terkadang Bowo jengah dengan pujian-pujian tersebut. Karena toh sudah hampir setahun lelaki kebanggaannya itu tak jua memunculkan diri untuk memenuhi apa yang sudah dijanjikan kepada keluarganya ketika lelaki itu pamit untuk pergi.


Adik-adik Bowo merengek kelaparan. Menari-narik baju sang Ibu. Si bungsu yang sedang menyusu itu pun ikut menjerit bergabung bersama kakak-kakaknya yang diantaranya hanya berjarak selang setahun itu. Rumah kontrakan Bowo yang sudah terlihat kumuh itu semakin mengumuh ketika keramaian suara adik-adiknya memenuhi seluruh ruangan bahkan sampai sempat membuat para tetangga ada yang menutup erat kupingnya, membanting pintu isyarat muak dengan suara-suara tersebut. Bagaimana ini? Ibu Bowo mengeluh dan tak tahu harus melakukan apa. Diambilnya sandal, lalu dipukulilah anak-anaknya itu. Adik-adik Bowo kesakitan mereka mencoba untuk menjerit lebih keras lagi, namun tak kalah sengit Sang Ibu memukulkan sandalnya lebih keras lagi sehingga Adik-adik Bowo menyerah. Kehabisan nafas. Kehabisan airmata. Kehabisan suara. Setelah semuanya reda, Sang Ibu menggiring anak-anaknya masuk ke kamar, menidurkannya, lalu perlahan dengan si bungsu Ia keluar kamar dan mengunci mereka dengan sangat perlahan nyaris tak terdengar. Sang ibu mindik-mindik menggantungkan kunci kamar di paku kalender yang ada persis disebelah kiri kamar. Sang Ibu pergi bersama si bungsu. Meninggalkan adik-adik Bowo melaluli pintu belakang dan membiarkannya tidak terkunci. Berharap sore ini Bowo pulang dan memakani adik-adiknya.

Bowo menarik nafas panjang, merasakan kesesakan yang memilu di dadanya. Sudah seminggu Ia tak berani pulang. Dua hari lalu ketika dia mendapatkan 20.000 atas hasilnya menjadi kuli angkat dipasar telah dipalak oleh preman pasar itu yang kerjanya hanya mabok-mabokan dan berjudi. Padahal Bowo berencana membelikan 4 buah nasi rames untuk adik-adik dan Ibunya. Ia mencoba lagi untuk menjadi kuli angkat sehari setelah itu, namun sebelum Ia memulai pekerjaannya, para kuli angkat pasar tersebut menghadangnya beramai-ramai. Mengeroyoknya dengan penuh kepuasan, karena mereka mendapat kabar dari para preman bahwa ada kuli angkat baru yang mendapatkan hasil 50.000 seharinya, kontan para kuli angkat yang sehari-harinya hanya mendapatkan paling banyak 35.000 menjadi panas kuping dan hatinya. Tak ada cara lain, singkirkan kuli angkat baru itu, ucap mereka sepakat. Bowo merintih. Memegangi dadanya yang semakin terasa perih. Terbayang olehnya tangisan kelaparan adik-adiknya, beberapa tagihan utang Bapaknya yang terus menghantui Ibunya, uang kontrakan yang sudah hampir dua bulan menunggak. Bowo mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, ketika hatinya semakin yakin, ia berjalan perlahan menuju seorang Ibu yang sedang menawar kalung di toko perhiasan emas tempat ia menginap. Cukup lama Bowo mengawasi Ibu itu. Dengan segala kegundahan dan kecemasan yang berkecamuk dalam pikirannya, Bowo memutuskan untuk menghampirinya. Perlahan tapi pasti ia mengambil tas Ibu itu yang tergeletak begitu saja di sebelah bangku tempat Ibu itu duduk. Bowo yakin sepenuhnya telah mendapatkan tas itu pada tangannya, lalu ia berlari sangat kencang dalam kegalauan. Sayup-sayup terdengar teriakan “copeeeet” dengan sangat kencang dari arah toko itu. Semua orang berkerumun. Ada juga beberapa yang berusaha mengejar Bowo. Bowo tak perduli lagi sudah berapa orang yang ditabraknya. Yang penting adik-adiknya makan, Ibunya tak perlu dihantui tanggung jawab membayar hutang Bapaknya, dan uang kontrakkan bisa dilunasi. Bowo berhasil menghilang dari kejaran tersebut. Bersembunyi pada kamar mandi Musholla di pinggir jalan.


Bowo pulang, membawa beberapa plastik berisikan makanan, baju, beberapa kebutuhan rumah untuk sebulan. Dengan senyum yang sumringah Bowo memacu langkahnya bergegas. Setelah sampai di depan teras rumahnya, Ia melihat orang-orang berkerumunan seperti lalat yang sedang mengerubungi sampah. Sesuatu yang buruk telah terjadi pikirnya seketika. Segala kemungkinan buruk mulai berbaris memenuhi pikirannya, semakin cepat ia melangkah meninggalkan plastik-plastik kebanggaannya itu begitu saja. Pak Rusdi, salah seorang tetangga yang melihat kedatangan Bowo menghampiri tergesa. “ Aduh nak Bowo.. Kamu kmana saja? Lihat tuh adik-adikmu kelemasan di dalam kamar yang dikunci Ibumu.. mulanya Bapak kira mereka menangis karena dipukuli Ibumu lagi. Tapi ternyata ketika mas Dadang memeriksa pintu belakang yang tidak terkunci itu, tidak didapatinya Ibumu. Lalu terdengar suara gaduh....” tanpa mendengarkan lebih lanjut lagi keterangan bapak tadi yang sepertinnya lebih sibuk menceritakan kepahlawanan anaknya si Dadang dibanding keadaan adik-adiknya yang entah sudah jadi apa di dalam sana, Bowo masuk kerumah. Didapatinya wajah-wajah kecil itu memelas kelemasan, kelelahan, kelaparan. Segera ia mengangkat mereka dan meminta bantuan para tetangga untuk membawa mereka ke puskesmas terdekat. Bowo sangat menyesal. Ini adalah pertama kalinya Ia meninggalkan rumah sampai sebegitu lamanya. Biasanya tak kurang dari dua hari Bowo pasti pulang, dengan atau tidak membawa sesuatu. Tapi keadaan keluarganya yang semakin hari semakin terpuruk ini membuatnya nekat untuk tidak pulang sebelum membawa sesuatu untuk keluarganya. Rembesan air melinangi matanya, dalam hati ia mengutuk ibunya yang sudah dengan seenaknya menjadi seperti bapaknya. Melepas tanggung jawab dan membiarkan anak-anaknya bertarung dalam ketakutan dan kelaparan selama kurang lebih seminggu.


Bowo kini adalah Bapak dan Ibu bagi adik-adiknya. Seharian bowo bekerja demi menghidupi tubuh-tubuh kecil yang sama sekali tak mengerti mengapa mereka di tak memiliki orangtua seperti kebanyakan anak seusia mereka. Yang mengasihi, menyayangi serta menjaga mereka dengan penuh cinta. Bowo bertekad, tak akan biarkkan tubuh-tubuh kecil yang kerap kelaparan itu tersiksa lebih lama lagi. Rutinitas baru Bowo, menjaga toko pakaian milik Pak Rusdi di pasar hingga tengah hari, lalu Bowo pulang membawa jatah makan siangnya untuk ke-empat adiknya. Setelah itu bergegas kembali ke pasar, melanjutkan pekerjaannya menjaga toko hingga sore hari. Pak Rusdi memberi pekerjaan tersebut pada Bowo karena alasan kemanusiaan, begitulah yang didengar oleh Bowo melalui anak Pak Rusdi, si Dadang. Bagi Bowo alasan apapun yang dikemukakan oleh orang terpandang seperti Pak Rusdi bukanlah masalah. Yang terpenting adik-adiknya makan, kontrakan rumah tetap dapat dibayar agar ia dan adik-adiknya tak harus menginap di kolong jembatan atau di pinggir emperan toko seperti yang sering dilakukannya dulu. Lagi pula Pak Rusdi adalah orang yang sangat tahu tentang apa yang terjadi dalam keluarganya. Hal ini terjadi karena semenjak dulu Pak Rusdilah yang sering memberi Ibunya uang sepeser dua peser. Begitu setia, meski Pak Rusdi tahu Ibu Bowo tak kan mungkin meninggalkan Bapak Bowo hanya demi uang. Tapi Pak Rusdi tak peduli. Harapannya tetap sama. Dapat menjadikan Ibu Bowo sebagai pengganti istrinya yang telah bertahun-tahun meninggal.


Selang waktu berjalan sudah sebulan Bowo bekerja pada Pak Rusdi. Semakin hari Pak Rusdi semakin terlihat akrab dengan adik-adik Bowo, sehingga ketika Bowo harus meninggalkan rumah untuk bekerja ia tak perlu mengkhawatirkan tubuh-tubuh kecil itu akan terlantar lagi. Sampai suatu saat secara tidak sengaja Bowo mendapati anak Pak Rusdi, si Dadang dengan ke-empat adiknya sedang berada pada sebuah restoran ternama. Dengan diliputi oleh rasa ingin tahu Bowo terus memperhatikan mereka dari jauh, mencoba menebak apa yang sedang mereka lakukan disana pada senja hari seperti ini. Merasa tak menemukan jawaban yang sebenarnya tentang keberadaan mereka disitu, lantas Bowo berniat untuk melangkah menghampiri mereka saja, tapi langkah itu terhenti ketika Bowo melihat anak Pak Rusdi, si Dadang berdiri lalu berjalan ke arah pintu keluar. Namun yang menjadi pertanyaan bagi Bowo mengapa laki-laki itu keluar tanpa adik-adiknya. Sedangkan yang bersama adik-adiknya di dalam restoran itu adalah orang-orang yang tidak pernah dijumpai sebelumnya. Semula Bowo berpikir anak Pak Rusdi, si Dadang itu hanya sebentar saja keluar dan akan kembali membawa serta adik-adiknya. Tapi hingga kurang lebih tiga puluh menit, laki-laki itu tidak kembali. Sampai dia melihat dengan sangat jelas adik-adiknya dibawa keluar oleh sekelompok orang yang tak dikenalnya tadi. Adik-adik Bowo meronta-ronta ingin pulang. Namun mereka tak peduli. Bowo menyaksikan adiknya dipukul, disekap mulutnya. Tak terlihat rasa belas kasihan dari wajah mereka, yang ada hanyalah keinginan agar tubuh-tubuh kecil itu menurut, tidak meronta. Bowo sangat berang mendapati adik-adiknya disiksa. Dihampirinya mereka dengan penuh kebranian. “ Bajingan kalian. Mau diapakan mereka?” teriak Bowo lantang. Orang-orang yang tadinya sibuk dengan aktifitasnya masing-masing disekitar restoran itu mulai memperhatikan mereka, namun dengan kekhasan kebiasaan orang perkotaan yang tidak peduli pada apa yang terjadi di lingkungannya, maka bukannya tersentuh atas keberanian Bowo dan berusaha menolongnya, mereka malah menjadikannya tontonan. Melihat tak ada respon yang berarti yang dapat membahayakan kelompok asing yang menyekap adik-adik Bowo, mereka lalu bergegas pergi menuju arah parkir mobil. Salah satu laki-laki dari kelompok tersebut, perlahan mulai mengeluarkan sebilah pisau dari kantong celananya. Begitu rapi dan tanpa merasa berdosa mereka terus berjalan. Bowo semakin murka, tangannya yang terkepal penuh amarah memaksanya untuk berjalan mengikuti kelompok tersebut. “ Berhenti Brengsek! Kalian tidak akan membawa mereka kemana-mana sebelum menjelaskannya terlebih dahulu padaku” ujar Bowo berteriak. Lelaki yang mengeluarkan pisau tadi rupanya cukup kesal dengan teriakan Bowo. “ Hai anak ingusan! Kau tak usah ikut campur urusan kami. Anak-anak kecil itu sudah kami beli dengan harga yang tidak murah. Mau diapakan mereka, terserah kami. Kau tak usah jadi pahlawan kesiangan. Pulanglah kerumah, cuci kakimu lalu tidurlah! “ bentaknya kasar. Sudah cukup jelas kini mengapa mereka menarik paksa tubuh-tubuh kecil itu tanpa belas kasihan. Dalam hati Bowo mengutuk anak pak Rusdi, dalam benaknya andai saat ini anak Pak Rusdi, si Dadang ada dihadapannya, tak segan segan Bowo ingin menghajar bahkan bila perlu membunuhnya sekalian. Dengan amarah yang sudah mencapai puncaknya Bowo menarik tangan lelaki yang membawa pisau itu, dan menghajar hidungnya dengan satu pukulan yang cukup keras sehingga lelaki tersebut sempat jatuh dan tak lama dari itu keluar cairan berwarna merah pekat dari hidung lelaki tersebut. Menyadari dirinya tersungkur karena pukulan anak yang dianggapnya ingusan, lelaki itu merasa terhina. Lelaki itu bangkit dari tempatnya tersungkur, tanpa berkata apa-apa lagi ia menancapkan pisau yang dipegangnya ke perut Bowo, mencabutnya dan menancapkannya lagi berulang-ulang sampai Bowo terjatuh tak berdaya. Setelah dirasa tak ada perlawanan yang berarti dari Bowo, lelaki itu mengambil pisau yang tertancap pada tubuh Bowo. Mengelap darah yang berlumuran pada pisau itu, lalu bergegas pergi bersama kelompoknya yang telah terlebih dahulu menunggunya didalam mobil Van berwarna hitam, yang terpakir kurang lebih hanya 100 meter dari tempat Bowo terjatuh. Bowo mengerang kesakitan sambil menyaksikan mobil itu pergi. Begitu menyedihkan. Begitu menyakitkan. Begitu tak berdaya.


Kepala Bowo terasa sangat berat. Bowo pun tak kuasa membuka matanya untuk mengetahui apa yang sudah terjadi padanya. Namun sayup-sayup ia mendengar suara pertengkaran. Suara-suara yang sangat dikenalnya. Suara Pak Rusdi dan anaknya, si Dadang. “ Mengapa kau menjual mereka Bodoh? Bukankah semua kebutuhanmu sudah kupenuhi, mengapa kau masih saja mengusikku? “. “ Bapak pikir saya puas dengan semua yang bapak beri untuk saya? Saya ingin pergi dari rumah ini. Dan saya tidak sudi serumah dengan orang bejat seperti bapak. Bapak telah membohongi semua orang. Banyak orang berpikir bahwa bapak adalah dewa penolong bagi keluarga Bowo. Padahal bapak menolong dengan tujuan yang laknat. Sudah berapa kali bapak mencabuli anak-anak itu dengan menyodominya? Bapak pikir saya tidak tahu mengapa bapak melakukan itu? Bapak selalu membayangkan wajah Ibu Bowo pada wajah anak-anak itu. Dan untuk memenuhi nafsu yang tak tersampaikan itu, tanpa ampun bapak melakukan perbuatan bejat itu tanpa sepengetahuan Bowo. Lebih baik saya jual mereka ke para distributor pekerja anak. Dan bapak tak kan pernah menjumpai mereka lagi untuk dicabuli. Mereka bebas saya pun mendapatkan uang yang banyak untuk bisa memulai hidup saya lagi dengan pergi dari rumah terkutuk ini “. Bowo menangis. Merasa tak berguna karena tak bisa berbuat apa-apa untuk dapat menyelamatkan tubuh-tubuh kecil itu dari iblis-iblis yang berwajahkan manusia tersebut. Dalam keadaan tak berdaya, bowo memaksa untuk bangkit dari tempat tidur yang ternyata berlokasi di kamar Pak Rusdi. Dilihatnya pintu kamar terbuka. Bowo memaksa tubuhnya untuk berjalan keluar kamar. Pak Rusdi dan anaknya terkejut melihat kemunculan Bowo di ruang makan. Semuanya terdiam. Bowo melihat ada sebilah pisau buah di meja makan. Bergegas dalam kelunglaian Bowo mengambilnya, yang spontan membuat bapak dan anak itu semakin terkejut, pucat, merasa menjadi target operasi kemarahan Bowo. Bowo menatap mereka dengan tajam secara bergantian. Bapak dan anak itu merasa terteror dengan tatapan Bowo. Tak lama kemudian Bowo mengangkat tangan kanannya yang berisikan pisau ke arah Pak Rusdi. Pak Rusdi menghindar dan mencoba untuk merebut pisau itu, sementara dari belakang anak Pak Rusdi, si Dadang memukul kepala Bowo dengan kursi. Setelah bowo terjatuh, Pak Rusdi menancapkan pisau yang masih berada pada genggaman Bowo ke arah perut Bowo yang terluka, Bowo terkapar dihadapan bapak dan anak itu dengan mata yang terbelalak penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Pak Rusdi mendekati tubuh yang telah bergelimang darah itu. Di tempelkannya jari telunjuk ke arah hidung Bowo. Tak ada hembusan nafas lagi. Pak Rusdi terduduk. Memandangi tubuh tak bernyawa itu dengan pandangan kosong, terdengar olehnya pintu depan dibanting keras oleh anaknya. Anak Pak Rusdi, si Dadang pergi. Senyap. Sunyi. Sepi.


Bowo adalah remaja 17 tahun. Tak bersekolah. Tak memiliki cita-cita. Tak memiliki orangtua. Tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan tubuh-tubuh kecil yang sangat dicintainya itu. Bowo adalah remaja 17 tahun. Memiliki keberanian yang akan selalu hidup selamanya meski tanpa sekolah, tanpa cita-cita, tanpa keluarga dan tanpa kekuatan untuk menyelamatkan tubuh-tubuh kecil yang sangat dicintainya itu. [gkw]

Kamis, 21 Mei 2009

Doa

Posted by Kak Galuh On 03.30 | No comments
Suatu ketika ada seorang anak berkata pada ibunya, “bu, kenapa kita harus mengawali sesuatu dengan berdoa?” Si Ibu menjawab “agar kita selalu dilindungi Tuhan nak!”
Lalu si anak bertanya lagi, “apakah Tuhan akan selalu mengabulkan doa kita bu?”  “tentu saja nak, karena Tuhan Maha Pengasih.”  “lalu, dimana Tuhan itu bu? ketika aku berdoa memohon kepadanya agar memberi kita rumah dan makanan yang layak sehingga kita tidak perlu lagi tinggal di kolong jembatan yang dingin ini, serta tak perlu mengorek-orek sampah hanya untuk makan.Si Ibu terdiam sejenak, menatap anaknya sambil tersenyum. Direngkuhnya tubuh kecil itu ke pelukannya, sambil mengelus rambutnya yang ikal karena tak pernah di keramasi, si ibu berkata, “nak... biar kita tinggal di kolong jembatan... biar kita makan dari sampah... tapi itu semua pemberian Tuhan yang halal... dan kita tidak pernah merampok siapapun, malah kita harus berbangga masih bisa berbagi dengan tikus dan kecoa yang juga merupakan makhluk Tuhan.”  Si Ibu menghela nafas panjang melihat tatapan anaknya yang sangat tajam itu ke arahnya. Ia pun melanjutkan ucapannya,  “kita patut bersyukur karena kita tidak punya apa-apa di dunia ini, kecuali rasa percaya pada Tuhan. Di dunia setelah kita mati, setiap orang akan di tanya tentang semua harta yang dimilikinya di dunia. Harta-harta itu pun akan berbicara dari mana ia diperoleh dan untuk apa ia digunakan selama di dunia. Jika pemilik harta tak sanggup mempertanggungjawabkan harta-harta itu di hadapan Tuhan, maka Tuhan akan menggantungkan seluruh harta-harta itu pada leher pemiliknya. Nah... apakah kau sanggup membayangkan nak jika leher-leher itu di gantungi oleh mobil, rumah serta harta benda yang lain yang di dapat bukan dengan cara halal, atau harta yang didalamnya terdapat hak orang lain, tapi hak tersebut tak pernah di berikan pada yang berhak?” Si anak menggeleng dan bergidik membayangkan ucapan sang ibu. “aku mengerti bu, Tuhan sangat menyayangi kita dengan tidak membebankan kita untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak sanggup kita pertanggungjawabkan kelak. Terimakasih Tuhan!” Doa anak itu penuh syukur pada akhirnya.  [gkw]

Rabu, 06 Mei 2009

Cerita Sahabat

Posted by Kak Galuh On 08.06 | No comments
Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat bercerita kepada saya bahwa dia baru saja bertengkar hebat dengan sang suami. Menurut sahabat saya, ia bertengkar karena mengetahui akhir-akhir ini sang suami kedapatan rajin meng-sms dan menelepon seorang wanita yang menurut sang suami adalah kenalan biasa yang akan di jodohkan dengan bosnya. Tentu sahabat saya tidak menerima alasan itu begitu saja. Ia coba mencari tahu dan ternyata memang wanita yang sering berhubungan dengan suaminya itu mengaku di telepon oleh sang suami untuk diajak berkenalan dan yang paling mengejutkan sang suami mengaku pada wanita tersebut bahwa ia sama sekali belum berkeluarga. Padahal dalam kenyataan, sahabat saya dan sang suami itu sudah empat tahun berumah tangga dan telah dikaruniai dua malaikat kecil yang lucu-lucu.

Sahabat saya berang mengetahui semua itu. Ia pulang dan bertengkar hebat dengan sang suami. Ketika sahabat saya menanyakan tentang kebenaran ucapan wanita itu pada sang suami, bukannya mengaku dan minta maaf, sang suami malah menamparnya, menendangnya, hingga menginjaknya sambil mencekik leher sahabat saya. Sementara ketika peristiwa itu terjadi, sahabat saya sedang memeluk anaknya yang paling kecil yang berumur satu setengah tahun. Sahabat saya hanya bisa bilang “gue gak perduli kalau lo mau bunuh gue saat ini, tapi liat, lo udah ngelukain cinta (nama anak yang berada dalam gendongannya). Apa lo juga mau bunuh dia?” Kontan sang suami tersadar dan segera melepaskan cekikannya dari leher sahabat saya.

Sangat miris mengetahui hal ini terjadi pada sahabat saya, karena saya tahu betul bagaimana perjuangan sahabat saya itu ketika menerima sang suami untuk dinikahinya beberapa tahun yang lalu. Sang suami bukanlah orang yang di sukai oleh keluarga sahabat saya. Ia pernah dicaci maki bahkan diusir oleh ibu sahabat saya saat bertandang apel kerumahnya. Ibu sahabat saya pernah mengatakan pada sahabat saya, bahwa sang suami bukanlah laki-laki yang baik baginya. Namun dengan segala daya upaya, akhirnya mereka menikah juga. Dan setelah menikah sang suami di beri pekerjaan oleh kakak sahabat saya itu.

Kisah sahabat saya ini, membuat saya jadi teringat oleh kisah yang sedang terjadi antara Dewi Sandra dan suaminya Glenn Fredly. Entah apa yang menjadi alasan Glen Fredly untuk mengajukan gugatan cerai pada istrinya Dewi Sandra, yang kurang lebih tiga tahun lalu itu sangat dipuji dan dipujanya dengan segala konflik yang terjadi pada kehidupan Dewi Sandra saat itu. Cinta adalah alasan sahabat saya dan Dewi Sandra untuk menerima lelaki pilihan mereka. Dan memang benar cinta itu buta. Buta pada kenyataan yang ada pada lelaki yang dicintai oleh kedua perempuan itu, sahabat saya dan Dewi Sandra.

Betapa menyakitkannya menyadari bahwa cinta bisa juga membuat goresan luka pada batin insan yang menjalaninya. Pengorbanan, perjuangan sepertinya tak berarti lagi bagi sang suami untuk dapat berlaku sewenang-wenangnya pada istri mereka. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi jika cinta pada sesuatu yang fana dengan penuh kebutaan tanpa mengetahui ada cinta yang lebih abadi dari sekedar cinta pada kefanaan (dunia dan isinya). Sayup-sayup pada sebuah acara music live yang muncul pada setiap pagi hari kerja terdengar lagu peterpan yang berjudul “tak ada yang abadi” yang sudah berminggu-minggu menjadi urutan paling atas pada hampir seluruh acara music di nusantara ini.

Peterpan saja sadar bahwa apapun di dunia ini tak ada yang abadi kecuali Yang Maha Abadi pencipta segala yang tak abadi itu. Cinta kepada manusia, harta, kedudukan, kekuasaan bahkan cinta pada diri sendiri yang berlebihan (narcisme)pun ada limitnya. Tubuh/raga dapat menua dan terpisah dari jiwa tanpa terduga, harta dapat terkuras, kedudukan dan kekuasaan dapat tergantikan pada yang lebih berkuasa, diri tak selamanya terperangkap dalam kebaikan, selalu ada khilaf, selalu ada salah untuk tahu bahwa diri bukanlah segalanya yang patut dibanggakan secara terus-menerus.

Dua perempuan diatas yang sudah tersakiti secara batin ataupun lahir pada akhir luka hatinya sadar betul, cinta pada manusia tak selalu indah. Ketika cinta terasa bagaikan sayatan samurai yang mampu memotong sehelai rambut saja, lantas mereka menjadi sadar bahwa ada cinta yang lebih kuat dari sekedar cinta kepada manusia, tepatnya pada cinta yang terkhianati. Atas kekuatan cinta yang melebihi cinta pada manusia itulah yang membuat mereka tetap bertahan, ikhlas menerima cobaan dan memaafkan. Pada cinta yang dahsyat itu, perempuan-perempuan yang tersakiti itu berubah semakin cantik jiwanya, kuat dan mulia karena ada doa dalam setiap untaian kata yang khusus dilantunkannya untuk orang-orang yang sudah menyakiti mereka. Doa yang penuh dengan wangi surgawi...bukan doa yang tercium bagaikan air comberan.

Pada akhirnya yang memenangkan hati dua perempuan itu, sahabat saya dan Dewi Sandra bukan cinta pada manusia. Tapi cinta pada Yang Memberikan cinta pada manusia.

Salam sayang selalu…..


[gkw]

Senin, 04 Mei 2009

Politik Vagina

Posted by Kak Galuh On 11.24 | No comments
Tubuh saya terasa berdesir seperti ada semilir angin yang terhimpun menjadi topan dan menghantam saya. Tapi, saya tidak terhuyung, meskipun limbung. Ini luar biasa. Tiba-tiba saja wajah perempuan yang ada dalam berita itu--yang diperkosa oleh ayah tirinya hingga melahirkan anak--terbayang jelas. Juga, bagaimana ia merintih, yang mengingatkan saya kepada salah satu novel Nh Dini. Saya dengar lirih suaranya, tak berani menolak ajakan ayah tirinya, tetapi tidak mau meladeninya. Ia takut. Ia gelisah. Ah wajahya, seperti wajah ribuan perempuan Bosnia yang diperkosa di arena peperangan Bosnia, yang diwawancarai Evi Ensler dan disusun menjadi buku, “Vagina Monologues”.

Tahun 2001, sebuah esai Katha Pollit, seorang feminis, berjudul, “The Vaginal Politics” terbit di The National Edisi 15 Februari 2001. Esai itu sebuah penegasan atas fenomena opera “The Vagina Monologues” yang dipentaskan di Madison Square Garden, dan beberapa kota besar dunia lainnya dalam rangka hari Wanita Internasional. Di Indonesia pementasan diprakarsai Nurul Arifin dan rekan-rekan aktivis feminismenya dari Koalisi Perempuan Indonesia. Bagi Pollit, pementasan itu sebuah fakta atas kematian feminisme. “The Vagina Monologues”, in fact, tulis Pollit, “was singled out in time’s 1998 cover story “Is Feminism Dead?” as proof that the movement had degenerated into self-indulgent sex”.

“The Vagina Monologues” diangkat dari buku hasil penelitian selama bertahun-tahun yang dilakukan Eva Ensler. Ensler sendiri menulisnya berdasarkan hasil wawancara setelah mengumpulkan fakta tentang pemerkosaan ribuan perempuan di medan peperangan Bosnia-Herzigovina. Inilah medan peperangan yang ingin dibah sebagai “penjagalan salah satu ras manusia diatas bumi”, karena setiap perempuan Bosnia diperkosa agar hamil sehingga lahir keturunan blasteran. Sementara para laki-laki dibnatai dan dikubur dalam satu liang tanpa upacara kematian dan tanpa doa apapun.

Judul buku Ensler itu mengundang magis kata yang sangat feminisme. Sebuah kata tabu dalam pembicaraan formal, terutama bagi tata nilai masyarakat timur. Tapi, judul itu sendiri sudah berkomentar, membawa maknanya yang jamak. Sebuah diksi yang kaya. Yang menegaskan, buku ini akan menjadi sebuah karya yang laris, yang laku. Sebab, persoalan yang dibahasnya menjadi sangat universal.

Ensler adalah seorang artis berdarah Italia. Ia membaca dan mendengar soal pembantaian ras manusia di Bosnia dengan cara memperkosa para perempuan, dan ia sangat terpukul. Lalu, tiba-tiba terpikir olehnya, bahwa pokok persoalan di Bosnia adalah “raga” pada setiap perempuan, yakni vagina. Dari sanalah penulisan itu berangkat. Dan Ensler berangkat ke berbagai negeri, yang terpokok soal perang Bosnia-nya sendiri, dan memperluas daerah wawasan penyelidikannya. Lebih 200 wanita dengan usia, profesi, jenis bangsa, yang terpokok di kalangan wanita Bosnia sendiri, diwawancarainya. Selain itu diwawancarainya wanita dari berbagai kalangan di Eropa, Amerika, asia, dan Afrika, dengan tema yang sama mengenai pelecehan, pekosaan, dan penindasan terhadap wanita.

Dari hasil wawancara dan berbagai riset dan penyelidikannya inilah, ditulisnya buku berjudul Vagina Monologues. Dan, ternyata, buku itu mendapat sambutan meriah di seluruh dunia. Apa yang paling menarik dari isi cerita buku itu?

Dari begitu banyak riset dan penyelidikan serta wawancara terhadap wanita, termasuk yang kena perkosaan pada perang Bosnia itu, dia merangkum apa sebenarnya hakekat “raga” yang “dibantai” oleh pemerkosa yang samasekali tak berhati manusia itu. Dalam dialog antara “raga” (pengganti istilah vagina), terbentuklah dan lahirlah dialog dari berbagai situasi tentang “raga” itu. Bahwa, raga ini janganlah hanya dilihat dari satu segi saja. Bukankah semua kita, termasuk yang sedang membaca tulisan ini, lahir dan keluar dari raga itu? Jadi, ketahuilah, raga ituu mengandung suatu kesucian, kesakralan, dan sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang atas, tinggi, berharga sangat.

Diceritakan juga dalam dialog antara “raga” itu, terdengar jeritan keperihan, ketertindasan, kekerasan, kebiadaban, dan tangis yang mengiris-ngiris perih! Tetapi juga terdengar lahirnya bayi yang bersih dari dosa, tiba dan hadir ke dunia ini, atas buah cinta kasih antara Ayah dan Bunda si bayi itu, penuh kemesraan. Apakah perlakuan diri manusi lupa akan semua itu? Ketahuilah “raga” yang “kalian” perkosa itu, dari situlah kalian lahir dan menjadi “kalian” yang kini ini!

Di Indonesia, apa yang dipentaskan Nurul Arifin bersama rekan-rekan sesama aktivis feminisme, tak banyak yang melihat opera ini seperti Pollit membuat sebuah simpul. Tapi, sejak itu, satu hal yang bisa ditangkap adalah kaum perempuan mulai meletakkan gerakan de-feminisme di Indonesia. Sebuah gerakan “Politik Vagina” sebagai wujud kemuakan terhadap feminisme. Perempuan Indonesia tidak percaya lagi gerakan kesetaraan gender yang telah berlangsung cukup lama di Tanah air akan mampu mewujudkan emansipasi antara perempuan dengan laki-laki. Karena komitmen sosial para aktor pemerintahan dan elite politik untuk mewujudkan tatanan sosial-politik yang adil dan demokratis di mana gerakan kesetaraan gender inheren di dalamnya, tidak pernah bergeser dari nilai-nilai warisan leluhur budaya Timur yang lebih memberi peran kepada laki-laki sebagai “kepala rumah tangga”.

Makanya, daripada mengaharapkan feminisme—yang dalam banyak hal membentur sekat-sekat sosio-kultural di lingkungan masyarakat—sebagai gerakan sosial memperjuangkan hak dan keadilan bagi kaum perempuan, perempuan satrawan lebih memilih “membunuh” gerakan itu sebagai wujud pemberontakan atas nilai-nilai yang berlaku secara turun-menurun, lewat gerakan “Politik Vagina”.

“Politik Vagina” merupakan gerakan untuk mempersoalkan seks bukan semata sebagai persoalan seksualitas, karena seks bukan dunianya kaum laki-laki. Hal ini diwujudkan lewat citra perempuan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, memberontak, dan tak terlalu pusing dengan nilai-nilai kewanitaannya. Mereka tidak merasa risih bicara soal seks dengan siapa saja, bahkan dengan laki-laki yang baru dijumpai di sebuah terminal dan belum dikenal secara akrab. Karena seks tidak ada sangkut-pautnya dengan moralitas, melainkan soal orgasme.

Di dalam dunia kesusastraan kita, akar gerakan “Politik Vagina” ini, sebetulnya, suah ditemukan dalam puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany, terutama dalam antologinya, “Kill The Radio”. Tapi, gerakan ini baru menemukan eksistensinya dalam diri Ayu Utami, ketika ia menghasilkan novel “Saman”. Belakangan, karya-karya perempuan sastrawan lainnya bermunculan, sebut saja Clara Ng, Fira Basuki, Herlinatien, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan sebagainya.

Bagi Pasanti Djokosujatno, Ayu Utami dianggap sebagi pelopor penulisan novel seks, dan harus disebut dalam setiap pembicaraan tentang seks dalam sastra. Ia bukan hanya wanita pertama yang berani berbicara secara blak-blakan tentang seks dalam romannya yang radikal, pada saat banyak orang masih sungkan berbicara tentang seks, tetapi juga pengarang pertama yang menulis novel yang mengungkap seks dengan berbagai permasalahannya (menyangkut wanita pula) secara terbuka.

Tapi, meskipun demikian, agama (Islam) punya aturan main sendiri soal emansipasi. Persoalannya, manusia, tidak pernah sanggup menganggap nilai-nilai dan ajaran agama itu sebagai fakta yang sebenarnya. Sebab, agama selalu diposisikan sebagai hal irrasional, padahal agama mencakup segala hal rasional, irrasional, dan spiritual di dalamnya. Semoga para perempuan Indonesia tidak salah memilih jalan. [revolusiana]

Kamis, 12 Maret 2009

Aktifita

Posted by Kak Galuh On 12.06 | No comments

Jejak Pena

Posted by Kak Galuh On 11.53 | No comments

Idea

Posted by Kak Galuh On 11.29 | No comments

Berbagi Cerita

Posted by Kak Galuh On 11.27 | No comments

Posted by Kak Galuh On 10.59 | No comments

Posted by Kak Galuh On 10.42 | No comments

Senin, 26 Januari 2009

Efek Kolektivisme

Posted by Kak Galuh On 02.23 | No comments
Oleh : Bob Julius Onggo

Era 80-an Harley Davidson mempelopori geng atau kumpulan anak muda dengan motor gede berkelana dari satu tempat ke tempat lain -- jauh sebelum berkumpulnya anak muda bermotor Tiger 2000 atau pun berKarimun ria -- Umumnya mereka dipersatukan oleh satu karakter, yaitu hobi motor gede, walaupun sifat-sifat dari mereka tidak sama – seperti para tokoh yang memerankan film “Wild Hogs” -- namun karena hobi motor gede mereka dipersatukan dan saling membantu sama lain secara kolektif ketika menjumpai masalah selama di perjalanan. Apa yang mereka sukai lewat kumpul-kumpul seperti ini? Adalah sensasi kolektivisme (collectivism berbeda dengan collectivity lihat di capitalism.org).

KATALIS KOLEKTIVISME

Salah satu yang pernah diprediksi oleh Karl Marx dulu bahwa di era kapitalis industri akan memunculkan suatu kesadaran kolektivisme baru yang bakal membakar suatu revolusi sosialis dan sekarang kenyataannya di era ekonomi internet yang hiper kapitalis suatu revolusi sosialis telah menjadi subur. Lihat saja beberapa katalis kolektivisme social yang menyulut suatu bentuk revolusi, pertama, munculnya perangkat lunak berbasis open-source – memungkinkan kelompok-kelompok pemrogram mengkontribusikan berbagai upaya intelektual sehingga kelompok-kelompok tertentu dapat berbagi ide, resource dan kiat-kiat untuk merampungkan berbagai proyek engineering digital kecil-kecilan hingga skala raksasa hanya untuk merasakan sensasi kolektivisme.


Ditambah lagi kesuksesan Google dalam membantu mengatasi masalah tumpukan informasi segunung yang diciptakan oleh hikmat kolektif sedunia menjadi suatu organisasi links antar situs web. Dan para pencari hikmat itu pun membantu mengorganisir relevansi tumpukan informasi hingga menjadi hikmat kolektif.

Belum lagi Wikipedia telah menjadi suatu model open-source dari suatu produksi ensiklopedia, dan terus terang— wikipedia adalah salah satu bentuk penantang sesungguhnya (genuine challenger) terhadap eksiklopedia Britannica dalam kurun waktu singkat di masa depan, orang akan melirik wikipedia – dalam versi bahasa indonesia juga tersedia - untuk mencari jawaban dari hikmat kolektif tanpa harus membeli ensiklopedia tercetak yang mahal.

Maka tepat seperti yang dikatakan oleh Jaron Lanier, “apa yang kita saksikan dewasa ini” tulisnya di Edge.org, “. . . berbagai organisasi elite . . . terinspirasi oleh munculnya Wikipedia, oleh kekayaan Google dan para Googlepreneur.”

PENGARUHNYA PADA MORAL

Namun awas! Kolektivisme digital seperti ini memiliki bahaya potensial –- terlepas saya berbicara manfaatnya dalam dunia promosi dan pemasaran -- berbeda dengan kolektivisme dalam dunia fisik, semuanya terlihat dan identitas dari masing-masing individu dari suatu kelompok tidak disembunyikan, berbeda dengan kolektivisme di era hiper kapitalis di ekonomi internet, identitas para pelaku tidak terlihat dan disembunyikan, misalnya Wikipedia, secara keseluruhan adalah hasil dari upaya kolektif, tetapi banyak dari artikel dan informasi di dalamnya ditulis dan diedit oleh sedikit editor.

Lanier menyebutnya, “Wikipedia tidak lebih dari realitas historis Maoism digital; suatu system yang dipropaganda dengan bahasa dan konteks kolektivisme namun sebenarnya dipengaruhi dan dikuasai oleh sekelompok kecil elite yang berkuasa. Sekelompok pikiran cerdas yang saling terkoneksi merupakan suatu resource yang fantastis untuk melacak dan troubleshooting suatu software bug atau suatu rancangan desain. Namun bila Anda ingin dikenal karena ide yang brilian dan argumen yang hebat, lebih baik Anda bertindak solo.”

Sebenarnya yang dimaksud Lanier mencakup segala bentuk alat berbagi komunikasi mulai dari chatting, email komunikasi searah atau komunikasi satu ke banyak resipien seperti pada milis. Para pelaku di balik alat komunikasi entah untuk kepentingan individu maupun korporat kenyataannya sering menutupi jati diri yang sebenarnya entah untuk berbagai macam alasan. Alat berbagi komunikasi tersebut digunakan untuk berbagai kedok entah untuk menggapai popularitas, memburuk-burukkan nama individu atau perusahaan lain, menghancurkan suatu organisasi atau Negara lewat aktivitas teroris, fasisme, komunisme, kultus religius, hingga kasus perkosaan dan kejahatan anak-anak dalam kasus pedofilia maupun pencarian teman hidup.

Segudang kasus seperti ini muncul dalam daftar kejahatan di internet baik di Negara kita maupun di mancanegara, seperti kasus seorang pelaku pedofilia, Mr DeRosario, yang menangkap korbannya dari Internet terhadap seorang anak lelaki berusia 12 tahun di Weschester County dengan menggunakan screen name samaran BobbyD63 (Nytimes nov 7, 2006).

Belum pernah sebelumnya dalam sejarah manusia, banyaknya komentar manusia ditampung tanpa di-edit, jutaan manusia di alam internet mengembangkan diri mereka sendiri, menggapai yang lain, menjadi semakin kreatif, dan teredukasi, serta menjadi mandiri dan menjadi lebih kaya secara finansial jika sebelumnya tidak ada internet. Jika sebelumnya tidak ada segala bentuk kolektivisme termasuk yang terakhir diciptakan oleh Myspace, YouTube dan SecondLife, di mana Anda dapat menciptakan avatar dari diri mereka sendiri untuk saling berbagi di dunia maya. Lihat juga DIGG, salah satu bentuk kolektif konten secara masal dan otomatis.

Ironis di era internet ekonomi hiperkapitalis ini, manusia menjadi semakin berekspresi lewat berbagai gadget internet, namun pada saat yang sama menjadi semakin tertutup dan takut serta menutupi diri mereka sendiri dari identitas sesungguhnya, dan kecenderungan kolektivisme ini membuat kita sudah terbiasa bercengkerama lewat kolektivisme tersamar. Banyak orang suka akan segala bentuk kolektivisme dan segala bentuk permainan dengan api ini.

Masih ada lagi fenomena kolektivisme yang patut kita waspadai lewat kemampuan aplikasi yang dapat dibuat lewat blog yang secara praktis menganjurkan aktivitas pseudonym yang spontan yang menyulut pada posting komentar secara masal tanpa identitas asli bagaikan kerumunan massa yang tidak terkendali.

Mereka yang cerdik memanfaatkan kolektivisme ini dapat melakukan “monetisasi” lewat promosi iklan atau pembelian online kepada kumpulan audiens Anda. Dan yang membuat saya salut dalam ide ini adalah bahwa audiens adalah value — dan mereka sendiri yang membayar value yang mereka berikan sebaliknya daripada mereka dibayar.

Misalnya ya, saat Anda membeli sesuatu dari iklan, tahukah bahwa sedikit dari harga tersebut dibenamkan untuk iklan itu — Jadi lihat Anda sendiri adalah umpan untuk iklan yang Anda lihat misalnya untuk Iklan PPC milik Yahoo dan Google. Siklusnya secara keseluruhan luarbiasa efisien untuk menghasilkan keuntungan cepat dan besar dibandingkan bisnis apa pun yang ada dalam sejarah bisnis manusia.

Memang luarbiasa perangkat lunak online ini telah merevolusi dan mendatangkan berbagai potensi baik dan buruk dalam perilaku manusia. Sekarang juga saatnya mempertimbangkan kegunaannya dalam konteks dasar moral. Bagaimana? Jadi apa yang salah dengan kolektivisme seperti di atas? Bagaimana menghentikan massa online yang anonim yang berkerumun bagaikan kerumunan orang? [sonicfist]

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE