Rabu, 05 Desember 2012

Tujuan Pendidikan Dalam Islam

Posted by Kak Galuh On 11.40 | No comments
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum  memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. 
 
Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar” dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. 
Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. 

Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis. 

Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi  pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan.  

Oleh sebab itu juga, ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan seyogianya dibangun di atas Wahyu yang membimbing kehidupan manusia. Kurikulum yang ada perlu mencerminkan memiliki integritas ilmu dan amal, fikr dan zikr, akal dan hati. Pandangan hidup Islam perlu menjadi paradigma anak didik dalam memandang kehidupan. 

Dalam Islam, Realitas dan Kebenaran bukanlah  semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran didasarkan kepada dunia yang nampak dan tidak nampak; mencakup dunia dan akhirat, yang aspek dunia harus dikaitkan dengan aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam). 

Jadi, institusi pendidikan Islam perlu mengisoliir pandangan hidup sekular-liberal yang tersurat dan tersirat dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan modern saat ini, dan sekaligus memasukkan unsur-unsur Islam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Dengan perubahan-perubahan kurikulum, lingkungan belajar yang agamis, kemantapan visi, misi dan tujuan pendidikan dalam Islam, maka institusi-institusi pendidikan Islam akan membebaskan manusia dari kehidupan sekular menuju kehidupan yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Institusi–institusi pendidikan sepatutnya  melahirkan individu-individu yang baik, memiliki budi pekerti, nilai-nilai luhur dan mulia, yang dengan ikhlas menyadari tanggung-jawabnya terhadap Tuhannya, serta  memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang lain dalam masyarakatnya, dan berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai manusia yang beradab.  [Adnin Armas/insist]

Selasa, 25 September 2012

Oleh : Dr. Muchlis M. Hanafi
Keterpaduan antara keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa proses pendidikan berlangsung sepanjang kehidupan. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam bersifat seumur hidup (Lifelong Education). Adapun tujuan pendidikan Al Qur’an adalah membentuk generasi rabbâniyy (QS. Âl Imrân : 79), yang dapat dicapai dengan mengajarkan (bacaan : tu`allimûn) atau mengetahui (bacaan : ta`lamûn) petunjuk-petunjuk Allah (al-kitâb), baik yang terbaca dalam mushaf maupun yang terbentang di alam raya, dan mempelajarinya secara terus menerus (tadrusûn).
Al Qur’an memperkenalkan dirinya di banyak tempat sebagai kitab hidayah (hudan/ petunjuk) yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Fungsi ini sejalan  dengan misi yang dibebankan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas memelihara dan memakmurkan bumi. Kendati Al Qur’an bukan buku ilmu pendidikan, tetapi tidak terlalu sulit untuk mendapatkan beberapa prinsip dasar pendidikan dalam ajarannya.
Dalam wujud nyata, Rasulullah telah menerapkannya dan berhasil membina dan membentuk manusia yang tangguh dan berkepribadian tinggi. Untuk itulah memang Rasulullah diutus. QS. Al-Jumu`ah : 2 menjelaskan tugas utama Rasulullah yaitu, 1) menyampaikan/ membacakan petunjuk-petunjuk Al Qur’an (yatlû `alayhim âyâtihi) ; 2) menyucikan (hati) (yuzakkîhim), dan 3) mengajarkan manusia (yu`alimuhul kitâb wal hikmah). Ketiga tugas tersebut dapat diidentikkan dengan pendidikan dan pengajaran. Menyucikan identik dengan mendidik, sedang mengajarkan dan menyampaikan materi yang berupa petunjuk Al Qur’an tidak lain adalah membekali peserta didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan alam nyata maupun metafisika. Karena itu dalam salah satu ungkapan yang sangat populer, Rasulullah tidak segan-segan menyatakan dirinya diutus sebagai "guru" (bu`itstu mu`alliman)[1].
Sejarah membuktikan, Rasulullah adalah seorang guru/ pendidik yang tangguh. Dari tangannya lahir sebuah generasi dengan kehidupan yang sangat berbeda antara sebelum dan sesudah dididik oleh beliau. Dari sebuah bangsa yang ummiyyîn (buta huruf), hidup di sebuah padang pasir yang kering dan tandus, beliau melahirkan sebuah komunitas yang berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah kemanusiaan dengan peradaban yang gemilang. Generasi yang dilahirkannya (para sahabat) mendapat apresiasi Tuhan seperti dinyatakan dalam firman-Nya :
 وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ  [التوبة/100]
Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung (QS. Al-Taubah [9] : 100)
Setiap sosok para sahabat menjadi bukti keagungan kepribadian Rasulullah seabagai seorang pendidik. Tidak berlebihan jika Imam al-Qarafi pernah berujar : seandainya Rasulullah tidak memiliki mukjizat (bukti kebenaran risalahnya) selain para sahabatnya, maka mereka itu cukup menjadi bukti kebenaran akan kenabiannya[2].
Generasi para sahabat mendapat bimbingan Rasulullah dengan panduan wahyu. Kepribadian Rasulullah yang merupakan terjemahan nyata nilai-nilai Al-Qur`an  menjadi magnet yang membalikkan keadaan jahiliah masyarakat Arab saat ini menjadi bangsa yang berperadaban. Mereka itulah generasi qur`ani yang sekarang diidam-idamkan kemunculannya di tengah keterpurukan umat Islam.
Dalam konteks keindonesiaan, Prof. Dr. Muhammad Ali, mantan Dirjen Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2007-2012), dalam penilaiannya melihat bahwa pendidikan agama ternyata belum mampu mentransformasikan nilai-nilai agama dan kepribadian manusia Indonesia yang berbudi pekerti dan berakhlak mulia. Nilai-nilai agama kurang ditransformasikan secara positif, kritis dan berorientasi ke depan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa kekurangan pendidikan agama disebabkan 1) kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter; 2) jumlah pendidik dan kependidikan lainnya yang bermutu belum mencukupi; 3) sarana dan prasarana yang terbatas; dan 4) fasilitas lainnya yang belum memadai; serta 5) kendala lain, arus globalisasi terutama media cetak dan elektronik sangat deras masuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sehingga mempengaruhi peserta didik dan perilaku sosial yang tidak sejalan dengan agama. Selain itu ia melihat, mulai SD, SMP dan SMA materi pendidikan agama pada setiap jenjang pendidikan belum terpadu[3].
Pengutusan Rasul dengan mengemban tiga fungsi pada QS. Al-Jumu`ah : 2 didahului dengan ungkapan ba`atsa fil ummiyyîn rasûlan minhum, yang berarti rasul yang diutus itu berasal dari kalangan masyarakat itu sendiri. Atas dasar ini kita dapat berkata, sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah "pakaian" yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut[4]. Dari sini menjadi penting bagi kita umat Islam untuk selalu menggali konsep pendidikan dalam Al Qur’an agar terlahir kembali generasi qur`ani.
Definisi dan Term Pendidikan dalam Al Qur’an
Para ahli berbeda pendapat dalam mendefinisikan pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah : “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”[5]. Ki Hajar Dewantara menyatakan: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.[6] Muhammad Natsir dalam tulisannya Ideology Islam, menulis : “Yang dinamakan didikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”[7]. Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”[8]. Meski berbeda redaksi, tetapi satu hal yang pasti, dari beberapa pengertian di atas diketahui bahwa cakupan pendidikan jauh lebih luas dari sekadar membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan. Ia adalah upaya untuk membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya; kuat jasmani dan rohani, berpengetahuan luas sekaligus berkepribadian kuat.
Istilah pendidikan dalam Al Qur’an dapat ditemukan pada term-term yang menggunakan akar kata rababa dan rabâ. Dari akar kata rababa lahir kata rabb. Kata ini biasa diartikan secara sederhana dengan kata Tuhan. Tetapi jika melihat makna semantiknya dalam bahasa Arab, kata rabb dan yang seakar dengannya memiliki cakupan makna yang sangat luas, antara lain memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi nikmat dan mengawasi. Semua kata rabb dalam Al Qur‘an bermakna Tuhan yang memiliki sifat-sifat seperti di atas, dan tentu lebih dari itu semua, kecuali hanya di beberapa tempat yang bermakna tuan/ majikan, raja dan seseorang yang memberi nikmat, yaitu pada QS. Yusuf : 23, 41, 42 dan 50. [9]
Kata rabâ dalam bahasa Arab berarti tumbuh, bertambah dan berkembang[10]. Dari kata ini lahir kata rabbâ, yurabbî, tarbiyah yang biasa diartikan dengan mendidik dan pendidikan. Fakultas yang membidangi pendidikan di perguruan tinggi Islam disebut tarbiyah. Menurut sebagian pakar, kata tarbiyah berasal dari kata rabbaba, kemudian untuk meringankan pengucapan (takhfîf), huruf ba yang terakhir diganti dengan huruf ya[11]. Hujan dinamakan rabâb karena ia menumbuhkan dan menjaga kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan[12]. Dalam Alquran tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu antara lain; ar-rabb, rabbayânî (QS. Al-Isra : 24), nurabbika (QS. Al-Syu`ara : 18), rabbâniyyîn (QS. Âl Imran : 79). Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.
Sejak awal risalah, Allah selalu memperkenalkan diri-Nya sebagai rabb yang menguasai, memiliki, memelihara, menolong, mengawasi dan memiliki sifat-sifat lain yang dapat menjaga kelangsungan hidup manusia. Sifat ini diperkenalkan karena kaum kafir Mekkah telah sangat mengenal Allah, namun dengan persepsi yang berbeda dengan yang seharusnya diyakini (Perhatikan misalnya QS. Al-Ankabut : 61). Perintah membaca yang dikaitkan dengan bismi rabbika pada unit wahyu yang pertama turun mengesankan agar membaca yang diperintah itu menghasilkan sesuatu yang dapat menjaga kelangsungan hidup manusia secara utuh.
Dari sini, pendidikan dalam pandangan Al Qur‘an merupakan sebuah proses penumbuhan dan pengembangan potensi peserta didik untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Salah satunya melalui proses pengajaran yang di dalam Al Qur‘an diungkapkan dengan kata 'allama', yu`allimu (wa yu`alllimuhul kitâb). Dari kata ini lahir istilah ta`lîm (pengajaran). Ada kaitan yang erat antara pendidikan (tarbiyah) dan ta`lîm (pengajaran). QS. Âl Imran : 79 menjelaskan bahwa generasi yang terdidik dengan sifat-sifat ketuhanan (rabbâniy) dapat terwujud dengan mendalami ilmu pengetahuan dan senantiasa mempelajari petunjuk Allah dalam al-kitâb, baik yang terbaca dalam bentuk mushaf maupun yang terbentang di alam raya.
Sebagian ahli memperkenalkan term lain yang terkait dengan pendidikan dalam Islam yaitu ta`dîb. Istilah ini tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi diambil dari sebuah ungkapan dalam hadis Nabi saw, Addabanî rabbî fa ahsana ta`dîbî (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik)[13]. Kata addaba yang melahirkan kata ta`dîb berasal dari kata adab yang berarti akhlak mulia dan terpuji. Dengan demikian ta`dîb adalah proses pembentukan karakter dan akhlak mulai dalam diri peserta didik. Peran ini sangat terhormat dalam Islam. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah menyatakan, seseorang yang mendidik budaknya dengan akhlak dan perilaku mulia dan mengajarkan ilmu syar`i kemudian mengawininya termasuk salah satu dari tiga orang yang akan mendapatkan dua pahala[14].
Tujuan Pendidikan
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam usaha terkandung cita-cita, kehendak, kesengajaan serta berkonsekwensi penyusunan daya upaya untuk mencapainya. Bagi seorang Muslim, tujuan akhir hidupnya adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Alquran dalam QS. Al-Dzâriyât : 56 : Aku tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagai pengabdian kepadaku[15]. Dalam QS. Al-Najm : 42 dijelaskan, segala aktifitas manusia hendaknya berakhir dan bertujuan kepada Tuhan (wa anna ilâ rabbika al-muntahâ). Al Qur’an tidak hanya membentuk dan membimbing manusia secara empirik melalui metode ilmiah, tetapi juga mengarahkannya untuk dapat merasakan cahaya kalbu melalui pendidikan akhlak mulia, ketakwaan, keikhlasan, cinta kasih sesama manusia dan sikap saling menolong dalam kebaikan. Karena itu, Islam menjadikan ilmu pengetahuan bercirikan kebaikan dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah subhânahu wata`âlâ. Berbeda dengan ilmu dalam pandangan peradaban modern yang tidak terikat dengan etika moral, serta bebas dari nilai kebaikan atau keburukan. Ilmu dalam Islam dipenuhi dengan nuansa nilai-nilai ketuhanan (bismi rabbika) [16].
Dari sini proses pendidikan, termasuk proses transformasi ilmu pengetahuan, seperti digariskan dalam Al Qur’an (QS. Âl `Imrân ; 79) bertujuan membentuk generasi Rabbâniyyîn. Allah berfirman :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ  [آل عمران/79]
Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!”
Kata rabbâniyyîn merupakan bentuk jamak dari rabbâniy yang dinisbatkan kepada rabb dengan penambahan alif dan nûn untuk menunjukkan kedekatan yang sangat dengan sifat-sifat ketuhanan. Yang dimaksud dengan rabbâniyy adalah seseorang yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah, bertakwa, mawas diri dalam berbicara dan bertindak, memadukan antara ilmu dan amal serta mengabdikan dirinya untuk mengajarkan manusia sesuatu yang bermanfat[17]. Semua itu dapat dicapai dengan selalu mengajarkan al-kitab (tu`allimûn al-kitâb) dan selalu terus mempelajarinya (tadrusûn). Jika dibaca dengan 'ta`lamûn', mengikuti bacaan Abu Amr, Ibn Katsir dan Nafi, maka sifat rabbaniyy dapat dicapai dengan pengetahuan tentang al-kitab, sebab pengetahuan itu dapat membentengi seseorang dari perbuatan tercela. Menurut Al-Razi, ayat ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, pengajaran dan proses belajar dapat mengantarkan seseorang kepada tingkat rabbaniy. Tanpa tujuan itu maka akan sia-sia, seperti seseorang yang menanam pohon yang indah dipandang mata tetapi tidak berbuah. Karena itu doa yang selalu dibaca oleh Rasulullah adalah memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat dan hati yang tidak khusyuk. Dengan demikian, proses pengajaran dan pendidikan hendaknya bertujuan membentuk sifat rabbâniy dalam diri peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan dalam pandangan Al Qur’an bertujuan mewujudkan penyerahan mutlak kepada Allah (islâmul wajhi lillâh), pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan.
Atas dasar petunjuk Al Qur’an di atas para pakar pendidikan Islam berupaya merumuskan tujuan pendidikan Islam. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama[18]. Dalam definisi ini terlihat jelas bahwa secara umum yang dituju oleh kegiatan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian utama. Definisi ini tampak sejalan dengan prinsip di atas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah gambaran manusia yang kekal dan utuh. Atau dengan kata lain, generasi rabbâniyyûn.
Menurut Hasan Langgulung, berbicara tentang tujuan pendidikan tidak dapat tidak mengajak kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Tujuan ini menurutnya tercermin dalam surat al-An’am ayat 162 yang berbunyi : “Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An-‘am : 162)[19].
Dari penjelasan di atas tampak bahwa pendidikan moral adalah jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan dalam pandangan Al Qur’an. Hal ini sejalan dengan misi yang dibawa oleh Rasulullah seperti dijelaskan dalam sebuah hadis : “Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.
Keterpaduan dalam Pendidikan
Berdasarkan uraian di atas dan penjelasan lainnya dalam Al-Qur’an kita dapat simpulkan keterpaduan yang ditawarkan melalui konsep pendidikan dalam Al-Qur’an, antara lain :
1. Keterpaduan antara unsur ilâhiyyah dan insâniyyah.
Mendidik pada hakekatnya adalah sebuah proses mengantarkan peserta didik untuk lebih dekat dan berperilaku dengan sifat-sifat ketuhanan (al-takhalluq bi akhlâqillâh). Yaitu dengan menggali potensi yang tersimpan dalam diri manusia yang akan menghidupkannya seperti lampu yang mengeluarkan potensi cahayanya dari minyak, atau seperti cahaya listrik yang dihasilkan oleh energi. Potensi itu antara lain berupa akal, ilmu dan iman. Al-Qur`an sebagai sesuatu yang dapat menghidupkan dijelaskan dalam firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ  [الأنفال/24]
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (QS. Al-Anfal [8] : 24).
Pakar tafsir asal Tunisia, Ibnu Asyur, menjelaskan, memberi kehidupan pada ayat di atas bermakna  memberi sesuatu yang dapat mengantarkan manusia menjadi sosok insan kamil, antara lain dengan menerangi akal dengan keyakinan yang benar dan akhlak mulia, menunjukinya jalan untuk berbuat kebaikan, memperbaiki individu dan masyarakat dengan akhlak terpuji[20].
2. Keterpaduan dalam bentuk keseimbangan
Dalam pendidikan Islam prinsip keseimbangan meliputi ; a) keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat; b) keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani; c) keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial ; d) keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal. Prinsip ini telah ditegaskan misalnya dalam QS. Al-Qashash : 77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jaganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.

Dalam pandangan Al-Qur`an manusia terdiri dari dua unsur ; ruh dan jasad. Dalam proses penciptaan manusia pertama (Adam) dijelaskan bahwa Allah telah menciptakannya dari tanah kemudian meniupkan ke dalam tubuhnya ruh (QS. Shad : 71-72). Kedua unsur itu memiliki hak yang harus dipenuhi. Karena itu Rasulullah mengecam keras sahabatnya yang dianggapnya berlebihan dalam beribadah dengan mengabaikan hak tubuhnya, keluarga dan masyarakatnya. Beliau bersabda:
صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Puasa dan berbukalah, bangun malam (untuk salat) dan tidurlah, sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, isterimu punya hak yang harus dipenuhi (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash)
Kelangsungan hidup manusia secara keseluruhan sangat bergantung pada komitmen mereka terhadap petunjuk Allah (al-Kitâb) dan prinsip keseimbangan (al-Mîzân). Dua hal ini (mengenalkan al-kitâb dan al-mîzân) adalah termasuk misi utama pengutusan para rasul ke muka bumi. Allah berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ [الحديد/25]
Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan al-mîzân (neraca/ keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. (QS. Al-Hadîd : 25).
Karena itu ajaran Islam secara umum bercirikan wasath (tengahan) (QS. Al-Baqarah : 143).
3. Keterpaduan antara ilmu, iman dan amal dalam diri anak didik
Dalam pandangan Al Qur’an ilmu bukan sekadar untuk ilmu, tetapi ilmu harus dapat membuahkan iman, dan selanjutnya iman melahirkan sikap ketundukan (al-ikhbâth) yang tercermin dalam amal. Dalam sebuah ayat Allah berfirman ;
وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [الحج/54]
Dan supaya mereka yang berilmu itu tahu bahwa Al Qur’an itu benar berasal dari Allah sehingga mereka mengimaninya dan hati mereka menjadi tunduk kepada ajarannya. (QS. Al-Hajj : 54)
Ada tiga hal yang saling berkaitan pada ayat di atas; ilmu (al-`ilm), iman (al-Îmân) dan ketundukan (al-Ikhbât). Ilmu diikuti tanpa jarak, sesuai dengan penggunaan kata penghubung fa, dengan keimanan (liya`lamû fayu`minû), dan selanjutnya keimanan akan membuahkan gerakan hati yang terpancar melalui ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah Swt. Karena itu, menurut Ibnu Mas`ud, ukuran sebuah ilmu bukan pada banyaknya (kuantitas), tetapi sejauh mana ilmu tersebut dapat mengantarkan kepada kekhusyukan (laysa al-`ilm bikatsrat al-riwâyati, innama al-`ilmu khasyyatullâh). Ketiga unsur di atas tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seorang Muslim, termasuk dalam pendidikan. Pendidikan Islam harus dapat melahirkan sosok seorang Muslim yang berilmu, beriman dan beramal (berakhlak). Atau dengan kata lain, memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.
Sebuah lembaga pendidikan Islam dapat dinilai gagal jika tidak dapat mengantarkan peserta didik menjadi seorang Muslim yang kuat secara keilmuan dan keimanan. Ulama besar India, Wahiduddin Khan, dalam bukunya Tajdîd `Ulûm al-Dîn mengritik keras lembaga pendidikan Islam dengan mengatakan, kebanyakan lembaga pendidikan Islam belum lagi meletakkan unsur khasyyah (kekhusyukan pada Tuhan) dan taqwa sebagai dasar pengajaran, tetapi baru sekadar mengajarkan disiplin ilmu.
Sistem pendidikan terpadu juga tidak mengenal dikotomi ilmu umum dan ilmu agama. Semua ilmu yang dapat mengantarkan kepada khasyyatullah dianjurkan oleh Islam untuk dipelajari. Model pendidikan terintegrasi itulah yang dipakai para ulama pada zaman Islam klasik. Tak aneh, lanjutnya, di masa kejayaan Islam dahulu, seorang ulama sekaligus juga pakar kedokteran, biologi, ilmu perbintangan. Ibnu Sina dan Ibnu Haitsam adalah sebagian dari ulama yang sekaligus ilmuwan. Mereka menyadari benar bahwa untuk dapat menguasai ilmu alam, harus menguasai ilmu dasarnya terlebih dahulu, yakni Al Qur’an dan Hadis.
Seorang guru dituntut agar dapat menciptakan pembelajaran yang holistik sesuai dengan perkembangan anak. Guru mengajar tidak hanya membangun anak untuk pintar saja, tetapi bagaimana membangun karakter anak yang baik yang dapat berguna atau bermanfaat untuk lingkungan atau kehidupannya. Disinilah tugas guru mengarahkan atau menunjukkan informasi kepada anak. Dengan pembelajaran terpadu kualitas pendidikan dapat diperbaiki, terutama untuk mencegah penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran di sekolah.
4. Keterpaduan pendidikan antara keluarga, sekolah dan masyarakat
Manusia sepanjang hidupnya sebagian besar akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya biasa disebut dengan tripusat pendidikan. Lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak, tapi merupakan hal yang terpenting adalah keluarga. Kehidupan masa depan anak pada masyarakat tradisional tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Orang tua yang mengajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup. Orang tua pula yang melatih dan memberi petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan sampai anak menjadi dewasa dan berdiri sendiri.
Al-Qur`an memberikan perhatian tinggi terhadap peran keluarga dalam pendidikan. Misalnya dapat dilihat dari peringatan kepada orang tua (yang berposisi sebagai kepala keluarga) agar menjaga anggota keluarga dari segala sesuatu yang dapat menjerumuskan kepada kehidupan akhir yang tragis (neraka) (QS. Al-Tahrîm [66] : 6). Pola pendidikan anak juga dijelaskan secara rinci dalam kisah Lukman yang terdapat dalam QS. Luqman/31: 13-19. Di situ Al-Qur`an menekankan beberapa hal penting dalam pendidikan anak, yaitu : (1) pendidikan anak hendaknya dimulai dari upaya memperkenalkan dan menanamkan aqidah dan prinsip-prinsip ketuhanan (QS. Luqman [31] : 13, 16); (2) kepercayaan akan keesaan Allah harus disertai dengan amal saleh dan aneka peribadatan, diantaranya yaitu dengan menegakkan salat (QS. Luqman/31 : 17); (3) pentingnya menanamkan akhlak, baik kapada diri sendiri maupun kepada orang lain, antara lain dengan berbakti dan menghormati orang tua; (4) menanamkan kepedulian social dengan mengajak orang lain mengerjakan yang baik dan mencegah perbuatan yang mungkar (QS. Luqman 17); (5) mengajarkan sikap lemah lembut terhadap orang lain, sopan dalam berjalan dan berbicara serta tidak sombong (ayat 18-19).
Pada masyarakat modern, pendidikan yang semula menjadi tanggung jawab keluarga itu kini sebagian besar diambil alih oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Pada tingkat permulaan fungsi ibu sebagian sudah diambil alih oleh pendidikan prasekolah. Bahkan fungsi pembentukan watak dan sikap mental pada masyarakat modern berangsur-angsur diambil alih oleh sekolah dan organisasi sosial lainnya. Sekolah merupakan rumah kedua bagi pelajar (home for learning). Sekolah tidak hanya menyediakan kesempatan mendapatkan pengetahuan, tetapi juga berperan dalam pembangunan karakter. Meskipun keluarga kehilangan sejumlah fungsi yang semula menjadi tanggung jawabnya, namun keluarga masih tetap merupakan lembaga yang paling penting dalam proses sosialisasi anak, karena keluarga yang memberikan tuntunan dan contoh-contoh sejak masa anak sampai dewasa dan berdiri sendiri. Dalam masyarakat modern orangtua juga harus membagi otoritas dengan orang lain terutama guru dan pemuka masyarakat, bahkan dengan anak mereka sendiri yang memperoleh pengetahuan baru dari luar keluarga. Perubahan sifat hubungan orang tua dengan anaknya itu, akan diiringi pula dengan perubahan hubungan guru dan siswa serta didukung norma-norma dalam masyarakat. Dengan kata lain, terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara ketiga pusat pendidikan itu.
Masa di saat Rasulullah hidup membimbing para sahabatnya dapat disebut sebagai sekolah besar (madrasah Rasûlillâh). Di situ beliau berperan sebagai guru di sekolah sekaligus pembina masyarakat. Pendidikan dilakukan secara kolektif dan terpadu, antara satu dan lainnya saling mendidik dan mengajar. Dalam kehidupan bermasyarakat beliau menetapkan hak-hak dan kewajiban bertetangga sebagai sebuah ikatan sosial. Begitu kuatnya ikatan tersebut dan tekanan ajaran yang disampaikan malaikat Jibril sampai-sampai Rasulullah menduga tetangga akan ikut mendapatkan warisan tetangganya yang meninggal dunia. Di antara hak dan kewajiban yang utama adalah saling mengajarkan antara satu dengan lainnya. Suatu ketika Rasulullah berkhutbah dengan memuji sekelompok orang, kemudian setelah itu beliau mengatakan, “Mengapa ada sebagian komunitas yang tidak ‘mencerdaskan’ tetangganya, tidak mengajarkan mereka, dan tidak beramar makruf nahi munkar? Mengapa ada sebagian orang yang tidak mau belajar dari tetangganya? Demi Allah, setiap komunitas hendaknya saling mendidik, saling mengajarkan dan beramar makruf nahi munkar. Bila tidak, sanksi dan siksa akan dipercepat kedatangannya di dunia”. Para sahabat bertanya-tanya tentang siapa yang dimaksud oleh Nabi dalam ucapannya itu, sebab kebiasaan beliau tidak “tunjuk hidung” ketika menegur seseorang. Sindiran itu sampai ke telinga suku/ kabilah Asy`ari yang dikenal banyak memiliki orang pandai dan hidup bertetangga dengan sekelompok masyarakat yang berwatak keras (orang yang hidup di sepanjang perairan dan pedalaman/ badui). Merasa mendapat teguran mereka meminta waktu satu tahun untuk mencerdaskan tetangga ‘kampungnya’, dan Rasulullah memperkenankan. Beliau kemudian menyitir sebuah ayat dalam Al-Qur`an yang berbunyi :
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79) [المائدة/78، 79]
Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat (QS. Al-Maidah [5] : 78-79)[21].
Ulama besar Syiria, Syeikh Mushtafa al-Zarqa mengomentari hadis di atas dengan mengatakan, “Sikap Rasulullah yang menganggap kelalaian dalam belajar-mengajar sebagai sebuah kriminalitas sosial yang berakibat pelakunya mendapat siksa dunia, merupakan sikap memuliakan ilmu yang tiada duanya dalam sejarah, baik sebelum atau sesudah masa beliau”[22].
Keterpaduan antara keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa proses pendidikan berlangsung sepanjang kehidupan. Oleh karena itu pendidikan dalam Islam bersifat seumur hidup (Lifelong Education). Di atas telah disinggung bahwa tujuan pendidikan Al Qur’an adalah membentuk generasi rabbâniyy (QS. Âl Imrân : 79), yang dapat dicapai dengan mengajarkan (bacaan : tu`allimûn) atau mengetahui (bacaan : ta`lamûn) petunjuk-petunjuk Allah (al-kitâb), baik yang terbaca dalam mushaf maupun yang terbentang di alam raya, dan mempelajarinya secara terus menerus (tadrusûn). Kesinambungan itu disimpulkan dari penggunaan bentuk redaksi mudhâri` (present tense). Kehidupan seorang Muslim harus selalu ditandai dengan peningkatan ilmu pengetahuan. “Katakan, ‘Wahai Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuanku’.” (Q.,s. Thaha : 114), demikian doa yang harus selalu dipanjatkan oleh seorang Muslim. Atau dengan kata lain, seorang Muslim harus selalu berusaha menambah pengetahuannya selama hayat dikandung badan, baik secara formal maupun non-formal.
Wa akhîran
Demikian sekelumit petunjuk yang dapat penulis 'raba' dari Al Qur‘an, sebab selain begitu luas dan dalamnya lautan Al Qur‘an yang sangat sulit untuk dijangkau semua, tema pendidikan bukanlah 'cangkir kopi' penulis. Meski begitu, penulis berharap semoga tetesan air yang menempel saat jari dicelupkan ke atas permukaan laut Al-Qur`an dapat merangsang untuk menyelami lautannya yang luas.  [insist]

Daftar Pustaka:
Abu Ghuddah Abdul Fattah, 2008. Al-Rasûl al-Mu`allim wa Asâlîbuhu fi al-Ta`lîm, Beirut, Dar al-Basyâ`ir al-Islâmiyyah
Depdkbud, Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
Dewantara, Ki Hajar, 1967. Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, Yogyakarta.
Marimba, A.D., 1980.  Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Alma’arif.
Mahmud, Abdul Halim, 2005. Manhaj al-Ishlâh al-Islâmiy fi al-Mujtama, Kairo, Al-Hay`ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitâb.
Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, Tim Penyusun, 1996. Kairo, Majma` al-Lughah al-Arabiyyah.
Natsir, M., 1954, Capita Selecta, Bandung, Gravenhage
Langgulung, Hasan, 1968. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka al-Husna.
Saridjo, Marwan, 2009. Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta Rajawali Pers.
Shihab M. Quraish, 1992. Membumikan Al-Qur`an,  Bandung, Mizan.


Multimedia:

Kanz al-`Ummâl, (Maktabah Syamilah) 10/147
Al-Qarafi, al-Furûq, 4/170
Ibnu Asyur, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 6/118
Manzhur, Ibnu, Lisân al-Arab,  (Maktabah Syamilah), 14/304
Al-Fayruzabadi, Bashâir Dzawî al-Tamyîz (Maktabah Syamilah), 3/2
Muhammad Sayyed Thanthawi, Al-Tafsîr al-Wasîth (Maktabah Syamilah), h. 1/656



 *  Kepala Bidang Pengkajian Alquran Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Ketua Tim Penyusun Tafsir Tematik Kemenag RI, Manager Program Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) Jakarta, Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Meraih seluruh gelar kesarjanaannya di bidang tafsir dan ilmu-ilmu Alquran dari Universitas Al-Azhar Kairo.
                [1] Kanz al-`Ummâl, (Maktabah Syamilah) 10/147
[2] Al-Qarafi, al-Furûq, 4/170
[3]  Dikutip dari Marwan Saridjo, Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : Rajawali Pers, Cet. 1, 2009, h. xxxiv- xxxv
                [4]. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an (Bandung: Penerbit Mizan, Cet. I, 1992), h. 173
                [5]. Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42
                [6]. Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967) h. 42
                [7]. M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954), h. 87
                [8]. A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4, h. 19
                [9]. Tim Penyusun Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm (Kairo : Majma` al-Lughah al-Arabiyyah, 1996), v 3, h. 14
                [10]. Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab (Maktabah Syamilah), 14/304
                [11]. Mu`jam Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, 3/22
                [12].  Al-Fayruzabadi, Bashâir Dzawî al-Tamyîz (Maktabah Syamilah), 3/2
                [13]. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas`ud. Menurut Ibn al-Jawzî, Al-Munawi dan al-Sakhawi riwayat tersebut lemah (dhâ`îf) (Kanz al-Ummâl, 7/214)  
                [14]. HR. Bukhari, bâb ta`lîm al-rajul amatahu wa ahlahu
                [15]. M. Quraish Shihab, h. 172
                [16]. Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Ishlâh al-Islâmiy fi al-Mujtama (Kairo : Al-Hay`ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitâb, 2005), h. 96-97
                [17]. Muhammad Sayyed Thanthawi, Al-Tafsîr al-Wasîth (Maktabah Syamilah), h. 1/656
                [18]. Ahmad D. Mariba, h. 19
                [19] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1968), Cet. Ke-1 h. 33
[20]  Ibnu Asyur, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 6/118
[21]  Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam al-Mu`jam al-Kabîr. Lihat juga dalam Kanz al-`Ummâl 3/685. Menurut pakar hadis Abdul Fattah Abu Ghuddah hadis ini berstatus hukum hasan atau mendekati hasan sehingga dapat diterima (Al-Rasûl al-Mu`allim, h. 17). 
[22] Mushtafa al-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhiy al-`Âmm, Dar al-Qalam, cet. 7, 2/641. Lihat juga : Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Rasûl al-Mu`allim wa Asâlîbuhu fi al-Ta`lîm, Beirut : Dar al-Basyâ`ir al-Islâmiyyah, cet. 4, 2008, h. 16-18

Sabtu, 22 September 2012


Ketiga anakku memiliki karakter yang berbeda. Si Abang jagoan pertama pembawaannya cuek, tapi jika ada anggota keluarga yg sedang tertimpa masalah, ia adalah orang pertama yang bertanya ada apa?

Lain Abang lain juga Kakak, si tengah. Dengan perkembangan bahasa yang tumbuh paling pesat diantara saudara-saudara sekandungnya, ia tumbuh sebagai gadis kecil yang banyak tanya, banyak bicara banyak tahu. Kadang-kadang aku dibuat kewalahan oleh "kecerewetannya" ^_^

Lalu Si Bungsu yang terlihat paling pemalu, faktanya ia pendengar yang setia.Ringan tangan dan suka berbagi.

Meski berbeda tapi jika sudah menyinggung soal dongeng, ketiganya kompak untuk segera mencari posisi ternyaman untuk mendengar dongeng dariku. Saat-saat seperti itu adalah salah satu saat-saat terdekatku dengan anak-anak. Selain aku bisa menanamkan pesan moral untuk diingat oleh memori mereka, saat-saat itu pulalah mereka berada begitu dekat dalam dekapanku, merasakan belaianku hingga biasanya setelah satu cerita berlalu, mereka berebut untuk mendengar cerita lainnya. Dan dunia rasanya hanya milik kami ber-empat.

Mendongeng adalah cara yang efektif bagiku untuk berkomunikasi dengan interaktif bersama anak-anak. Meski terlihat sepele, namun melalui dongeng proses internalisasi nilai-nilai positif terjadi setelahnya, memang tak ada yang instant. Tapi semakin terbiasa mereka mendengar cerita-cerita yang mengandung hikmah kebaikan, semakin sering mereka menerapkan nilai-nilai itu ketika menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan dunia kecil mereka.

Ayah- Bunda yang sholeh dan sholihah...
Ingin tahu cara mendongeng yang membuat buah hati anda menjadi tertarik dan terpikat pada anda??

Ikuti WORKSHOP MENDONGENG bersama KAK AWAM PRAKOSO (pendiri KAMPUNG DONGENG INDONESIA)
CATAT TANGGALNYA !!!!
29 September 2012 @MIZAN BOOKSTORE, D-MALL (depok mall) LT.2 jam 13-16 WIB

INVESTASI : Rp.100.000 (DVD tutorial, Snack, Sertifikat)

SEAT TERBATAS!!! BURUAAAN DAFTAR YAAA AYAH-BUNDA...

info :
Kak Pita : 085691062407 / BB 287AE87E
Kak Galuh : 082113099818 / BB 275F3912

Kamis, 30 Agustus 2012

Teguran Ummu Salamah Kepada Pembantunya

Posted by Kak Galuh On 12.48 | No comments
Islam sangat mencintai kaum fakir miskin. Allah SWT memerintahkan kepada hambanya senantiasa menyantuni orang-orang miskin, dan melarang mereka untuk berperilaku boros atau menghamburkan harta.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros,” firman Allah SWT dalam surrah Al-israa’ ayat 26.

Dalam banyak hadits, Rasulullah SAW banyak memberikan tauladan sikap kepada kaum fakir miskin. Bahkan istri-istri nabi seakan berlomba-lomba mengamalkan anjuran nabi untuk menyantuni kaum miskin dengan bersedekah, seperti Ummu Salamah.

Suatu hari, beberapa orang fakir datang secara bergerombolan mengetuk rumah Ummu Salamah untuk meminta. Mereka semua memakai pakaian yang compang-camping, tangannya selalu menengadah mengharap uluran tangan dari orang-orang kaya.

Namun bukannya mendapat pemberian, mereka yang mengetok pintu rumah Ummu Salamah justru mendapat makian dari pembantu Ummu Salamah bernama Ummu Husain. Sambil memaki, Ummu Husain juga mengusir gerombolan orang fakir. “Keluarlah,” kata Ummu Husain yang berdiri di depan pintu sambil mengarahkan telunjuknya ke luar rumah. Dengan berat hati, orang-orang fakir itu pergi sampai menghilang dari pandangan mata. Karena perkataan Ummu Husain kencang, Ummu Salamah yang di dalam kamarnya mendengar dan segera melihat apa yang sedang terjadi. Setelah mengetahui permasalahannya, kemudian Ummu Salamah dengan sabar dan kasih sayang menjelaskan dan meluruskan pemahaman pembantunya itu.
“Hai pembantu, bukan begitu yang seharusnya kita lakukan. Berilah masing-masing mereka meski hanya satu butir kurma, dan kamu letakkan di tangan mereka masing-masing,” kata Ummu Salamah.

(Buku 99 Kisah Teladan Sahabat Perempuan Rasulullah – Manshur Abdul Hakim) [kisah islami]

Minggu, 29 Januari 2012

FESTIVAL MEMBACA DAN MENULIS 2012

Posted by Kak Galuh On 11.58 | No comments

Dalam rangka milad Forum Lingkar Pena (FLP) yang ke-15, FLP mengadakan lomba-lomba sebagai berikut:

LOMBA FOTO AKU GILA BUKU

Ekspresikan dirimu bersama koleksi buku-bukumu, segila, senarsis, dan sekeren-kerennya!
Syaratnya:
1. Peserta lomba terbuka untuk umum
2. Pose foto harus memperlihatkan buku-buku FLP
2. Kamera yang digunakan boleh DSLR, kamera poket, maupun kamera ponsel
4. Peserta hanya boleh mengirimkan 1 (satu) foto
5. Foto dikirim melalui email: flp.pusat@gmail.com dengan ukuran maksimal 500 kb dan beri Subject: LOMBA FOTO AKU GILA BUKU
6. Panitia akan mengunggah foto di Twitter @flpoke dan Group Facebook Forum Lingkar Pena.
6. Waktu pelaksanaan mulai 25 Januari sampai dengan 19 Februari 2011
7. Foto dengan “Like” terbanyak di Facebook akan dinobatkan sebagai “Foto Favorit”
8. Pemilihan Foto Favorit akan ditutup pada 22 Februari 2011

Hadiah:
* Foto Terbaik akan mendapat: Kamera poket + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp1.500.000,-
* Foto Favorit akan mendapat: Handphone + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp1.000.000,-


LOMBA RESENSI BUKU

Persyaratan:
a. Lomba terbuka untuk umum.
b. Resensi ditulis sepanjang 1000-1500 kata, dengan memilih buku-buku berikut:

1. Catatan Cinta dari Mekkah (Awy’ Ameer Qolawun, Jendela, 2012)
2. Cinta Sang Penjaga Telaga (Azzura Dayana, Pro-U, 2009)
3. Cintaku di Negeri Jackie Chan (Ida Raihan, Jendela, 2012)
4. Goes to Pesantren (M. Dzanuryadi, LPPH, 2011)
5. Happy Working Mom (Aprilina Prastari, Gramedia, 2012)
6. Jatuh dari Cinta (Benny Arnas, Grafindo, 2011)
7. Lampuki (Arafat Nur, Serambi, 2011)
8. Livor Mortis (Deasylawati, Indiva, 2011)
9. Memoirs of Stientje (MD Aminuddin, Mybook, 2011)
10. Mengapung Bersama Nil (Arif Friyadi, LPPH, 2009)
11. Musim Gugur Terakhir di Manhattan (Julie Nava, LPPH, 2011)
12. Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (Ragdi F Daye, LPPH, 2010)
13. Rindu Rumpun Ilalang (Nailiya Nikmah, KSI Banjarmasin, 2010)
14. Sakura (Nova Ayu Maulita, LPPH, 2010)
15. Suami Sempurna (Nurul F Huda, LPPH, 2012)

c. Resensi belum pernah dipublikasikan.
d. Resensi dikirim melalui email ke flp.pusat@gmail.com, dengan subjek “Lomba Resensi Milad FLP ke-15”. Juga ditulis di note akun Facebook peserta dan menandai (men-tag) minimal 15 akun kawan.
e. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul naskah.
f. Naskah ditunggu paling lambat 17 Februari 2012.

Hadiah:
- Resensi terbaik pertama akan mendapat: Smartphone + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp2.000.000,-
- Resensi terbaik kedua akan mendapat: Handphone + Paket buku dari penerbit + Suvenir, total hadiah senilai Rp1.500.000,-


LOMBA BLOG

Persyaratan: 
1. Peserta terbuka untuk umum
2. Blog harus milik pribadi peserta dan memuat hal-hal yang berhubungan dengan dunia membaca, tulis menulis, serta tentang FLP
3. Publikasi tulisan boleh dari arsip lama yang kemudian dimuat ulang di halaman awal blog
4. Kirim URL blog ke email: flp.pusat@gmail.com dan beri Subject: LOMBA BLOG, juga ke Twitter dengan mention @flpoke dan hastag #FestivalMembacadanMenulis2012
5. Ditunggu paling lambat 19 Februari 2012.

Hadiah:
- Blog terbaik pertama akan mendapat: Smartphone + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp2.000.000,-
- Blog terbaik kedua akan mendapat: Handphone + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp1.500.000,-


LOMBA ESAI “AKU DAN FLP”

Persyaratan:
1. Peserta untuk anggota FLP
2. Panjang esai 1.000-2.000 kata
3. Esai dikirim ke email: flp.pusat@gmail.com, serta dipublikasikan melalui blog pribadi atau note akun Facebook peserta, dengan men-tag 20 orang kawan. Link note di Facebook dilampirkan pada naskah asli yang dikirim melalui email. Panitia akan memuat link note peserta melalui Twitter.
4. Peserta hanya boleh mengirim 1 (satu) esai
5. Naskah ditunggu maksimal 17 Februari 2012.

Hadiah:
- Esai terbaik pertama akan mendapat: Notebook + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp3.000.000,-
- Esai terbaik kedua akan mendapat: Kamera poket + Paket buku dari penerbit, total hadiah senilai Rp1.500.000,-


LOMBA MUSIKALISASI PUISI

Persyaratan:
1. Peserta perorangan atau kelompok dengan menggunakan alat musik apa saja
2. Puisi yang dimusikalisasikan adalah puisi-puisi yang sudah pernah diterbitkan atau dipublikasikan oleh penulisnya
3. Peserta merekam musikalisasi puisinya dan diunggah ke Youtube.com. Durasi rekaman maksimal 15 menit
4. Copy-paste URL Youtube musikalisasi puisi ke akun Facebook dan Twitter peserta. Untuk Facebook, peserta men-tag minimal 20 teman, untuk Twitter mention @flpoke dan hashtag #FestivalMembacadanMenulis2012
6. Upload ditunggu sampai 19 Februari 2012
7. Peserta hanya boleh mengirimkan 1 (satu) video

Hadiah:
- Video terbaik pertama akan mendapat: Uang tunai Rp1.500.000,- + Paket buku dari penerbit
- Video terbaik kedua akan mendapat: Uang tunai Rp1.000.000,- + Paket buku dari penerbit


**Semua pemenang lomba akan diumumkan pada 25 Februari 2012, sekaligus Gathering/Silaturahim Milad Forum Lingkar Pena, yang juga akan diramaikan dengan beberapa acara:

- Satu Jam Menulis Serentak
- Orasi budaya oleh Ketua Umum FLP, Setiawati Intan Savitri, S.Si, M.Psi.
- Peluncuran buku "Suami Sempurna" (alm. Nurul F Huda) dan "Al Banna: Sang Pemusar Gelombang" (M. Irfan Hidayatullah)
- Diskusi "Penulis dan Serba-Serbi Hukum" bersama Heru Susetyo*
- Diskusi "Internet, Buku Digital, dan Masa Depan Penulis" bersama Widanardi Satryatomo
- Book swap
- Book game

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE