Minggu, 13 Juni 2010

Perlukah Pendidikan Berkarakter?

Posted by Kak Galuh On 06.30 | No comments
PEMERINTAH, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka  tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).

Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.

Bahkan, bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter.

Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.

Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. "Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah," tulisnya.

Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.

Sebagai Muslim, kita tentu tidak sependapat dengan pandangan Doni K. Albertus semacam itu. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Tentu kita memahami pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.

Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.

Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),  – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu!  Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!

Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN,  mungkin bagus!  Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orangtua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu!  Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.

*****

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”

Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana.  Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.

Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).

Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.

*****

Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:

“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara  yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya...”

Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa  Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya.  Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.”  Lebih jauh, kata Natsir:

”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi,  gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” 

*****

Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!

Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat – adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.

Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman.

Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan! [Depok, Juni 2010/hidayatullah.com]-[insist]

Sabtu, 12 Juni 2010

Pacuan

Posted by Kak Galuh On 07.13 | No comments
Hidup adalah masa karya. Setiap kita diberi rentang waktu, yang kemudian kita sebut umur, untuk berkarya. Harga hidup kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita. Maka sesungguhnya waktu yang ‘berhak’ diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, ia bukan milikmu.

Itulah undang-undang kebenaran tentang hakikat waktu. Kita bukan waktu yang kita miliki. Tapi kita adalah amal yang kita lakukan.

Dalam relung hakikat itu pulalah Ilahi Rabbi menurunkan titah-Nya untuk ‘berpacu’ dan ‘berlomba’ dalam medan kehidupan. Hidup ini adalah jalan panjang yang harus kita lalui. Tak satu pun diantara para peserta kehidupan itu yang diberitahu di mana dan kapan ia harus berhenti. Sebab tempat pertama yang engkau tempati berhenti adalah ajalmu. Akhir masa karyamu.

Begitulah para sahabat Rosululloh dan semua manusia Muslim yang agung dan besar yang pernah hadir di pelataran sejarah, memahami makna waktu dan hidup, serta melaluinya dengan semangat perpacuan yang tak pernah dapat digoda oleh kelelahan.

Apa yang mereka pakai adalah kendaraan jiwa yang seluruh muatannya adalah makna hidup itu sendiri, serta kehendak yang telah terwarnai oleh makna itu. Tak ada ruang kosong dalam kendaraan jiwa itu yang tak terisi oleh kehendak dan azimah. Semua hakikat baru yang mereka pahami, yang mengantar mereka pada titian ketinggian, selalu menjelma menjadi hakikat lain yang mengantar mereka pada titian yang lebih tinggi.

Perjuangan, bagi manusia-manusia agung itu adalah sebuah insting yang sama kuatnya dengan insting lain dalam diri mereka. Sebab, kata seorang sastrawan Muslim Mesir, Musthofa Shodiq Al-Rofi’i, “rupanya perjuangan itu mempunyai naluri yang sanggup mengubah seluruh kehidupan ini menjadi kemenangan. Sebab setiap anak pikiran yang hinggap di situ, selalu langsung menjelma jadi pembunuh-pembunuh kekalahan.”
Mengeluh, dalam insting perjuangan mereka, adalah sepol yang hendak merayu benteng thumuh mereka. Kekalahan, dalam tradisi keagungan mereka, bagai sebatang lilin yang ingin menghisap gelombang. Semua yang ada di permukaan bumi ini adalah tanah tempat kaki kebesarannya mengayuh derap langkah melewati hari-hari.

Dalam semangat perpacuan itu, semua tantanan yang mereka temui hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru, kecerdasan-kecerdasan baru, kehendak-kehendak baru. Inilah rahasia besar menyingkap tabir kebesaran sahabat, tabi’in serta ulama, zu’ama dan mujahidin besar yang pernah menggoreskan tinta emas dalam sejarah Islam kita. Banyak diantara mereka yang mati dalam kesyahidan pada usia yang teramat muda. Imam Al Ghazali meninggal dalam usia 45 tahun, Umar bin Abdul Azis dalam waktu 39 tahun, dan Hasan Al Banna dalam usia 41 tahun. Tapi waktu mereka bagai ‘memanjang’ mengikuti rentang panjang keabadian.

“Sebab ketika jiwa itu kosong, pikirannya akan jauh lebih kosong. Ia akan terus berlari mencari semua yang dapat membuatnya lupa pada sang jiwa. Sedang manusia agung itu, hidup penuh sepenuh jiwa,” kata Musthofa Shodiq Al Rofi’i. Wallahualam. [revolusiana]

Jumat, 14 Mei 2010

Sungguh Manusia Itu Sombong

Posted by Kak Galuh On 15.30 | No comments
Sungguh manusia itu sombong...
Sudah di beri kenikmatan begitu melimpah oleh Penciptanya, ia masih saja memaki-maki Tuhan karena merasa tidak bebas dengan aturan Tuhan...
Lebih jauh lagi, ia menganggap Tuhan itu hanyalah imajinasi orang-orang pecandu yang banyak menderita karena kemiskinan dan ujian-ujian lainnya...
Atas kesakitan penderitaan tersebut, maka manusia butuh obat penenang...
Dan agama beserta aturan dan atributnya adalah candu bagi rasa sakit itu...
Betapa 'pintarnya' analisa manusia yang merasa bukan pecandu tersebut...

Lupakah manusia... Bahwa ia tidak meletek dengan sendirinya... Dan juga tidak mati begitu saja bagaikan bangkai yang membusuk dan tak berarti...

Allah SWT berfirman:
"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan yang dapat disebut?" QS. al-Insan (76): 1
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
QS. al-Insan (76): 2
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir".
QS. al-Insan (76): 3

Betapa hinanya manusia hingga Allah memuliakannya dalam penciptaan yang sempurna...
”Dan sungguh Kami telah (putuskan untuk) memuliakan Bani Adam, dan telah Kami kerahkan untuk mereka apa yang ada di darat dan di laut, serta telah Kami berikan kepada mereka rezeki yang halal lagi baik (thayyibat), dan telah Kami unggulkan mereka di atas makhluk-makhluk Kami lainnya yang banyak” (QS. Al Isra: 70)

lihat http://covertfile.blogspot.com/2010/02/ayat-suci-di-dalam-kromosom-manusia.html

Sudah sedemikian dimuliakannya, Allah mengetahui manusia yang telah diciptakanNya ini tak mau tunduk pada ketentuannya... Sehinnga DIA menyindir...
"Mereka tahu nikmat Allah, kemudian mereka ingkari , dan karena kebanyakan mereka ialah orang-orang yang tidak berterimakasih/kafir." (An-Nahl:83)

Tapi Allah yang Rahman dan Rahim masih mau memperingatkan....
"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung." (al-Isra':37)

Dan lagi-lagi manusia tidak menggubris peringatan tersebut...
Hingga Allah pun berfirman; "Adapun yang beriman dengan ayat-ayat Kami, tidak lain hanya orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu, mereka menyungkur sujud sambil mengucapkan puja dan puji kepada Tuhannya, lagi mereka tidak pernah bersikap sombong." (As-Sajdah:15)

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat (perintah) Kami dan yang angkuh (merasa dirinya lebih) daripada mematuhinya, tidak sekali-kali akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit (amalan doa mereka tidak diterima) dan mereka tidak akan masuk Syurga sehingga unta masuk di lubang jarum dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang melakukan kesalahan. Disediakan untuk mereka hamparan-hamparan dari api neraka, dan di atas mereka lapisan-lapisan penutup (dari api neraka) dan demikianlah Kami membalas orang-orang yang zalim (disebabkan keingkarannya).” (Surah Al A’raf: 40-41).

Belum cukup... Hingga akhirnya Allah lah yang tidak menggubris manusia-manusia yang telah ingkar pada ketentuan/fitrahnya itu...
"Orang-orang yang kafir, sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau tidak, mereka tak akan beriman." (Al-Baqarah:6)
"Allah menutup hati mereka dan pendengaran mereka, sedangkan di mata mereka terdapat tabir yang menutupi, dan bagi mereka azab yang besar." (Al-Baqarah: 7)

Manusia ada dan tiadanya tentu mempunyai maksud...
"(Dia-lah) yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".
(QS. Al-Mulk: 2)

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
QS. al-Anbiya (21) : 35

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Ku”
(QS. Adz-Dzariyat : 56)

Allah menciptakan manusia beserta petunjuk penggunaan...
Sama seperti seorang pencipta yang menciptakan teknologi muktahir dengan petunjuk penggunaannya...
Jika hasil ciptaan teknologi muktahir itu dipakai tidak sesuai petunjuk, maka akan rusak...
Begitupun manusia...
Mau coba-coba tak gunakan petunjuk yang sudah di berikan Penciptanya?
Silahkan saja kalo mau rusak.....!!!

Jumat, 23 April 2010

Oh Abang...

Posted by Kak Galuh On 15.27 | 1 comment
Tak terasa sebentar lagi Si Abang akan jadi siswa sekolah dasar. Masih teringat setahun lalu, ketika ia masih berumur lima tahun...

Saat itu ia pulang kerumah dengan nafas terengah-engah. Wajahnya tampak marah dan menahan tangis. Ketika di tanya apa yang menyebabkan ia seperti itu, ia bercerita sambil menahan tangisnya. Ia menjelaskan bahwa ia baru saja bertengkar dengan 5 orang temannya gara-gara mereka menyepakati bahwa Alloh itu ada 5 dan Rosululloh itu masih hidup. Ia berusaha menjelaskan bahwa argumen teman-temannya salah, karena menurut keyakinannya Alloh itu hanya ada satu dan Rosululloh sudah wafat. Teman-teman tak percaya pada argumennya, dan melakukan aksi "ga temenan" ke abang. Mereka memaksa abang untuk sepakat dengan argumen mereka jika abang masih ingin main dengan mereka.

Abang tetap bertahan pada keyakinannya. Akhir yang menyakitkan bagi si abang ketika kelima temannya tersebut menyorakinya berami-ramai... Ia marah dan sangat berhasrat untuk memukul, lantas ia ingat ada seseorang yang memberitahunya jika bertengkar dengan teman jangan sembarangan memukul. Terlebih tiga diantara lima temannya itu adalah anak perempuan dan dua lagi sisanya anak laki-laki bertubuh tak sebanding dengan badannya yang bongsor, maka ia memilih pulang kerumah meninggalkan teman-temannya yang terus memojokkannya dengan sorakan sambil mengejar abang hingga depan rumah....

Di akhir ceritanya, ia berkata sambil memecahkan tangis yang tertahan, "Abang rasanya pengen nangis waktu teman-teman ga percaya bahwa Alloh itu satu dan Rosululloh itu sudah meninggal... kenapa teman-teman abang tidak percya sama abang?..." isaknya sedih.

Oh Abang... benarkah itu dirimu? karena kau bersikap dan berbicara tidak seperti anak berumur lima tahun. Kau lebih memilih meninggalkan teman-temanmu yang memaksakan argumen mereka tentang Alloh dan RosulNya... padahal bermain adalah hal yang sangat menyenangkan bagimu saat itu....

Jangan pernah takut membela Alloh dan RosulNya...semoga bekal itu yang akan terus kau yakini dalam hatimu ketika kau sudah jadi siswa Sekolah Dasar kelak...
juga hingga akhir hayatmu..... Amiin. [gkw]

Jumat, 09 April 2010

Izzah Istri Akhir Zaman

Posted by Kak Galuh On 15.22 | No comments
Lita, seorang ibu rumah tangga muslimah yang sudah memiliki suami dan dua orang putra kecil, baru saja pulang dari acara kumpul-kumpul reuni sma. Tak tertahankan betapa bahagianya bisa bertemu dengan sahabat-sahabat lama dan juga beberapa mantan pacar yang telah sekian tahun menghilang. Dan sepulang dari acara kumpul-kumpul yang telah melewati waktu Isya itu, Lita pulang diantar oleh teman prianya yang dahulu pernah menjadi pacarnya semasa sma. Mereka saling bercerita kisah masa lalu yang begitu manis dan menyenangkan. Sang mantan pun tak ayal menggodanya, dengan godaan-godaan romantis gombal seperti dulu. Lita tersenyum malu mendengarnya. Bagaikan ada yang menyirami manis hatinya dengan segelas sirup dingin. Dirumahnya yang sejuk, menunggu anak-anak dan suami tercintanya. Dan si teman pria masa lalunya berpamitan pada Lita di ujung gang rumah Lita.

Sekar belum lama merasakan jadi istri, tapi ia harus berpisah dengan suaminya, karena sang suami melanjutkan sekolah masternya di luar negri. Sementara untuk ikut dengan suaminya Sekar akan berpikir dua kali karena karir yang dibangunnya jauh sebelum menikah akan hancur jika ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Komunikasi yang terjalin antara sekar dan suaminya bukanlah sebuah masalah mengingat kemajuan teknologi yang memudahkan keduanya untuk berkomunikasi kapan saja. Tapi siapa yang tak mau jika ada sahabat pria lama yang menaruh hati padanya kerap menghubunginya, memberi perhatian kecil dan mengajaknya makan bersama untuk sekedar ngobrol. Obrolan yang tidak begitu penting memang. Tapi sanggup menyemangati Sekar untuk tetap bertahan meski jauh dari sang suami. Dan sekar mulai menyukai curhat dengan teman lama tersebut yang dulu tak pernah diliriknya sama sekali.

Di sudut belahan bumi lain Fatimah lulusan cumlaude sarjana Science di sebuah perguruan tinggi negri terbaik. Belum lulus pun sudah waiting list pihak yang mengajaknya untuk bekerja sama. Ketika Fatimah ingin memulai karirnya, takdir membawanya menjadi seorang istri pada waktu yang tak pernah ia duga. Ia tinggalkan semua pihak yang mengajaknya bekerja sama. Ia memilih berkhidmat pada suami dan keluarga kecilnya. Ketika setiap teman semasa kuliahnya menyayangkan keputusannya untuk melepas kesempatan berkarir yang baik, Fatimah tak ragu memilih membenahi dirinya agar dapat menjadi istri dan ibu yang baik saja, meski gaji dan jenjang aktualisasi diri yang memadai berada di depan matanya.

Begitu pun Khansa, seorang Muslimah yang terpaksa harus menafkahi anak-anaknya tanpa suami disisinya. Bukan karena sang suami pergi ke luar kota, melainkan sang suami telah menghilang secara misterius akibat ‘suara’nya yang vokal mengkritisi penguasa lalim di masanya. Paras ayunya yang penuh kesederhanaan dan kebijakan, tidak sedikit membuat beberapa laki-laki lain mencoba mendekatinya bahkan melamarnya. Sudah satu setengah tahun memang ia di tinggalkan suaminya dalam keadaan yang tidak pernah ia ketahui. Tapi ia tak ingin menodai kesetiaannya dengan menutup serapat mungkin aksesnya kepada sejumlah laki-laki lain yang sudah siap menggantikan posisi suaminya kapan saja ia mau.

Dengan kondisi zaman yang telah mendekati akhir ini, terkadang tidaklah mudah untuk bertahan menjaga izzah sebagai seorang istri. Perbedaan antara halal dan haram begitu tipis dan terkadang di putar balikkan untuk disesuaikan dengan kondisi zaman. Begitu banyak yang menyatakan dirinya seorang Muslimah, tapi tak sedikit pula yang meninggalkan kemuliaan kemuslimahan mereka dengan memilih untuk menjadi anak zamannya.

Ketika seorang istri sudah tidak lagi malu berpergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Ketika seorang istri sudah menikmati mencurahkan isi hatinya bukan pada sang suami dan juga menikmati mendengarkan curahan isi hati laki-laki selain suaminya, dimanakah izzah istri Muslimah yang mulia? Zaman akan membenarkan karena toh, semuanya adalah hal yang wajar-wajar saja selama tak ada kontak fisik badaniah antara sang istri dan lelaki lain tersebut. Tapi kemudian, apakah masih terasa special ketika kita berpergian, mencurahkan isi hati dan mendengar curahan isi hati suami jika kita juga melakukan hal yang sama pada laki-laki lain? Lalu apa ada beda antara suami dan laki-laki lain jika kita memenuhi hak keduanya dengan cara yang tidak berbeda? Tidakkah ada rasa gelisah dan cemas ketika kita memberikan hak suami kita untuk menemani kita berpergian dan hak mendengarkan seluruh perasaan kita pada laki-laki lain yang mungkin juga di luar sana telah memiliki istri.

Izzah wanita Muslimah adalah kemuliaan terbaik yang dianugerahkan Allah padanya. Jika kita merasa bahwa kita adalah seorang wanita yang meyakini jalan keselamatan (baca: Islam) apakah sebuah kemunduran jika kita berlaku seperti halnya fitrah yang sudah Allah berikan pada kita sebagai wanita Muslimah? Izzah (harga diri) wanita Muslimah yang terpeliharalah yang mampu menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya generasi tauhid yang kuat dan tangguh. Generasi yang akan memimpin peradaban terbaik yang pernah ada hingga akhir zaman.

Hendaknya, beberapa kisah diatas dapat memberikan hikmah bagi kita. Jika kita merasa memiliki izzah sebagai seorang istri dan wanita muslimah, tunaikan fitrah izzah tersebut sesegera mungkin sebelum ia mendatangkan bencana bagi kita. Wallahu’alam.[gkw]

Minggu, 04 April 2010

Akhlak Mulia Dalam Rumah Tangga

Posted by Kak Galuh On 15.11 | No comments
Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga

Penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah Mengayuh Biduk 23 - Juni - 2007 22:21:14

Pihak ketiga selama ini dianggap faktor utama yg memicu pertikaian dlm rumah tangga. Namun jika kita telisik lbh dlm sejati segala ketakserasian yg terjadi lbh disebabkan akhlak dan perilaku suami atau istri sendiri. Sikap-sikap yg jauh dari tuntunan agama yg dipraktikkan alhasil memupuk tiap perselisihan antara suami dan istri yg kemudian menumbuhkan konflik yg bisa berbuah perceraian.

Dalam Al-Qur`an yg mulia termaktub sebuah ayat yg berbunyi:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sungguh engkau berbudi pekerti yg agung.”
Ayat ini memuat pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya yg pilihan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataan memang tdk ada manusia yg lbh sempurna akhlak daripada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suatu anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yg telah memberi taufik kepada beliau. Tidak ada satu pun kebagusan dan kemuliaan melainkan didapatkan pada diri beliau dlm bentuk yg paling sempurna dan paling utama. Hal ini pun diakui oleh para sahabat yg menyertai hari-hari beliau sebagaimana dinyatakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia yg paling bagus akhlaknya.”
Bagaimana Anas tdk memberikan sanjungan yg demikian sementara ia telah berkhidmat pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak usia sepuluh tahun dan terus menyertai beliau selama 9 tahun.1 tdk pernah sekalipun ia mendapat hardikan dan kata-kata kasar dari Nabi yg mulia ini.
فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لـَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
“Aku berkhidmat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar maupun tidak. Demi Allah terhadap suatu pekerjaan yg terlanjur aku lakukan tdk pernah beliau berkata ‘Kenapa engkau lakukan hal tersebut demikian?’ Sebalik bila ada suatu pekerjaan yg belum aku lakukan tdk pernah beliau berkata ‘Mengapa engkau tdk lakukan demikian?’.”
Demikian pengakuan Anas radhiyallahu ‘anhu.
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu: “Dalam hadits ini ada keterangan tentang sempurna akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagus pergaulan kesabaran yg luar biasa kemurahan hati dan pemaafannya.”
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dita oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ، أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : ؟
“Akhlak beliau adl Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Sungguh engkau berbudi pekerti yg agung’?”

Gambaran apa saja yg diperintahkan Al-Qur`an beliau lakukan. Dan apa saja yg dilarang Al-Qur`an beliau tinggalkan. Selain memang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan beliau dgn tabiat dan akhlak yg mulia seperti rasa malu dermawan berani penuh pemaafan sangat sabar dan lain sebagai dari perangai-perangai yg baik.
Kebagusan akhlak ini tampak dari diri beliau ketika bergaul dgn istri sanak famili sahabat masyarakat bahkan dgn musuhnya. tdk heran masyarakat Quraisy yg paganis ketika itu memberi gelar pada beliau Al-Amin orang yg terpercaya jujur tdk pernah dusta lagi amanah sebagai bentuk pengakuan terhadap salah satu pekerti beliau yg mulia.

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersama Istrinya
Keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin tiap hari tersibukkan dgn beragam persoalan umat mengurusi dan membimbing mereka bukanlah menjadi alasan beliau utk tdk meluangkan waktu membantu istri di rumah. Bahkan didapati beliau adl orang yg perhatian terhadap pekerjaan di dlm rumah sebagaimana persaksian Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dita tentang apa yg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dlm rumah. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ - تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ - فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau pun keluar utk menunaikan shalat.”
Beliau ikut turun tangan meringankan pekerjaan yg ada seperti kata istri beliau Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Beliau manusia sebagaimana manusia yg lain. Beliau membersihkan pakaian memerah susu kambing dan melayani diri sendiri.”
Sifat penuh pengertian kelembutan kesabaran dan mau memaklumi keadaan istri amat lekat pada diri Rasul. Aisyah radhiyallahu ‘anha berbagi cerita tentang kasih sayang dan pengertian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ، فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ. وَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ: مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: دَعْهُماَ. فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada dua budak perempuan yg sedang berdendang dgn dendangan Bu’ats2. Beliau berbaring di atas pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun menghardikku dgn berkata ‘Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata ‘Biarkan keduanya’.3 Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada kedua agar menyudahi dendangan dan keluar. Kedua pun keluar.”
وَكَانَ يَوْمُ عِيْدٍ يَلْعَبُ السُّوْدَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ: تَشْتَهِيْنَ تَنْظُرِيْنَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ، خَدِّي عَلَى خَدِّهِ، وَهُوَ يَقُوْلُ: دُوْنَكُمْ ياَ بَنِي أَرْفِدَةَ. حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ، قَالَ: حَسْبُكِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَاذْهَبِي
“Biasa pada hari raya orang2 Habasyah bermain perisai dan tombak . Aku yg meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sendiri menawarkan dgn berkata ‘Apakah engkau ingin melihat permainan mereka?’ ‘Iya’ jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakang pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan wahai Bani Arfidah4.’ Hingga ketika aku telah jenuh beliau berta ‘Cukupkah?’ ‘Iya’ jawabku. ‘Kalau begitu pergilah’ kata beliau.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada keterangan tentang sifat yg dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa penyayang penuh kasih berakhlak yg bagus dan bergaul dgn baik terhadap keluarga istri dan selain mereka.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu saat menafsirkan ayat: وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ menyatakan “Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat baik hubungan dgn para istri beliau. Wajah senantiasa berseri-seri suka bersenda gurau dan bercumbu rayu bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dlm hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai beliau pernah mengajak Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba lari utk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.”

Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu ‘anha berkisah bahwa suatu malam ia pernah mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari yg akhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang bersama beliau beberapa waktu. Setelah ia pamitan utk kembali ke rumahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bangkit utk mengantarkan istrinya. Hingga ketika sampai di pintu masjid di sisi pintu rumah Ummu Salamah lewat dua orang dari kalangan Anshar kedua mengucapkan salam lalu berlalu dgn segera. Melihat gelagat seperti itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur kedua “Pelan-pelanlah kalian dlm berjalan tdk usah terburu-buru seperti itu krn tdk ada yg perlu kalian khawatirkan. Wanita yg bersamaku ini Shafiyyah bintu Huyai istriku.” Kedua menjawab “Subhanallah wahai Rasulullah tidaklah kami berprasangka jelek padamu.” Beliau menanggapi “Sesungguh setan berjalan pada diri anak Adam seperti beredar darah dan aku khawatir ia melemparkan suatu prasangka di hati kalian.”

Akhlak Mulia dlm Rumah Tangga
Tuturan di atas hendak memberikan gambaran kepada pembaca tentang indah rumah tangga seorang muslim yg memerhatikan akhlak mulia dlm pergaulan suami istri sebagaimana rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yg bisa bersopan santun berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumah namun hal yg sama sulit ia lakukan di dlm rumah tangganya. Ada orang yg bisa bersikap pemurah kepada orang lain ringan tangan dlm membantu suka memaafkan dan berlapang dada namun giliran berhadapan dgn “orang rumah” istri ataupun anak sikap seperti itu tdk tampak pada dirinya.

Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga mk hal ini tdk hanya berlaku kepada para suami sehingga para istri merasa suami sajalah yg tertuntut utk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tdk dapat dipahami seperti itu. Karena akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang suamilah yg paling utama harus menunjukkan budi pekerti yg baik dlm rumah tangga krn dia sebagai qawwam sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut utk mendidik anak istri di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang2 yg beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yg bahan bakar adl manusia dan batu penjaga malaikat-malaikat yg kasar yg keras yg tdk pernah mendurhakai Allah terhadap apa yg diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yg diperintahkan.”
Seorang istri pun harus memerhatikan perilaku kepada sang suami sebagai pemimpin hidupnya. tdk pantas ia “menyuguhi” suami ucapan yg kasar sikap membangkang membantah dan mengumpat. tdk semesti ia tinggi hati terhadap suami dari mana pun keturunan seberapa pun kekayaan dan setinggi apa pun kedudukannya. tdk boleh pula ia melecehkan keluarga suami menyakiti orang tua suami menekan suami agar tdk memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.

Kenyataan banyak kita dapati istri yg berani kepada suaminya. tdk segan saling berbantah dgn suami bahkan adu fisik. Ia tdk merasa berdosa ketika membangkang pada perintah suami dan tdk menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak suami ia abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan suami agar tdk memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat ia mencela ia menyakiti Istri yg seperti ini gambaran jelas bukan istri yg berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah yg dinyatakan dlm hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguh dunia itu adl perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adl wanita/istri shalihah.”
Dan bukan istri yg digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhuma:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki yaitu istri shalihah yg bila dipandang akan menyenangkannya6 bila diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.”

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang perlu memberi kabar gembira kepada para sahabat tentang perbendaharaan harta mereka yg terbaik di mana harta ini lbh baik dan lbh kekal yaitu istri yg shalihah yg cantik lahir batin. Karena istri yg seperti ini akan selalu menyertai suaminya. Bila dipandang suami ia akan menyenangkannya. Ia tunaikan kebutuhan suami bila suami membutuhkannya. Ia dapat diajak bermusyawarah dlm perkara suami dan ia akan menjaga rahasia suaminya. Bantuan kepada suami selalu diberikan ia menaati perintah suami. Bila suami sedang bepergian meninggalkan rumah ia akan menjaga diri harta suami dan anak-anaknya.
Oleh krn itu wahai para istri perhatikanlah akhlak kepada suami dan kerabatnya. Ketahuilah akhlak yg baik itu berat dlm timbangan nanti di hari penghisaban dan akan memasukkan pemilik ke dlm surga sebagaimana dikabarkan dlm hadits berikut ini. Abud Darda` z mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِئَ
“Tidak ada sesuatu yg lbh berat dlm timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat daripada budi pekerti yg baik. Dan sungguh Allah membenci orang yg suka berkata keji berucap kotor/jelek.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ، قاَلَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، قَالَ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ
“Rasulullah dita tentang perkara apa yg paling banyak memasukkan orang ke dlm surga. Beliau menjawab ‘Takwa kepada Allah dan budi pekerti yg baik.’ Ketika dita tentang perkara yg paling banyak memasukkan orang ke dlm neraka beliau jawab ‘Mulut dan kemaluan’.”
Bagi para suami hendak pula memerhatikan pergaulan dgn istri krn Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yg paling sempurna iman adl yg paling baik akhlak dan sebaik-baik kalian adl yg paling baik terhadap istri-istrinya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Kata Anas radhiyallahu ‘anhu:
خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِيْنَ ..
“Aku berkhidmat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun.”

2 Bu’ats adl hari yg masyhur di antara hari-hari yg berlangsung dlm sejarah orang Arab. Pada hari tersebut terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj. Peperangan antara kedua terus berlangsung selama 120 tahun sampai datang Islam. Syair yg didendangkan dua anak perempuan tersebut berbicara tentang peperangan dan keberanian. Sementara keberanian diperlukan utk membantu agama ini. Adapun nyanyian yg menyebutkan perbuatan keji perbuatan haram dan ucapan yg mungkar mk terlarang dlm syariat ini. Dan tdk mungkin nyanyian seperti itu didendangkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau diam tdk mengingkarinya.

3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri mendengarkan dendangan tersebut krn hari itu bertepatan dgn hari raya . Sementara pada hari raya diperkenankan bagi kaum muslimin utk menampakkan kegembiraan bahkan hal ini termasuk syiar agama selama dlm koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil utk menyatakan boleh bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dgn alat ataupun tanpa alat sebagaimana anggapan kelompok Sufi.

4 Sebutan utk orang2 Habasyah

5 Tempat utk bersenang-senang.

6 Karena keindahan dan kecantikan secara lahir krn kebagusan akhlak secara batin atau krn dia senantiasa menyibukkan diri utk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

7 Dengan perkara syar’i atau perkara biasa.

8 Mengerjakan apa yg diperintahkan dan melayaninya.



Sumber: www.asysyariah.com

Senin, 15 Maret 2010

SIKSA KUBUR vs NIKMAT KUBUR

Posted by Kak Galuh On 09.38 | No comments
Sehabis memperhatikan sebuah gambar kuburan dalam sebuah buku cerita Islam, putraku yang baru saja belajar membaca memintaku menjelaskan apa yang sedang di ejanya dalam cerita tersebut. “Siksa kubur dan nikmat kubur…. Maksudnya apa sih Mi?” tanyanya dengan wajah ingin tahunya yang menggemaskan.

Tak menunggu waktu lama, ia sudah terpana oleh cerita yang mengalir dari mulutku. Kedua alisnya yang berkerut bertemu di atas hidung, menambah kesan keseriusannya ingin mengetahui kisah lengkap tentang siksa kubur itu.

"bla…bla… setelah datang kematian, maka manusia berada di alam barzah/kubur sebagai tempat penantian sebelum di hisab dan menuju akhirat. Tempat dimana manusia berakhir dengan sebenar-benarnya akhir. Di alam barzah inilah kita akan diberikan siksa kubur atau nikmat kubur. Siksa kubur, adalah keadaan yang akan di alami oleh orang-orang yang semasa hidupnya banyak berbuat maksiat. Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya siksaan mayit-mayit di dalam kuburnya terdengar oleh binatang-binatang ternak yang mendengar jeritan mereka (Hadist dalam Shaihul Jami’ no.1961). Hingga ketika Utsman bin Affan melewati kuburan ia menangis hingga jenggotnya basah terkena air matanya. pelayannya Hani heran dan bertanya:  Wahai tuan, saat engkau mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis. Tapi saat engkau melewati kuburan mengapa engkau menangis? Utsman bin Affan menjawab: Sungguh, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda; Alam kubur adalah persinggahan pertama di antara persinggahan-persinggahan akhirat. Jika ia selamat dari alam kubur, maka peristiwa berikutnya akan mudah baginya. Jika ia tidak selamat dari alam kubur, niscaya kejadian-kejadian berikutnya akan lebih berat. Kemudian Ustman bin Affan melanjutkan: aku mendengar Rasulullah bersabda; Aku belum pernah melihat satu pemandangan yang mengerikan selain siksa kubur yang paling mengerikan. (HR Muslim) Ahli maksiat tidak akan mudah menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir tentang Tuhannya, Agamanya, Rasulnya dan Ilmunya dikarenakan keburukan akhlak mereka di dunia. Dan ketika melewati kubur ahli maksiat, Rasulullah pun bersabda; Sesungguhnya dalam kuburan ini, penghuninya di liputi kegelapan. ( HR Muslim)

Nikmat Kubur, diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. Disebutkan dalam hadist riwayat sahabat Al-Barra’ bin Azib, bahwa ruh orang yang shalih akan diangkat ke langit dan dihadapkan ke Allah SWT, kemudian Allah akan memberikan nikmat kubur berupa alam kubur yang luasnya sejauh mata memandang dan dipenuhi dengan kenikmatan ibarat tinggal di taman –taman surga.

Ruh yang paling bahagia adalah ruhnya orang-orang yang mati syahid. Ketika Rasulullah menyebutkan surat Ali Imran: 169 yang berbunyi: janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup di sisi Rabnya dengan mendapat rizki, maka Rasulullah menjelaskan ayat ini bahwa "arwah-arwah mereka berada dalam perut burung hijau yang bergelayutan pada Arsy. Mereka pergi ke dalam surga sekehendaknya, kemudian mereka kembali ke tempat bergantungnya. Maka datanglah kepada mereka Rabb mereka (Allah), dan Dia berfirman: Apakah Kalian butuh sesuatu? Mereka berkata: apa yang kami butuhkan, sementara kami bisa mengambil dari surga sesuka kami? Mereka ditanya demikian tiga kali. Tatkala mereka tahu bahwa keinginan mereka tidak akan diabaikan, mereka berkata: Wahai Rabb, kami ingin agar Engkau mengembalikan ruh kami ke dalam jasad kami sehingga kami bisa berperang dan mati di jalanMu sekali lagi. Tatkala Dia (Allah) memandang bahwa mereka tidak perlu lagi hajat itu, maka mereka ditinggalkan. (HR Muslim dan Tirmidzi)…. bla….bla…."


Dengan tatapan tajamnya ia mengeluarkan statemen : “Subhanalloh ya Mi… jadi orang sholeh itu enak ya? Abang mau kuburan yang luas aja biar ga kegelapan” ucap si Abang enteng sambil mengambil buku cerita yang ada di tanganku dan mengembalikannya ke meja. Setelah itu tanpa basa-basi ia berteriak: “Mi… Abang main dulu ya!” Dan si Abang pun pergi meninggalkanku sendiri yang sedang bergidik memikirkan cerita barusan. Bagaimanakah denganku? Aku pun sama seperti si Abang ingin kuburan yang luas sejauh mata memandang ada taman-taman indah bak di surga. Tapi lalu ku coba hitung amal ku untuk mndapatkan kuburan luas itu. Ternyata aku tak mampu menghitung amalku, karena banyaknya kesalahan dan dosa yang ku tumpuk dari waktu ke waktu.[gkw]

Jumat, 12 Maret 2010

Setiap Insan Berhak Mendapat Pencerahan

Posted by Kak Galuh On 13.54 | No comments
Seorang sahabat mengeluh (baca:curhat) lewat telepon. Ia mengatakan bahwa selama ini ia sangat susah untuk menemukan kelompok pengajian yang dapat menerimanya apa adanya. Sahabat ini telah merasakan harusnya ada tambahan untuk kebutuhan spritualnya, karena ia merasa kurang hanya dengan menjalankan sholat, mengaji tartil, puasa, dan zakat saja.

Pernah ia mencoba mencari, namun sangat disayangkan belum ada yang bisa menerima kondisi dirinya yang seperti sekarang. Mau ikut kelompok A, ia harus mampu merekrut minimal 10 orang untuk pengembangan jaringan. Mau ikut kelompok B, tidak diperkenankan karena, jumlah anggota sudah memenuhi kuota, sehingga jika memaksa untuk ikut pun akan di gabungkan dengan kelompok lain yang jauh dari rumahnya. Sementara untuk memenuhi semua persyaratan dari kelompok-kelompok tersebut rasanya tidak mungkin, karena ia harus mengurusi anak-anaknya yang kecil dan suaminya dengan intens di rumah. Se- ekslusif itukah untuk dapat memperoleh pengetahuan tentang islam? Tanyanya pasrah dengan nada suara memelas.

Setelah pembicaraan melalui telepon itu berakhir, sambil merenungkan realita tentangnya, saya teringat akan suatu peristiwa di jaman Rasulullah SAW dahulu. Ketika itu beliau SAW sedang duduk bersama Walid bin Mugirah, seorang pemuka Quraisy yang di segani. Kemudian datanglah seorang lelaki buta bernama Ibnu Ummi Maktum menghampiri Rasulullah SAW sambil meraba-raba, menyela pembicaraan Rasulullah SAW dan meminta agar beliau SAW mengajarkan beberapa ayat kepadanya dengan memaksa. Ibnu ummi Maktum tidak mengetahui bahwa saat itu Rasulullah SAW sedang berdakwah pada para pemuka Quraisy. Namun demikian Rasulullah SAW tidak menghardik atapun menegurnya, hanya saja beliau menampakkan air muka tidak berkenan. Pada akhirnya Allah SWT menegurnya melalui turunnya surat Abasa (80:1-16) : “ Dia (nabi) merengut dan membuang muka. Sebab ada orang buta datang kepadanya. Tetapi adakah yang memberitahu engkau, kalau-kalau ia ingin membersihkan hati? Atau ia mendapat peringatan dan pelajaran yang berguna baginya? Adapun orang yang merasa dirinya berkecukupan. Kepadanya engkau memberikan perhatian. Padahal apalah salahmu jika ia tidak mau memberihkan hati. Tetapi jika ada orang yang datang kepadamu dengan sungguh-sungguh berusaha. Dan dengan penuh rasa takut (dalam hatinya). Sedang engkau tidak memperhatikannya. Sekali-sekali janganlah begitu! Sungguh ini suatu pelajaran! Maka barang siapa mau, perhatikanlah! Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan. Di junjung tinggi dan tetap suci. (Ditulis) dengan tangan para penulis. Terhormat, jujur dan taat mengabdi.”
(Berdasarkan riwayat dari Sa’îd ibn Yahyâ ibn Sa’îd Al-Umawî, dari ayahku, dari Hisyâm ibn ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah ibn Zubeir) dari ‘âisyah ra. berkata: Diturunkan tentang Ibn Ummî Maktûm Al-A’mâ, dia (Ibn Ummî Maktûm) mendatangi Rasulullah saww. seraya berkata: “Berilah aku petunjuk!” saat itu Rasulullah SAW sedang bersama pembesar musyrikin, lalu Rasulullah saww berpaling darinya (Ibn Ummî Maktûm) dan menghadap pada yang lain (pembesar musyrikin). Kemudian Ibn Ummî Maktûm bertanya: “Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak.” Maka dalam peristiwa ini turunlah surah ‘Abasa.)

Sesungguhnya niat rasulullah menolak Ibnu Ummi maktum bukanlah disebabkan oleh kebutaan dan ketidak berdayaan lelaki buta itu. Juga bukan karena Walid bin Mugirah adalah seorang yang kaya. Niat mulia semula Rasulullah lebih meladeni Walid bin Mugirah adalah atas dasar pertimbangan bahwa jika pemuka Quraisy itu dapat menerima Islam maka akan terjadi perkembangan yang signifikan atas kemajuan Islam dibanding jika ia meladeni Ibnu Ummi Maktum.

Namun demikian Allah SWT sangat menyayangi Rasulullah SAW. Sehingga ketika beliau SAW memperlihatkan wajah yang kurang berkenan maka Allah SWT langsung menegur agar Rasulullah SAW terhindar dari perilaku yang sia-sia dan terkesan negatif itu. Sejak saat itu Rasullullah SAW selalu menampakkan wajahnya yang berseri-seri setiap bertemu dengan Ibnu ummi maktum sambil menyapanya “ selamat datang wahai siapa yang aku di tegur karena ia oleh Tuhanku”

Menurut pandangan saya sebagai orang awam ada beberapa ibroh yang dapat saya ambil dari kisah yang mulia ini. Pertama adalah bahwa seorang Rasul pun dapat membuat kesalahan karena beliau adalah juga manusia. Yang artinya ajaran keselamatan yang di embannya untuk disampaikan kepada seluruh penghuni dunia adalah bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan oleh manusia manapun dan dari generasi zaman kapanpun. Ketika Allah menurunkannya kepada manusia, tentu Allah sudah dapat mengukur bahwa manusia mampu melaksanakannya. Oleh karena itu ia tidak memberi amanah ini pada mahkluk ciptaanNya yang lain selain manusia. Sehingga ketika kita di wajibkan menjalankan syariatNya secara kaffah, jangan ada lagi alasan tidak bisa karena kita bukan nabi atau rasul pilihan Allah. Apalagi karena alasan itu, kita berkeyakinan mengerjakan yang mudah-mudah saja sesuai yang kita mau, dan meninggalkan yang susah-susah karena kita merasa tidak semampu Rasul dan Nabi.

Ibroh kedua , bahwa setiap manusia dengan status ekonomi dan bangsa/ras manapun sangat berhak menerima pencerahan, dimanapun mereka berada kepada para alim ulama yang tersebar di seluruh penjuru dunia ini, untuk membersihkan hatinya dari ketidaktahuaannya akan ajaran keselamatan ini. Dan siapapun serta kapanpun itu, adalah sebuah kewajiban bagi yang berilmu, untuk dapat menerima dan ‘merangkul’ mereka yang tidak tahu dengan tangan terbuka dan pintu selebar-lebarnya tanpa mempersulit dengan syarat-syarat yang memberatkannya saat itu.

Semoga Allah senantiasa memberikan keselamatan dan menjaga cahaya keimanan di setiap hati orang-orang yang berilmu, beriman dan bertakwa. Sehingga risalah keselamatan Rahmatan lil Alamin dapat terus berkesinambungan hingga akhir jaman. Wallahualam.

Untaian Hati

Posted by Kak Galuh On 11.52 | No comments
Belahan jiwaku...
Meski kita terikat pada ikatan sakral yang melebur di mata Sang Maha Pencinta, tapi aku selalu sadar, engkau tidak terikat sepenuhnya padaku. Hatimu yang mengembara mengajak serta ragamu, membuatku harus mengikhlaskan separuh ikatan itu. Karena pengembaraan ini untuk kemuliaan sejati kehidupan.

Belahan jiwaku...
Aku tahu engkau bukan kesempurnaan. Karena sempurna hanyalah milik Sang Maha Sempurna. Keterbatasan yang ada padamu secara utuh, selalu memberiku ruang untuk belajar banyak. Belajar menerima dan mencintai tanpa berkeluh kesah. Dan saat-saat penerimaan itu menyentuh kalbu. Aku merasa bebas. Bebas dari ke-egoan insan yang fana. Setelahnya, akan berbuah nikmat di relung kalbu yang labil.

Belahan jiwaku...
Ketika hampir seluruh sudut menggambarkanmu bagaikan ombak yang menggulung keras pada pinggiran pantai, dimana dalam kekerasan itu engkau mampu menghempaskan buih-buih cinta yang bernama keluarga tanpa ampun. Namun bagiku, engkau tak terlihat sedang menghempaskan. Melainkan sedang menyelamatkan buih-buih itu agar tak terhanyut di tengah samudra kehidupan yang gelap tak tersentuh cahaya mentari keimanan, yang mampu menenggelamkan buih-buih itu setiap saat ia mau tanpa tersisa.

Belahan jiwaku...
Berulang kali saat kita terbentur oleh tingginya gunung masalah yang meletus penuh lava panas perasaan atas pemahaman yang berbeda, berulang pula aku mengerti, bahwa mencintai bukan hanya terpuaskan saat kita sepaham, melainkan sejauh mana kita mampu membasuh dingin ceceran perbedaan lava perasaan tersebut dengan kucuran kristal air maaf dan pengertian yang mengalir.

Belahan jiwaku...
Saat-saat tersyahduku bersamamu adalah menyaksikan ragamu berjalan mengikuti fitrahnya tunduk pada setiap jengkal ketentuanNya akan alam ini dan seisinya. Saat-saat menggetarkan bersamamu, adalah saat-saat engkau menangisi waktumu yang terlewat atas tidak terpenuhinya fitrah ragamu itu untuk merengkuh mesra Pemiliknya. Saat-saat terindah bersamamu adalah ketika engkau menceritakan pengembaraanmu menemuiNya, di setiap sudut bumi yang telah tereuforia oleh kehedonan yang tak bertiang. Dan, tahukah engkau, betapa ingin raga ini pun turut menyaksikan dan merasakan pengalaman-pengalaman indah itu bersamamu.

Belahan jiwaku...
Di setiap perjalanan jauh pengembaraanmu, dimana engkau meninggalkan kami hanya berbekal doa agar Sang Maha Penjaga menjaga kami, maka disaat itu pula aku selalu berharap ketika pulang engkau mengoleh-olehi kami dengan tambahnya ketundukanmu padaNya. Karena ketika hatimu semakin dipenuhi oleh ketundukan pada Sang Pemilik Hati di seluruh jagat ini, maka akan semakin kuat kami mampu menghadapi derasnya hujan ujian disaat kau bersama kami dan atau disaat kau jauh dari kami. Kerinduan yang mendalam atas perpisahan yang kerap terjadi ini, memecut kami untuk menjadi lebih sadar bahwa kefanaan tak mungkin dapat berjaya untuk kami rengkuh.

Belahan jiwaku...
Jika suatu saat pengembaraanmu terhenti karena ragamu tak kuasa lagi bertemu dengan Pemiliknya… kami akan hantarkanmu dengan penuh kebanggaan di hati kami yang membekas. Warisi kami dengan keimananmu saja… kami tak minta lebih… [gkw]

Kamis, 25 Februari 2010

Hanya Seonggok Daging....

Posted by Kak Galuh On 15.51 | No comments
Detik waktu semakin cepat berjalan. Ketika itu adalah ketiga kalinya aku memasuki ruangan operasi. Bau khas rumah sakit yang begitu menyengat membangkitkan memori beberapa waktu lalu saat meja operasi itu adalah juga menjadi pilihan terakhir yang terpaksa aku pilih agar calon-calon generasi penerus risalah yang telah bersemayam pada rahimku dapat lahir dengan selamat.

Semuanya berjalan dengan begitu lancar hingga satu-persatu wajah-wajah mungil tanpa dosa itu hadir dalam pelukan. Kebahagiaan menjadi pemegang amanah mengalahkan segala rasa sakit sayatan berulang yang tak karuan itu. Satu jam setelah jahitan tujuh lapis kulit lengkap tertutup, seperti biasanya raga yang setengahnya masih terbius obat bius lokal itu digiring dengan cepat ke ruang pemulihan. Satu persatu suster meninggalkanku sendiri agar tubuh yang baru saja tersayat untuk ketiga kalinya itu dapat beristirahat sejenak.

Ku tengok bagian tubuh yang terbius. Hingga ujung kaki ia tak kan mampu bergerak hingga kurang lebih dua jam ke depan. Kesendirian ini, tiba-tiba begitu menakutkanku meski ini bukan pengalaman pertama tapi rasanya saat itu adalah saat yang paling menakutkan. Tubuhku yang terbius tak mampu bergerak… menjadi seonggok daging tak bernyawa. Meski hanya separuh yang tak bernyawa, tapi bayangan bahwa saat itu raga ini sedang berada di kedalaman tanah dua meter dengan papan nisan diatasnya kerap membayangi. Beginikah rasanya menjadi daging tanpa nyawa? Beginikah rasanya ingin bergerak tapi tak mampu karena selain tak bernyawa juga sudah tertimbun tanah merah dengan segala penghuninya. Penghuni yang siap berebut menyantap seonggok daging tanpa nyawa itu bagaikan menyatap makanan pada sebuah pesta pora. Belum lagi ketika datang siksa kubur sebagai pertanggung jawaban atas semua tingkah laku ketika raga itu masih bernyawa dan bisa bergerak sesuka hati. Hati yang terkadang penuh nafsu. Hati yang terkadang penuh kesombongan dan merasa bahwa tubuh yang bergerak ini adalah atas kehendak diri sendiri. Hati yang tak menyadari bahwa sesungguhnya yang menggerakkan tubuh ini adalah Yang Maha Memberi Hidup. Hati yang tertutup dari rasa fitrah bahwa dari ujung kaki hingga ujung rambut, semuanya memiliki fitrah untuk di tunaikan dalam menyembah Penciptanya.

Astagfirullah…. Masihkah raga yang ternyata masih diberi kesempatan untuk bergerak ini mampu menunaikan hak-haknya untuk tunduk pada Penciptanya, Sang Maha Kuasa hingga seonggok daging ini betul-betul tak bernyawa kelak???? Wallahualam   [gkw]

Jumat, 19 Februari 2010

Cintakku Bukan Milikku

Posted by Kak Galuh On 15.44 | No comments
Aktualisasi diri seorang wanita pada umumnya tercapai ketika ia memiliki keluarga yang utuh. Suami yang mengayomi, serta anak-anak yang membanggakan. Namun pencapaian ini tak akan selamanya tergenggam dengan seterusnya tanpa terlepas. Bercita-cita menjadikan keluarga sebagai keluarga yang sakinah, mawwadah tentu impian setiap wanita ketika mereka memulai ikrar kesetiaan di pintu gerbang pernikahan. Alangkah indahnya hidup ini, karena dengan pernikahan, wanita telah menyempurnakan fitrahnya yang mulia di mata Allah.

Ujian akan datang menerpa setiap pintu pernikahan yang telah dimulai. Dan dari situlah cinta yang sebenarnya akan teruji. Semakin kokoh pintu itu terjaga, semakin kokoh pula ujian yang datang mengetuknya dengan kencang. Semua berawal dengan niat yang baik. tapi kita tidak pernah tahu akhirnya seperti apa. Yang kita bisa lakukan memohon pada Yang Maha Akhir untuk memberikan kita akhir yang sesempurna awalnya.

Betapa besar cinta kita pada suami dan betapapun dahsyatnya cinta kita pada anak-anak. Tetap kita tak kan dapat menggenggam mereka seterusnya dalam tangan kita yang penuh kasih dan cinta itu. Mereka hanya hadir sementara pada kehidupan kita. mereka hanya titipan. Tak lama. Tak abadi. Sewaktu-waktu mereka bisa pergi. Mencintai yang lain dan menorehkan luka pada kita. Tapi kita bisa sembuhkan luka itu jika kita memiliki rasa cinta yang lain. Rasa cinta yang tak pernah terkhianati oleh cinta fana yang ada di sudut dunia manapun. Rasa cinta pada Pemilik semua cinta. Ia tak pernah tinggalkan kita. CintaNya pada kita tak pernah luntur.

Tak seperti kita yang hanya puas dengan mencintai suami dan anak-anak semata tanpa mau tahu siapa yang memberikan suami dan anak-anak itu pada kita. Pada akhirnya ketika Yang Maha Memberi itu mengambil kembali pemberianNya pada kita, KITA BISA APA??? KITA TIDAK AKAN BISA BERBUAT APA-APA!!!! KARENA KITA BUKAN SIAPA-SIAPA!!! Oleh karenannya cintaku yang begitu syahdu pada suamiku, dan juga cintaku yang begitu dalam pada anak-anakku... tetap saja cinta itu bukan milikku..... [gkw]

Sabtu, 13 Februari 2010

Sang Ibu yang menunaikan hak anaknya

Posted by Kak Galuh On 10.07 | No comments
Adalah Ummu Hani' (Fakhitah binti Abi Tholib bin Abdul Munthalib), terlahir dari keluarga pemuka Quraisy menjadikan dirinya wanita yang cukup disegani dan di hormati pada masanya karena ia banyak mengemukakan pendapat dan juga memiliki adab yang tinggi.

Sebelum Rasulullah SAW mendapat tugas menjadi pengemban amanah risalah, pada masa jahiliyah, Rasulullah SAW pernah meminang Ummu Hani’, namun ayahnya telah menjajikannya kepada Hubairah bin Abi Wahb.

Pada masa permulaan Islam, Ummu Hani' masuk Islam sedangkan suaminya tetap bertahan pada agama warisan leluhur. Maka hukum Islam memisahkan keduanya, dan ia tetap memelihara keempat anaknya yang masih kecil.

kemudian untuk kedua kalinya Rasulullah SAW meminangnya. namun meski pada saat itu yang meminangnya adalah Rasulullah SAW, ia menjawabnya dengan penolakan yang sangat santun. "Wahai, Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada pendengaran dan penglihatanku, sedangkan hak suami itu besar. maka jika aku mengurusi suamiku, aku khawatir menyia-nyiakan sebagian urusan dan anak-anakku. Namun jika aku mengurusi anak-anakku, aku khawatir menyia-nyiakan hak suamiku", kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya sebaik-baik wanita yang menaiki unta diantara wanita Quaraisy ialah yang paling menyayangi anak di waktu kecilnya dan paling memperhatikan kepentingan suami dalam harta miliknya. Andaikata aku tahu bahwa Maryam binti Imran menaiki unta, niscaya aku tidak melebihkan seorang pun diatasnya".(Ath-Thabaqatul Kubra, Juz 7, halaman 32. Al-Ishaabah, Juz 8 halaman 287).

Betapa asih Ummu Hani dalam menunaikan hak anak-anaknya, karena keimanannya yang tinggi kepada Allah SWT, Ummu Hani membebaskan dirinya dari kecintaannya atas posisi Ummul mukminin yang mulia dan utama diantara para wanita mukmin. Subhanallah…

Sejumput warisan kisah kasih seorang bunda yang begitu mulia…. Semoga bermanfaat untuk kita jadikan ibroh… khusus bagi setiap bunda yang berani mengambil keputusan menjadi single parent karena suatu uzur yang haq…. Wallahualam. [gkw]

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE