Kamis, 21 Mei 2009

Doa

Posted by Kak Galuh On 03.30 | No comments
Suatu ketika ada seorang anak berkata pada ibunya, “bu, kenapa kita harus mengawali sesuatu dengan berdoa?” Si Ibu menjawab “agar kita selalu dilindungi Tuhan nak!”
Lalu si anak bertanya lagi, “apakah Tuhan akan selalu mengabulkan doa kita bu?”  “tentu saja nak, karena Tuhan Maha Pengasih.”  “lalu, dimana Tuhan itu bu? ketika aku berdoa memohon kepadanya agar memberi kita rumah dan makanan yang layak sehingga kita tidak perlu lagi tinggal di kolong jembatan yang dingin ini, serta tak perlu mengorek-orek sampah hanya untuk makan.Si Ibu terdiam sejenak, menatap anaknya sambil tersenyum. Direngkuhnya tubuh kecil itu ke pelukannya, sambil mengelus rambutnya yang ikal karena tak pernah di keramasi, si ibu berkata, “nak... biar kita tinggal di kolong jembatan... biar kita makan dari sampah... tapi itu semua pemberian Tuhan yang halal... dan kita tidak pernah merampok siapapun, malah kita harus berbangga masih bisa berbagi dengan tikus dan kecoa yang juga merupakan makhluk Tuhan.”  Si Ibu menghela nafas panjang melihat tatapan anaknya yang sangat tajam itu ke arahnya. Ia pun melanjutkan ucapannya,  “kita patut bersyukur karena kita tidak punya apa-apa di dunia ini, kecuali rasa percaya pada Tuhan. Di dunia setelah kita mati, setiap orang akan di tanya tentang semua harta yang dimilikinya di dunia. Harta-harta itu pun akan berbicara dari mana ia diperoleh dan untuk apa ia digunakan selama di dunia. Jika pemilik harta tak sanggup mempertanggungjawabkan harta-harta itu di hadapan Tuhan, maka Tuhan akan menggantungkan seluruh harta-harta itu pada leher pemiliknya. Nah... apakah kau sanggup membayangkan nak jika leher-leher itu di gantungi oleh mobil, rumah serta harta benda yang lain yang di dapat bukan dengan cara halal, atau harta yang didalamnya terdapat hak orang lain, tapi hak tersebut tak pernah di berikan pada yang berhak?” Si anak menggeleng dan bergidik membayangkan ucapan sang ibu. “aku mengerti bu, Tuhan sangat menyayangi kita dengan tidak membebankan kita untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak sanggup kita pertanggungjawabkan kelak. Terimakasih Tuhan!” Doa anak itu penuh syukur pada akhirnya.  [gkw]

Rabu, 06 Mei 2009

Cerita Sahabat

Posted by Kak Galuh On 08.06 | No comments
Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat bercerita kepada saya bahwa dia baru saja bertengkar hebat dengan sang suami. Menurut sahabat saya, ia bertengkar karena mengetahui akhir-akhir ini sang suami kedapatan rajin meng-sms dan menelepon seorang wanita yang menurut sang suami adalah kenalan biasa yang akan di jodohkan dengan bosnya. Tentu sahabat saya tidak menerima alasan itu begitu saja. Ia coba mencari tahu dan ternyata memang wanita yang sering berhubungan dengan suaminya itu mengaku di telepon oleh sang suami untuk diajak berkenalan dan yang paling mengejutkan sang suami mengaku pada wanita tersebut bahwa ia sama sekali belum berkeluarga. Padahal dalam kenyataan, sahabat saya dan sang suami itu sudah empat tahun berumah tangga dan telah dikaruniai dua malaikat kecil yang lucu-lucu.

Sahabat saya berang mengetahui semua itu. Ia pulang dan bertengkar hebat dengan sang suami. Ketika sahabat saya menanyakan tentang kebenaran ucapan wanita itu pada sang suami, bukannya mengaku dan minta maaf, sang suami malah menamparnya, menendangnya, hingga menginjaknya sambil mencekik leher sahabat saya. Sementara ketika peristiwa itu terjadi, sahabat saya sedang memeluk anaknya yang paling kecil yang berumur satu setengah tahun. Sahabat saya hanya bisa bilang “gue gak perduli kalau lo mau bunuh gue saat ini, tapi liat, lo udah ngelukain cinta (nama anak yang berada dalam gendongannya). Apa lo juga mau bunuh dia?” Kontan sang suami tersadar dan segera melepaskan cekikannya dari leher sahabat saya.

Sangat miris mengetahui hal ini terjadi pada sahabat saya, karena saya tahu betul bagaimana perjuangan sahabat saya itu ketika menerima sang suami untuk dinikahinya beberapa tahun yang lalu. Sang suami bukanlah orang yang di sukai oleh keluarga sahabat saya. Ia pernah dicaci maki bahkan diusir oleh ibu sahabat saya saat bertandang apel kerumahnya. Ibu sahabat saya pernah mengatakan pada sahabat saya, bahwa sang suami bukanlah laki-laki yang baik baginya. Namun dengan segala daya upaya, akhirnya mereka menikah juga. Dan setelah menikah sang suami di beri pekerjaan oleh kakak sahabat saya itu.

Kisah sahabat saya ini, membuat saya jadi teringat oleh kisah yang sedang terjadi antara Dewi Sandra dan suaminya Glenn Fredly. Entah apa yang menjadi alasan Glen Fredly untuk mengajukan gugatan cerai pada istrinya Dewi Sandra, yang kurang lebih tiga tahun lalu itu sangat dipuji dan dipujanya dengan segala konflik yang terjadi pada kehidupan Dewi Sandra saat itu. Cinta adalah alasan sahabat saya dan Dewi Sandra untuk menerima lelaki pilihan mereka. Dan memang benar cinta itu buta. Buta pada kenyataan yang ada pada lelaki yang dicintai oleh kedua perempuan itu, sahabat saya dan Dewi Sandra.

Betapa menyakitkannya menyadari bahwa cinta bisa juga membuat goresan luka pada batin insan yang menjalaninya. Pengorbanan, perjuangan sepertinya tak berarti lagi bagi sang suami untuk dapat berlaku sewenang-wenangnya pada istri mereka. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi jika cinta pada sesuatu yang fana dengan penuh kebutaan tanpa mengetahui ada cinta yang lebih abadi dari sekedar cinta pada kefanaan (dunia dan isinya). Sayup-sayup pada sebuah acara music live yang muncul pada setiap pagi hari kerja terdengar lagu peterpan yang berjudul “tak ada yang abadi” yang sudah berminggu-minggu menjadi urutan paling atas pada hampir seluruh acara music di nusantara ini.

Peterpan saja sadar bahwa apapun di dunia ini tak ada yang abadi kecuali Yang Maha Abadi pencipta segala yang tak abadi itu. Cinta kepada manusia, harta, kedudukan, kekuasaan bahkan cinta pada diri sendiri yang berlebihan (narcisme)pun ada limitnya. Tubuh/raga dapat menua dan terpisah dari jiwa tanpa terduga, harta dapat terkuras, kedudukan dan kekuasaan dapat tergantikan pada yang lebih berkuasa, diri tak selamanya terperangkap dalam kebaikan, selalu ada khilaf, selalu ada salah untuk tahu bahwa diri bukanlah segalanya yang patut dibanggakan secara terus-menerus.

Dua perempuan diatas yang sudah tersakiti secara batin ataupun lahir pada akhir luka hatinya sadar betul, cinta pada manusia tak selalu indah. Ketika cinta terasa bagaikan sayatan samurai yang mampu memotong sehelai rambut saja, lantas mereka menjadi sadar bahwa ada cinta yang lebih kuat dari sekedar cinta kepada manusia, tepatnya pada cinta yang terkhianati. Atas kekuatan cinta yang melebihi cinta pada manusia itulah yang membuat mereka tetap bertahan, ikhlas menerima cobaan dan memaafkan. Pada cinta yang dahsyat itu, perempuan-perempuan yang tersakiti itu berubah semakin cantik jiwanya, kuat dan mulia karena ada doa dalam setiap untaian kata yang khusus dilantunkannya untuk orang-orang yang sudah menyakiti mereka. Doa yang penuh dengan wangi surgawi...bukan doa yang tercium bagaikan air comberan.

Pada akhirnya yang memenangkan hati dua perempuan itu, sahabat saya dan Dewi Sandra bukan cinta pada manusia. Tapi cinta pada Yang Memberikan cinta pada manusia.

Salam sayang selalu…..


[gkw]

Senin, 04 Mei 2009

Politik Vagina

Posted by Kak Galuh On 11.24 | No comments
Tubuh saya terasa berdesir seperti ada semilir angin yang terhimpun menjadi topan dan menghantam saya. Tapi, saya tidak terhuyung, meskipun limbung. Ini luar biasa. Tiba-tiba saja wajah perempuan yang ada dalam berita itu--yang diperkosa oleh ayah tirinya hingga melahirkan anak--terbayang jelas. Juga, bagaimana ia merintih, yang mengingatkan saya kepada salah satu novel Nh Dini. Saya dengar lirih suaranya, tak berani menolak ajakan ayah tirinya, tetapi tidak mau meladeninya. Ia takut. Ia gelisah. Ah wajahya, seperti wajah ribuan perempuan Bosnia yang diperkosa di arena peperangan Bosnia, yang diwawancarai Evi Ensler dan disusun menjadi buku, “Vagina Monologues”.

Tahun 2001, sebuah esai Katha Pollit, seorang feminis, berjudul, “The Vaginal Politics” terbit di The National Edisi 15 Februari 2001. Esai itu sebuah penegasan atas fenomena opera “The Vagina Monologues” yang dipentaskan di Madison Square Garden, dan beberapa kota besar dunia lainnya dalam rangka hari Wanita Internasional. Di Indonesia pementasan diprakarsai Nurul Arifin dan rekan-rekan aktivis feminismenya dari Koalisi Perempuan Indonesia. Bagi Pollit, pementasan itu sebuah fakta atas kematian feminisme. “The Vagina Monologues”, in fact, tulis Pollit, “was singled out in time’s 1998 cover story “Is Feminism Dead?” as proof that the movement had degenerated into self-indulgent sex”.

“The Vagina Monologues” diangkat dari buku hasil penelitian selama bertahun-tahun yang dilakukan Eva Ensler. Ensler sendiri menulisnya berdasarkan hasil wawancara setelah mengumpulkan fakta tentang pemerkosaan ribuan perempuan di medan peperangan Bosnia-Herzigovina. Inilah medan peperangan yang ingin dibah sebagai “penjagalan salah satu ras manusia diatas bumi”, karena setiap perempuan Bosnia diperkosa agar hamil sehingga lahir keturunan blasteran. Sementara para laki-laki dibnatai dan dikubur dalam satu liang tanpa upacara kematian dan tanpa doa apapun.

Judul buku Ensler itu mengundang magis kata yang sangat feminisme. Sebuah kata tabu dalam pembicaraan formal, terutama bagi tata nilai masyarakat timur. Tapi, judul itu sendiri sudah berkomentar, membawa maknanya yang jamak. Sebuah diksi yang kaya. Yang menegaskan, buku ini akan menjadi sebuah karya yang laris, yang laku. Sebab, persoalan yang dibahasnya menjadi sangat universal.

Ensler adalah seorang artis berdarah Italia. Ia membaca dan mendengar soal pembantaian ras manusia di Bosnia dengan cara memperkosa para perempuan, dan ia sangat terpukul. Lalu, tiba-tiba terpikir olehnya, bahwa pokok persoalan di Bosnia adalah “raga” pada setiap perempuan, yakni vagina. Dari sanalah penulisan itu berangkat. Dan Ensler berangkat ke berbagai negeri, yang terpokok soal perang Bosnia-nya sendiri, dan memperluas daerah wawasan penyelidikannya. Lebih 200 wanita dengan usia, profesi, jenis bangsa, yang terpokok di kalangan wanita Bosnia sendiri, diwawancarainya. Selain itu diwawancarainya wanita dari berbagai kalangan di Eropa, Amerika, asia, dan Afrika, dengan tema yang sama mengenai pelecehan, pekosaan, dan penindasan terhadap wanita.

Dari hasil wawancara dan berbagai riset dan penyelidikannya inilah, ditulisnya buku berjudul Vagina Monologues. Dan, ternyata, buku itu mendapat sambutan meriah di seluruh dunia. Apa yang paling menarik dari isi cerita buku itu?

Dari begitu banyak riset dan penyelidikan serta wawancara terhadap wanita, termasuk yang kena perkosaan pada perang Bosnia itu, dia merangkum apa sebenarnya hakekat “raga” yang “dibantai” oleh pemerkosa yang samasekali tak berhati manusia itu. Dalam dialog antara “raga” (pengganti istilah vagina), terbentuklah dan lahirlah dialog dari berbagai situasi tentang “raga” itu. Bahwa, raga ini janganlah hanya dilihat dari satu segi saja. Bukankah semua kita, termasuk yang sedang membaca tulisan ini, lahir dan keluar dari raga itu? Jadi, ketahuilah, raga ituu mengandung suatu kesucian, kesakralan, dan sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang atas, tinggi, berharga sangat.

Diceritakan juga dalam dialog antara “raga” itu, terdengar jeritan keperihan, ketertindasan, kekerasan, kebiadaban, dan tangis yang mengiris-ngiris perih! Tetapi juga terdengar lahirnya bayi yang bersih dari dosa, tiba dan hadir ke dunia ini, atas buah cinta kasih antara Ayah dan Bunda si bayi itu, penuh kemesraan. Apakah perlakuan diri manusi lupa akan semua itu? Ketahuilah “raga” yang “kalian” perkosa itu, dari situlah kalian lahir dan menjadi “kalian” yang kini ini!

Di Indonesia, apa yang dipentaskan Nurul Arifin bersama rekan-rekan sesama aktivis feminisme, tak banyak yang melihat opera ini seperti Pollit membuat sebuah simpul. Tapi, sejak itu, satu hal yang bisa ditangkap adalah kaum perempuan mulai meletakkan gerakan de-feminisme di Indonesia. Sebuah gerakan “Politik Vagina” sebagai wujud kemuakan terhadap feminisme. Perempuan Indonesia tidak percaya lagi gerakan kesetaraan gender yang telah berlangsung cukup lama di Tanah air akan mampu mewujudkan emansipasi antara perempuan dengan laki-laki. Karena komitmen sosial para aktor pemerintahan dan elite politik untuk mewujudkan tatanan sosial-politik yang adil dan demokratis di mana gerakan kesetaraan gender inheren di dalamnya, tidak pernah bergeser dari nilai-nilai warisan leluhur budaya Timur yang lebih memberi peran kepada laki-laki sebagai “kepala rumah tangga”.

Makanya, daripada mengaharapkan feminisme—yang dalam banyak hal membentur sekat-sekat sosio-kultural di lingkungan masyarakat—sebagai gerakan sosial memperjuangkan hak dan keadilan bagi kaum perempuan, perempuan satrawan lebih memilih “membunuh” gerakan itu sebagai wujud pemberontakan atas nilai-nilai yang berlaku secara turun-menurun, lewat gerakan “Politik Vagina”.

“Politik Vagina” merupakan gerakan untuk mempersoalkan seks bukan semata sebagai persoalan seksualitas, karena seks bukan dunianya kaum laki-laki. Hal ini diwujudkan lewat citra perempuan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, memberontak, dan tak terlalu pusing dengan nilai-nilai kewanitaannya. Mereka tidak merasa risih bicara soal seks dengan siapa saja, bahkan dengan laki-laki yang baru dijumpai di sebuah terminal dan belum dikenal secara akrab. Karena seks tidak ada sangkut-pautnya dengan moralitas, melainkan soal orgasme.

Di dalam dunia kesusastraan kita, akar gerakan “Politik Vagina” ini, sebetulnya, suah ditemukan dalam puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany, terutama dalam antologinya, “Kill The Radio”. Tapi, gerakan ini baru menemukan eksistensinya dalam diri Ayu Utami, ketika ia menghasilkan novel “Saman”. Belakangan, karya-karya perempuan sastrawan lainnya bermunculan, sebut saja Clara Ng, Fira Basuki, Herlinatien, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan sebagainya.

Bagi Pasanti Djokosujatno, Ayu Utami dianggap sebagi pelopor penulisan novel seks, dan harus disebut dalam setiap pembicaraan tentang seks dalam sastra. Ia bukan hanya wanita pertama yang berani berbicara secara blak-blakan tentang seks dalam romannya yang radikal, pada saat banyak orang masih sungkan berbicara tentang seks, tetapi juga pengarang pertama yang menulis novel yang mengungkap seks dengan berbagai permasalahannya (menyangkut wanita pula) secara terbuka.

Tapi, meskipun demikian, agama (Islam) punya aturan main sendiri soal emansipasi. Persoalannya, manusia, tidak pernah sanggup menganggap nilai-nilai dan ajaran agama itu sebagai fakta yang sebenarnya. Sebab, agama selalu diposisikan sebagai hal irrasional, padahal agama mencakup segala hal rasional, irrasional, dan spiritual di dalamnya. Semoga para perempuan Indonesia tidak salah memilih jalan. [revolusiana]

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE