Kamis, 14 Maret 2013

Mereka Panggil Aku Wanita Pemakan Jantung

Posted by Kak Galuh On 08.22 | 1 comment
Dadaku bergemuruh menyaksikan kaum Muslimin yang sedang shalat di sekeliling Ka’bah. Apa yang terjadi dengan qolbu-ku? Mengapa rasanya begitu berbeda seperti sebelumnya? Lelaki itu, Muhammad, lelaki yang memimpin kaum Muslimin melaksanakan sujud di Ka’bah, aku membencinya dengan segenap jiwa ragaku. Tapi hari ini, setelah ku saksikan semua ini, aku menyangkal rasa benci itu. Mengapa rasanya aku ingin turut bersama mereka? Apa ini yang sudah dirasakan suamiku sehari sebelumnya? Bergemuruh jugakah seperti diriku? Aku malu. Aku takut.  Tapi aku juga ingin merasakan kegembiraan yang meluap-luap itu, seperti saudara-saudaraku yang lain, yang telah bergabung bersama Muhammad, lelaki terakhir penerima wahyu Ilahi. Oh Tuhan, bantulah aku.

“Siapa yang masuk ke rumah ku, maka ia akan selamat”. teriakan suamiku tempo hari masih terngiang jelas di telingaku. Bodoh sekali aku, yang tak mempercayai ucapannya di hadapan kaum-ku. Padahal suamiku telah mengetahui kedatangan kaum Muslimin jauh sebelum mereka memasuki kota Mekkah dan menaklukkannya. Bertahan pada harga diri yang salah, telah membuatku buta pada kebenaran cahaya Ilahi. Dengan lantang dan tanpa keraguan, suamiku mengingatkan kaum-ku untuk menyelamatkan diri dari pasukan Muhammad. Tapi aku mencegahnya dengan menyebarkan dusta terhadap seseorang yang seharusnya kutaati karena haknya yang besar padaku. Aku telah membuat kesalahan dengan menghina suamiku sebagai pemimpin kaumnya yang buruk. Saat itu, aku tak terima. Ia memutuskan memeluk Islam dan berdiri bersama pasukan Muhammad yang ku benci. Ia peringatkan setiap orang untuk menyerah dan memeluk Islam bersamanya. Tentu saja aku tak terima. Bukankah selama ini, ia bersama petinggi Quraisy adalah pemimpin yang ajeg mempertahankan agama nenek moyang kami?  Apa yang membuatnya berubah seketika. Namun ia tak menyerah dan termakan oleh hasutanku. Ia tetap memperingatkan kaum-ku untuk mengikuti Muhammad sebagai pemimpin baru kami. “Celakalah kalian! Jangan terperdaya oleh ocehan perempuan itu, sungguh Muhammad telah datang dengan membawa kekuatan yang tidak mungkin kalian hadapi” lalu seseorang dari kaum-ku menginterupsinya “semoga Allah membinasakanmu. Mana cukup rumahmu untuk menampung kami semua.”dan suamiku masih mempertahankan ucapannya seraya berkata” barang siapa yang menutup pintunya maka dia aman. Barang siapa masuk ke masjid maka dia aman.” Setelah mendengar penjelasan suamiku yang sudah lebih masuk akal, lalu mereka berpencar dari kerumunan. Ada yang pulang kerumah dan menutup pintu rumahnya, ada pula yang masuk ke dalam masjid. Aku tak percaya menyaksikan ini terjadi. Mereka bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya oleh ucapan-ucapan suamiku. Aku menyesal karena tak turut mempercayai kebenarannya ketika itu. Dan saat Mekkah benar-benar di taklukkan oleh Muhammad beserta pasukan Muslimin. Ada rasa takut yang menghujam sanubariku.

Rasa takut-ku bukan tak beralasan. Tidak serta-merta karena aku adalah seorang Quraisy yang menentang ajaran baru Muhammad. Tapi ini semua karena ku teringat akan apa yang ku lakukan pada Hamzah bin Abdul Munthalib. Dendamku yang membara kepada Singa Allah itu telah menutupi nurani kemanusiaanku. Terbayang-bayang olehku kematian Ayah, paman dan saudara kandungku pada perang Badar. Hamzah telah membunuh Ayah, lalu dengan bantuan Ali bin Abu Thalib ia bunuh juga paman dan saudara lelaki yang sangat ku sayangi. Aku sedih dan kecewa atas kematian mereka. Kesedihan ini menimbulkan dendam kesumat yang membara. Lalu kaum-ku merancang penyerangan balik dengan strategi, pasukan dan alat perang yang lebih lengkap dari sebelumnya.  Semua itu kami persiapkan demi membalas kekalahan saat Badar. Setahun kemudian, rencana ini terealisasikan pada perang Uhud. Suamiku yang perkasa, memimpin pasukan Quraisy dan membawa kami para wanita ikut serta ke medan peperangan. Hal ini kami lakukan untuk menyemangati pasukan Quraisy agar mampu mengembalikan harga diri kami yang telah terinjak-injak sebelumnya. Bahkan aku telah menghasut Wahsyi bin Harb, budak  milikku yang telah kuketahui kemahirannya dalam melempar tombak, untuk turut dalam peperangan dan menjadikan Hamzah sebagai target utamanya. Jika ia berhasil membunuh Hamzah, maka ku hadiahkan padanya kemerdekaan sebagai budak dan beberapa hartaku. Wahsyi pun tak menyiakan kesempatan emas ini. Apa lagi yang diharapkan seorang budak selain kemerdekaannya yang hakiki.

Gencarnya perlawanan kaum Muslimin membuat kami kewalahan. Entah kekuatan dari mana yang menyebabkan mereka menjadi terlihat banyak melebihi pasukan kami, begitu perkasa dan tak takut mati menghadapi kami. Bayang-bayang kekalahan Badar menghantui kami kembali. Kami pun sempat ingin melarikan diri atas sengitnya serangan pasukan Muslimin. Namun, ketika ada beberapa kelompok yang sedang lengah, kami mencoba untuk kembali melawan. Dan keadaan menjadi berbalik. Kelengahan pasukan Muslimin memberikan celah bagi kami untuk membalas. Sebagian dari mereka sibuk mengumpulkan harta rampasan perang. Oleh karenannya, kami mampu memukul mundur mereka. Kemenangan ini semakin terasa menggembirakanku pada saat itu, karena ternyata Wahsyi mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Ia mampu membunuh Hamzah dengan tombaknya hingga menembus ke belakang perut. Aku tak kuasa menahan kegembiraan yang penuh dengan hawa nafsu. Bersama dengan beberapa wanita Quraisy lainnya ku rusak tubuh Hamzah. Ku mutilasi hidung dan kupingnya. Lalu perutnya ku robek hingga terlihat jantungnya. Masih belum terpuaskan oleh rasa benci yang menggelora, aku memakan jantung Hamzah. Sungguh menjijikan perilaku ku saat itu. Tak kuasa ku menelannya, lantas kumuntahkan kembali, sampai-sampai suamiku tak mau bertanggung jawab atas kejadian itu. Aku senang, puas karena kematian Ayah-ku Utbah, pamanku Syaibah dan Saudara laki-lakiku Al-Walid telah terbalaskan. Perasaan senang yang semu. Sesemu keyakinanku pada agama warisan nenek moyang kami dulu. Ya Allah, ampuni aku.

Kini, aku takut darahku tertumpah oleh kaum Muslimin atas kematian Hamzah yang sangat biadab oleh ke jahiliyahan-ku. Sebenarnya dalam hati kecilku, aku membenarkan segala perkataan Muhammad tentang iman dan islam. Dan perasaan itu semakin kuat kurasakan saat ini. Saat dimana, ada sejumlah kelompok yang berkerumun memuja Tuhannya mampu membuat bulu kuduk-ku merinding. Hari ini hari kedua setelah peristiwa fathu makkah. Penaklukan terhadap Mekkah ini, tak semata-mata merupakan kemenangan kaum Muslimin saja. Karena sejatinya kemenangan ini adalah kemenangan untuk seluruh alam beserta isinya. Inilah visi dan misi lelaki bersahaja itu. Sungguh mulia. Sungguh berat. Dan aku telah menodai kebenaran yang sempurna ini dengan memperturutkan hawa nafsu belaka. “aku ingin mengikuti dan berbai’at pada Muhammad, maka bawalah aku menghadapnya !” pintaku seketika. Suamiku terkejut mendengarnya. Ia mendapati ku selama ini sebagai perempuan yang keras terhadap prinsip, hingga ia berkata padaku “ Sungguh, aku melihat kemarin kamu benci dengan perkataan tersebut?” “Demi Allah, aku belum pernah melihat Allah di sembah dengan sebenar-benarnya di dalam masjid sebagaimana yang aku lihat kemarin malam. Demi Allah, kemarin malam aku melihat orang-orang tidak melakukan selain shalat dengan berdiri, rukuk, dan bersujud.” Bergetar hatiku saat menceritakan peristiwa yang menakjubkan itu. Semua yang kubicarakan pada suamiku terjadi dengan sendirinya tanpa pernah ku rancang sebelumnya. Spontan saja, mengikuti kata hati dan tak dapat ku tahan. “sesungguhnya engkau telah banyak berbuat salah, maka pergilah bersama laki-laki dari kaum-mu.” Ucap suamiku menanggapi.

Tanpa banyak bertanya lagi aku datang pada Umar bin Khattab. Dan Umar menjamin keselamatanku hingga aku berbai’at bersama beberapa wanita quraisy lainnya. Dengan perasaan yang semakin mantab, kukenakan cadar untuk menemui laki-laki terhormat dan termulia sepanjang jaman ini. Berbaris di hadapannya tak mampu mengurangi kecemasanku akan dosa yang pernah ku perbuat terhadap Hamzah. Cadar ini semata untuk menyamarkan perempuan jahiliyah pendosa seperti ku agar tak mendatangkan keburukan seperti keburukan yang pernah kulakukan sebelumnya.  Akhirnya tibalah saat-saat mendebarkan bagiku. Lelaki pilihan Allah itu mulai membai’at kami “kalian bai’at aku dengan syarat kalian tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah dan tidak mencuri” aku tak dapat menahan kegundahan tentang perkataannya hingga ku katakan apa yang terjadi padaku sebelumnya “wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku Abu Sofyan adalah lelaki yang sangat kikir. Bagaimana jika aku mengambil sebagian hartanya tanpa dia ketahui?” “semua yang engkau ambil telah ku halalkan!’ ucap suamiku seketika yang berada tak jauh dari kami. Mendengar dialog antara aku dan suamiku, lelaki bersahaja itu tersenyum dan langsung mengenaliku. Ia berkata,“engkau pasti Hindun binti Utbah.” “wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang memenangkan Dien yang telah dipilih-Nya sehingga bermanfaat bagiku, semoga Allah merahmati anda wahai Muhammad.

Sesungguhnya aku adalah wanita yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya” tak kuasa lagi segera kuakhiri penyamaranku dengan membuka cadar seraya berkata “akulah Hindun binti Utbah, maka maafkanlah dosaku yang silam, semoga Allah memaafkan engkau” dan ia pun menyambutku dengan penuh keramahan “selamat datang untukmu”. Kemudian ia melanjutkan bai’atnya, hingga ku bertanya padanya “wahai Rasulullah, bolehkah kami bersalaman denganmu? “ia pun menjawab dengan lugas “sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita. Perkataanku kepada seratus wanita, seperti perkataanku kepada seorang wanita.” Sungguh di luar perkiraan. Lelaki bijaksana yang ada dihadapanku ini benar-benar menampakkan kemuliaan agama cahaya yang menyinarinya. Ia telah memaafkan orang yang telah memakan jantung sahabat sekaligus pamannya, Hamzah. Tak ada keraguan lagi dalam hati ku untuk memeluk cahaya Ilahi ini sebagai agama baru ku. “Demi Allah, tidak ada di atas bumi ini,  penghuni kemah yang aku lebih suka mereka terhina daripada penghuni kemahmu. Sekarang, tidak ada di atas bumi ini, penghuni kemah yang aku lebih suka mereka mulia daripada penghuni kemahmu” ungkapku tulus pada lelaki yang di juluki Al-Amin itu. Lalu ia menjawab “demi yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya semoga kamu begitu pula”. 

Sesampai ku di rumah, kurenungi peristiwa yang baru saja kualami. Peristiwa yang membalikkanku ke titik nol. Titik dimana aku sadar siapa diriku dan untuk apa aku ada di dunia ini. Menangislah aku sejadi-jadinya. Betapa aku telah menyia-nyiakan waktuku selama ini hanya untuk sesuatu yang bathil. Sesuatu yang tak ada jaminannya untuk kupertahankan. Lihatlah patung-patung yang berada di sudut rumahku itu. Aku benci pada mereka. Tak ada yang bisa menahanku untuk mengambil kapak di dapur. Kuhampiri sembahan palsu yang telah menipu keimananku berpuluh tahun yang lalu. Yang menyebabkan qalbu ku menadi mati hingga mampu membunuh dengan kejam seorang solihin seperti Hamzah. “kau telah memperdayaiku” teriak ku geram sambil menghantamkan kapak pada berhala menjijikkan di depanku itu. Tamat sudah riwayatnya. Mereka sudah hancur berkeping-keping bersama kejahiliyahanku yang telah kubunuh dan ku kubur. Lelah setelah melakukannya, lelah terhadap kebohongan yang selama ini menopengi kehidupan kelamku. Tapi juga ada semilir kelegaan yang berhembus makin dalam ke rongga-rongga jiwaku. Kebohongan itu telah tergantikan oleh kebenaran iman yang pasti. Yang menjamin kebersihan hati. Sungguh mulia akhlakmu duhai Rasulullah. Tak sedikitpun kau menoreh dendam padaku yang merupakan musuhmu di masa lalu. Kemuliaan ini adalah gambaran dari keyakinan baru yang kau tawarkan pada kami sejak dulu. Begitu indah, begitu benar. Katamu kami semua sama. Yang membedakan kami adalah ketakwaan kami pada-Nya. Tak perduli seberapa kelam masa lalu kami. Baik yang lebih dulu beriman maupun yang kemudian, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kekasih-Nya. Keyakinan yang kau pertahankan itu telah memberikan kesempatan pada kami untuk menafasi kehidupan kami dengan kebenaran. Dan ini telah membuat hati kami lebih lapang dalam menjalani kehidupan ya Rasulullah. Meskipun hingga kini tak sedikit yang masih memanggilku dengan julukan Aklatul Akbad, Wanita pemakan jantung!  ***

Allahuma Shalli ala Muhammad, Ya Robbi Sholli Allaihi Wa Sholli….



Sumber:
1.    Buku “35 Sirah Shahabiyah”
2.    Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syalabi.
3.    Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat, An-Nawawi
4.    Buku “ Tokoh-tokoh wanita di sekitar Rasulullah SAW”, Muhammad Ibrahim Salim

Nukilan hadist:
1.    Dari Abdullah bin Az-Zubair ra diriwayatkan: “ketika hari penaklukan Mekkah, Hindun Binti Utbah masuk Islam, dan masuk islam juga Ummu Hakim binti al-Haritz bin Hisyam istri Ikramah didikuti sepuluh wanita Quraisy”
2.    Aisyah berkata:”Hindun binti Utbah datang lalu ia berkata;’wahai Rasullullah, dahulu tidak ada di permukaan bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka terhina melebihi penghuni kemahmu. Sekarang tidak ada di seluruh bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka melebihi penghuni kemahmu’ nabi SAW menjawab;’Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, semoga begitu pula dirimu…’ (HR Bukhori dan Muslim)
3.    Imam Ath-Thabari berkata : “Hindun menemui Rasulullah SAW sambil mengenakan cadar dan menyamar, sebab perbuatannya terhadap Hamzah, dank arena ia takut Rasulullah SAW menghukumnya atas perbuatan itu. Mualailah Rasulullah SAW berkata kepada para wanita, dan Hindu nada diantara mereka: ‘Kalian bai’at aku dengan syarat kalian tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan Allah dan tidak mencuri.
4.    Pada hari penaklukan mekkah, hindun binti utbah masuk islam bersama orang-orang perempuan.mereka datang kepada RasulullahSAW yang sedang berada di Al-Abthah, kemudian membaiatnya. Hindun berbicara, maka dia berkata :”wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah memenangkan agama yang dipilih-Nya. semoga hubungan kekeluargaanmu bermanfaat bagiku. Wahai Muhammad, sungguh aku seorang wanita yang beriman kepada Allah dan membenarkan Rasul-Nya” kemudian ia membuka cadarnya dan berkata :”aku adalah Hindun Binti Utbah” Rasulullah bersabda:”selamat datang untukmu”. Hindun berkata:”Demi Allah, tidak ada diatas bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka terhina dari pada penghuni kemahmu. Sekarang, tidak ada diatas bumi ini penghuni kemah yang aku lebih suka mereka mulia daripada penghuni kemahmu”. Lebih lanjut Rasulullah SAW berbicara dan membacakan Al-Quran kepada mereka dan membaiatnya. Diantara mereka Hindun berkata: ”wahai Rasulullah, bolehkah kami bersalaman denganmu?” Rasulullah SAW menjawab “Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita. Perkataanku pada seratus orang wanita seperti perkataanku pada satu orang wanita” (HR. Malik, Tirmidzi, dan Nasai). [gkw]


Rabu, 06 Maret 2013

Nama lengkapnya adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari keturunan Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir.

Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.

Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan Muhammad.

Masa Pernikahannya
Sayyidah Shauiyyah bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelurn dengan Rasulullah. Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.

Penaklukan Khaibar dan Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.

Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.

Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian beliau bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. rnemilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan kemudian diterirnanya.

Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas r a. berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah merneluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.

Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”

Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa cngkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”

Salah satu bukti cinta Hafshah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”

Setelah Rasulullah wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsrnan bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia di sisiNya. Amin.

Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE