Kamis, 11 Juni 2009

Wanita di Emperan Musholla

Posted by Kak Galuh On 05.23 | No comments
Ketika saya coba mengamati wajah wanita yang berada di samping saya itu, ia tersenyum penuh keikhlasan di tengah peluhnya yang bercucuran. Tak sedikitpun terlihat wajah sedih ataupun kesusahan layaknya cerita yang baru saja mengalir dari bibirnya yang kering itu. Saya tidak belum pernah mengenal wanita itu, tapi entah mengapa rasanya seperti saya sudah mengenalnya bertahun-tahun. Dalam balutan gamis coklat tua dan juga bergo babat besar warna senada ia termenung pada emperan musholla terminal. Di genggamannya ada sebuah tas plastik kresek berwarna hitam yang isinya adalah setelan gamis dari bahan denim. Ia hendak menjual isi kresek tersebut kepada siapapun yang mau membelinya.

“Suami saya sudah dua minggu tidak pulang.” Wanita itu mencoba membuka pembicaraan. “Sebelum pergi dua minggu yang lalu ia berpesan, bahwa jika dalam waktu seminggu ia tidak pulang, maka telah terjadi sesuatu pada dirinya, dan dia minta saya mengikhlaskan dirinya.” Saya mulai memalingkan wajah saya yang tadinya tertunduk kearah wanita tersebut mengisyaratkan pada wanita itu bahwa saya siap dan serius ingin mendengar ceritanya. Wanita itu tersenyum penuh keikhlasan dan kembali bercerita sambil memandang jauh ke depan. “Suami saya bukan suami seperti kebanyakan orang. Ia juga bukan orang yang tidak bertanggung jawab pada keluarganya, meski fitnah tentang kelalaiannya pada keluarga sudah santer terdengan sejak awal kami menikah.” Sambil menghela nafas panjang ia kembali bercerita. “Mbak... mau menolong saya?” Saya gelagapan merespon pertanyaannya yang tiba-tiba itu. “eee... apa yang bisa saya bantu mbak?”saya balik bertanya padanya. “Ini adalah barang terbaik saya.“ ujarnya sambil menyodorkan gamis denim dari kresek yang dibawanya. “Kemarin ada seorang teman yang suaminya sama seperti suami saya, sudah tidak pulang sebulan lamanya tanpa ada kabar berita. Ia kerumah saya berniat untuk meminjam uang karena anaknya yang baru berusia satu tahun sudah tiga hari demam dan tidak juga turun. Kemarin saya belum bisa bantu karena saya memang tak memegang uang sepeserpun. Tapi jika mbak mau membeli gamis ini, mungkin saya bisa membantu teman saya itu.” Jelasnya lugas tanpa adanya tekanan nada kesulitan pada kalimat-kalimatnya.

“Terimakasih mbak.” Ucapnya saat saya memberikan beberapa lembar uang lima puluh ribuan padanya yang sesaat kemudian langsung dibalas olehnya dengan memberikan gamis denim yang di jualnya itu pada saya. Dengan tersenyum padanya saya kembalikan gamis itu sambil berkata “gamis ini adalah gamis favorit saya. sekarang saya menghadiahkannya untuk mbak sebagai sahabat baru saya. Tolong terima ya!” wanita itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pada saya. “Mbak sudah punya anak? “ Tanya saya mencoba untuk lebih akrab. “Sudah. Alhamdulillah sudah empat.” Jawabnya penuh kebanggaan. “Apa mereka tidak bertanya tentang bapaknya? Maaf jika pertanyaan saya terlalu pribadi”. “oh... tidak apa-apa. Anak-anak saya sudah tahu siapa bapaknya, dan untuk alasan apa bapaknya sering pergi dalam waktu yang lama tanpa ada kabar berita. Mereka anak-anak yang tangguh.” Sambil tersenyum simpul ia berkata lagi, “mereka memanggil bapaknya sebagai ‘pekerja langit’.” “Untuk alasan yang tidak akan pernah dimengerti oleh orang pada umumnya, orang-orang seperti suami saya tidak akan pernah berhenti untuk terus berjuang menyebarkan nilai-nilai sejati pada setiap sendi kehidupan di dunia ini. Ada yang merasakannya sebagai racun yang membunuh, tapi ada juga yang menikmatinya sebagai dahaga di sebuah padang pasir tandus.” Ucap wanita itu mengakhiri pembicaraan kami sambil kemudian menyalami saya penuh persahabatan dan menghilang di balik kerumunan seribu orang yang berlalu lalang di terminal.

Setelah pertemuan itu, saya kerap memikirkan wanita itu dengan bayangan-bayangan yang terkadang muncul atas daya khayal yang saya ciptakan sendiri. Pertemuan yang sungguh tak biasa, tapi terus menyisakan sejumlah pertanyaan yang tak pernah usai dan tak pernah terjawab hingga kini. Dan pertanyaan –pertanyaan dalam alam khayal itu bertambah menggigit saat saya membuka Al-quran yang menyebabkan terbacanya sebuah ayat yang artinya: “(berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS 2: 273).


Apakah orang-orang seperti keluarga wanita di emperan mushola itu adalah termasuk dari orang-orang yang terikat yang tidak dapat berusaha di muka bumi ini??? Entahlah… Wallahu’alam…  [gkw]

0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE