Sabtu, 13 Juni 2009

Resensi: The Road To The Empire

Posted by Kak Galuh On 10.42 | No comments
Judul Buku: The Road To The Empire
Penulis: Sinta Yudisia
Penyunting: Maman S. Mahayana & Taufan E. Prast
Tebal: 586 hlm; 20,5 cm
Terbit: Cetakan 1, Desember 2008
Cetakan 2, Februari 2009
Penerbit: PT. Lingkar Pena Kreativa, 2008


The Road To The Empire, adalah sebuah kisah perjuangan heroik penuh hikmah yang terjadi pada peradaban Bangsa Mongolia, keturunan Jengis Khan yang tersohor bengis dan kejam beberapa abad lalu. Novel betikan Sinta Yudisia ini bukanlah sekedar kisah tentang perebutan kekuasaan, konspirasi, dan kudeta yang layaknya terjadi pada sebuah perjalanan kekuasaan para Kaisar. Juga bukan sekedar kisah cinta terhormat yang tersembunyi mewarnai kehidupan tokoh sentralnya. Semuanya terangkum secara apik. Tapi dibalik tema The Road To The Empire tersebut ada sebuah kisah yang menjadi ruh novel ini, yakni tentang perjuangan keimanan yang patut menjadi renungan. Sekaligus pengingat, bahwa sunnah sejarah selalu berulang. Sejak zaman Rasulullah Saw., hingga masa peradaban Mongolia yang terekam dalam novel ini, kembali sejarah menampilkan pengulangan. Jalan mendaki, terjal, fitnah, kesabaran tanpa batas, adalah resiko yang harus dihadapi dalam mempertahankan keimanan. Inilah pesan agung dari The Road To The Empire.

Adalah Tuqluq Timur Khan, seorang Kaisar Mongol yang berkuasa pada saat itu menjalin kisah persahabatan yang monumental dengan Syeikh Jamaluddin, musafir Muslim yang sedang mengembara di daratan Mongol bersama beberapa muridnya. Awalnya, pengembaraan tersebut menyebabkan Kaisar murka. Karena Sang Musafir telah dianggap menggangu waktu berburu Kaisar. Namun tak diduga, ketika Syeikh Jamaluddin ditangkap dan hendak dibunuh oleh prajurit Kaisar, Kaisar Tuqluq Timur Khan dengan kebencian penuh kesal menanyakan permintaan terakhir Syeikh Jamaluddin, segera Syeikh Jamaluddin pun menjawab pertanyaan Kaisar secara arif. Sebuah jawaban yang mencerminkan kesederhanaan serta keyakinan yang teguh. Tersentak hati Kaisar Tuqluq Timur Khan mendengar jawaban yang diutarakan Syeikh Jamaluddin. Alih-alih Syeikh Jamaluddin akan dieksekusi, Kaisar sebalikya menjadi kagum dengan Syeikh Jamaluddin. Karena ternyata jawaban yang dilontarkan Syeikh Jamaluddin berbanding terbalik dengan keyakinan warisan leluhurnya Jengis Khan. Kaisar Tuqluq Timur Khan telah mempercayai bahwa Kaisar Mongolia adalah keturunan dewa yang berhak melebarkan kekuasaan pada bangsa, dan suku lain untuk tunduk dalam sebuah imperium emas Mongolia dengan hanya satu kepemimpinan saja. Karenanya, sebagai titisan dewa ia merasa berhak untuk melakukan apapun untuk mencapai ambisi leluhurnya, meski dengan terus berperang secara keji dan tak kenal belas kasih jika ada yang menghalangi niatnya. Kesederhanaan Syeikh Jamaluddinlah yang akhirnya meruntuhkan seluruh kesombongan Tulquq Khan. Dan pada akhirnya persahabatan sejati terjalin dengan sebuah janji, bahwa suatu saat Mongol akan berdiri sebagai bangsa yang besar, beradab dalam naungan keyakinan dan kesederhanaan sejati, seperti yang diyakini oleh Syeikh Jamaluddin.

Mewanginya persahabatan tersembunyi antara Sang Kaisar dan Sang Musafir, tercium begitu anyir oleh beberapa petinggi kekaisaran, termasuk panglima besar kepercayaan Kaisar Albuqa Khan yang ingin tetap mempertahankan status quo, yakni kekuasaan mutlak dibawah kaki imperium Mongol dengan satu kepemimpinan. Mimpi buruk warisan leluhurnya itu ternyata telah begitu membutakan mata hati pendukung status quo. Sehingga mereka berani melakukan konspirasi jahat untuk melenyapkan Kaisar Tulquq Khan dan Permaisuri Ilkhata, yang bagi mereka terlalu lemah dan sudah tidak pantas memimpin bangsa Mongol yang kuat seperti serigala. Makar berhasil dilaksanakan. Kaisar dan Permaisuri wafat, dibunuh secara keji. Tetapi ketiga putra Kaisar dan Permaisuri tidak ikut dibunuh. Bahkan Pangeran pertama menghilang dari istana. Hilang dalam penyelematan diri atas titah Permaisuri dipenghujung akhir hayatnya. Karena pada Pangeran kesatulah janji yang terikat antara Kaisar Tuqluq Khan dan Syeikh Jamaluddin diwariskan. Tugas Suci yang tidak mudah ini menyebabkan Takudar sebagai putra mahkota pergi meninggalkan kedua adiknya Argun Khan dan Buzun di Istana. Takudar pergi bersama seorang dayang istana kepercayaan Permaisuri, Uchatadara. Mereka pergi ke suatu tempat dimana ahli waris satu-satunya Syeikh Jamaluddin yaitu Rasyiduddin tinggal.

Sejak menghilangnya pangeran kesatu Takudar, secara otomatis Pangeran kedualah Argun Khan yang menempati tahta kekaisaran. Kepemimpinan Argun Khan sangat dipengaruhi oleh Albuqa Khan, sehingga Argun Khan lebih terlihat seperti boneka Sang Panglima. Terlebih, Argun Khan sangat mencintai Urghana putri pertama Panglima yang cantik, cerdas, tinggi ilmu bela dirinya, dan juga memiliki kepribadian bangsawan yang santun. Namun sayang, cinta sang Kaisar bertepuk sebelah tangan, karena ternyata putri Panglima lebih mencintai Pangeran ketiga, Buzun. Pangeran ketiga yang menjabat sebagai kepala bendaharawan Kekaisaran itu, sifat dan karakternya begitu lembut dan welas asih terhadap orang miskin. Begitu jauh berbeda dengan sifat dan karakter Pangeran kedua, Argun Khan.

Kaisar Argun Khan melanjutkan ambisi leluhurnya Jengis Khan merebut Jerusalem di bawah Imperium Mongolia. Bahkan, Kaisar Argun Khan lebih kejam dari leluhurnya Jengis Khan. Meskipun leluhurnya Jengis Khan terkenal bengis dan tanpa ampun pada bangsa lain, tetapi masih berupaya untuk mensejahterakan bangsa Mongol secara keseluruhan. Berbeda dengan Argun Khan, kebijakan pemerintahannya sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Pendapatan negara yang diperoleh dari upeti bangsa-bangsa yang telah ditaklukkannya lebih banyak diprioritaskan untuk keperluan militer semata. Tak mengherankan bila perlengkapan perang dan pasukan yang dimiliki oleh Argun Khan adalah yang terbaik. Para pasukan dilatih dengan disiplin tinggi dan sangat keras pada perguruan-perguruan bela diri terbaik di negeri Mongolia. Tak hanya perlengkapan militer dan fisik, mental pasukan juga di persiapkan sedemikian rupa, hingga pada saat terjun ke medan perang mereka menjadi prajurit-prajurit tangguh yang tidak memiliki belas kasih sedikitpun, bagaikan serigala kelaparan yang memangsa domba tanpa ampun dan hanya menyisakan tulang-belulang saja. Rakyat yang semakin menderita hanya dapat memendam ketidakpuasan tersebut, karena takut akan tebasan pedang para algojo berbadan besar yang siap kapan saja menghujamkan pedang tajamnya atas perintah Kaisar Argun Khan. Kelak situasi ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Argun Khan saat menghadapi kakaknya, sang pangeran ke satu Takudar Khan dalam sebuah peperangan bersejarah.

Jika Argun Khan memiliki perlengkapan senjata dan pasukan yang memadai untuk dipersiapkan pada sebuah perang penaklukkan, sebaliknya Pangeran kesatu Takudar Khan tidak memiliki setengahpun dari apa yang dimiliki oleh adiknya. Di sisi Takudar hanya ada segelintir sahabat kaum Muslimin yang kerap menyemangatinya untuk menghentikan kekejian Argun Khan dengan perlawanan berbalutkan keimanan. Berbekal pendidikan santri di Babusallam tempat Rasyiduddin, Takudar Khan yang menyamar sebagai Baruji dalam pelariannya, mulai mengumpulkan strategi untuk menghentikan kekejaman Argun Khan. Dalam perenungannya pada misi besar dan mulia itu Takudar dihadapkan oleh perang batin yang dahsyat dan menguras seluruh emosinya. Tak dapat dipungkiri dalam darahnya mengalir deras ambisi Mongolia sebagai bangsa penakluk yang tak terkalahkan, berseberangan dengan aqidah yang telah diimaninya, dimana penegakkan keadilan dan perlawanan kepada pemerintahan lalim dan jahil dibawah panji Diinullah adalah sebuah kewajiban. Terbayang olehnya menghadapi kedua saudara kandungnya Argun dan Buzun, bukanlah perkara mudah mengingat mereka pernah tumbuh bersama dalam kedamaian masa kecil yang indah. Tapi tentu saja iman bukanlah hal yang pantas dipertaruhkan hanya karena darah yang sama. Saudara sekalipun, jika telah melewati batas-batas kemanusiaan akan menjadi musuh bagi keimanan yang diyakininya.

Masa-masa penyusunan strategi dan kekuatan bagi Takudar dan pasukan Muslim disekitar daratan Mongolia adalah masa-masa terberat. Pada prosesnya Takudar berhasil mendapatkan kitab sejarah perang milik Jengis Khan yang dicuri oleh Uchatadara. Kitab inilah yang menjadi gambaran bagi Takudar untuk membaca kekuatan lawan dibalik persiapan minimalis yang dimilikinya. Selain kitab tersebut, Takudar dibantu oleh beberapa Syeikh berpengalaman mengkaji strategi-strategi perang milik Rasulullah Saw. dan Sahabat, yang dalam sejarahnya kerap memenangkan perang meski dengan jumlah pasukan dan peralatan perang terbatas, jauh dengan apa yang dimiliki lawannya. Kunci dari rahasia terbesar Rasulullah Saw. dan pasukannya yang tidak didapati pada kitab sejarah perang milik Jengis Khan adalah keimanan, berpegang teguh kepada Diinullah. Bagi Takudar dan pasukannya, kunci rahasia tersebut adalah senjata paling ampuh diantara sekian banyak senjata perang tercanggih yang dimiliki oleh Argun Khan pada saat itu. Islam dengan segala kesempurnaannya telah memberi keuntungan bagi para pemeluknya. Jika mati dalam peperangan maka mereka meraih syahid, dan jika menang kemulianlah yang diraihnya. Oleh karenanya, meskipun tidak lebih dari sepuluh ribu pasukan, mereka tak gentar sedikitpun melawan pasukan Kaisar Argun Khan yang jumlahnya dua puluh kali lipat dari mereka.

Benar saja. Disaat perang antara kedua pasukan tak bisa dihindari lagi, pasukan Muslim yang meski sempat mengacau-balaukan barisan pasukan Argun Khan, secara tiba-tiba berkurang sedikit demi sedikit karena jumlah yang tak sepadan. Tapi tentu kematian mereka bukanlah sesunguhnya kematian. Terbayang pula begitu banyak bidadari-bidadari cantik yang menyambut diatas langit daratan Mongolia, menjemput jiwa-jiwa syahid yang tak pernah tersesat dalam kepulangannya. Pada saat Argun Khan merasa kemenangan berpihak padanya, dengan penuh kesombongan serupa Fir’aun dikarenakan pasukan lawan hanya tersisa Takudar Khan sebagai pemimpin dan beberapa orang sahabat saja, tiba-tiba saja Argun Khan dikagetkan oleh senjata rahasia milik kaum Muslimin bernama keimanan. Situasi yang semula berada dalam genggaman Argun Khan dibalikan seketika oleh Dzat Maha Besar yang tak pernah dikenal dan diyakini oleh Argun Khan selama ini. Sebagian pasukan Argun Khan yang telah lama muak dengan kelalimannya memecah diri dan berbalik memihak pewaris tahta sesungguhnya, Takudar Khan. Dengan harapan keadaan Mongolia akan lebih baik pada pundak Pangeran ke satu itu yang terlihat lebih bijak dan bersahaja. Belum reda sakit hati Argun Khan atas pengkhianatan pasukannya, ia di kejutkan pula oleh bala bantuan pasukan Muslimin yang datangnya dari Mesir untuk mengalahkan pasukan Argun Khan yang sebelumnya telah terpecah belah terlebih dulu. Dengan segala keyakinan yang di miliki Muhammad Takudar Khan, ia telah mampu menundukkan kezaliman yang diciptakan oleh adik kandungnya sendiri. Tunai sudah janji pada Ilahnya, pada kaum Muslimin taklukan Mongol, dan tentu pada Sang Ayah yang sedang tersenyum puas di alam yang terpisah jauh jaraknya dari alam kemenangannya saat itu.

Kisah epik ini, patut menjadi sumber inspirasi dan penyemangat bagi siapapun yang merasa bahwa kejayaan Islam sudah tidak mungkin lagi terjadi di dunia. Perjalanan perjuangan Takudar Khan tergambar jelas pada surat At-Taubah: 25-26. “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada rasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan Bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir”. Maka dari itu, perjuangan menegakkan Diinullah tidak akan pernah berakhir dan terhenti meski zaman terus berubah. Keimanan atas Diinullah inilah perjuangan akan terus berlanjut, hingga kejayaan Islam kembali. Dan Aqidah atas Diinullah menjadi kunci rahasia kejayaan itu. [gkw]



0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE