Pekan lalu saya diminta mengisi acara diskusi untuk guru-guru
agama tingkat SMA di wilayah Jakarta. Mengingat pentingnya acara ini,
saya menyempatkan diri untuk membeli sejumlah buku Pendidikan Agama
Islam yang diajarkan kepada anak-anak tingkat SMA. Setelah membacanya,
ada sejumlah isi buku kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari
umat Islam. Secara umum, tampak bahwa pemikiran-pemikiran liberal yang
sudah berkembang di berbagai Perguruan Tinggi Islam, belum memasuki
buku-buku Pelajaran Agama tingkat SMA. Namun, yang perlu diperhatikan
adalah soal kualitas dan beberapa kekeliruan isi buku.
Kita akan membahas sejumlah contoh berikut ini:
Dalam
masalah toleransi dan aqidah, sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk
kelas 3 SMA keluaran sebuah penerbit di Solo mengajarkan hal yang tegas
dalam soal aqidah: ”Dalam hal akidah, seorang muslim dilarang bekerja
sama dengan nonmuslim.” Juga disebutkan, bahwa ikut merayakan hari besar
nonmuslim berarti telah mencampuradukkan ajaran agama.”(hal. 5). Lebih
jauh dikatakan, bahwa seorang muslim wajib mengajak orang lain untuk
masuk dan mengikuti ajaran Islam. Akan tetapi, hal itu tidak boleh
dipaksakan. Kewajiban seorang muslim hanya mengajak. (hal. 9).
Meskipun cukup
tegas dalam menyajikan materi aqidah, buku ini mempunyai kelemahan dalam
menyajikan materi tentang pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pada bagian pengembangan IPTEK, hanya disebutkan sejumlah ayat yang
mendorong kaum Muslim untuk berpikir dan nama-nama sejumlah ilmuwan
Muslim di masa lalu, seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd,
al-Khawarizmi, Ibn Batutah, dan sebagainya. Secara verbal, dorongan
untuk menunut ilmu diberikan, tetapi cara penyajian materi IPTEK dalam
buku ini tampak sangat lemah.
Harusnya, sebuah buku pelajaran juga menyajikan, bagaimana contoh kegigihan, ketinggian, dan kehebatan, ilmuwan
muslim dalam mengejar ilmu pengatahuan. Dengan demikian, para siswa
bukan hanya dipaksa untuk menghafal nama-nama ilmuwan, tetapi juga
memahami dan menghayati, bahkan tertarik untuk meneladani kehidupan
ilmuwan muslim.
Anehnya,
buku ini justru memuat cerita tentang seorang anak yang sakit setelah
mengikuti orang tuanya pindah ke rumah barunya. Konon, rumah tersebut
angker, sehingga dia disarankan oleh tetangganya untuk pindah rumah
saja. Setelah pindah, satu hari saja, anaknya langsung sembuh. Ditulis
oleh buku ini, bahwa apa yang terjadi itu kelihatannya ajaib, tidak
masuk akal, dan membenarkan anggapan bahwa rumah tersebut memang angker.
Akan tetapi, sebenarnya peristiwa itu adalah hal yang logis dan masuk
akal. Para ahli mengatakan bahwa pada tempat-tempat
tertentu terdapat gaya medan magnet bumi. Gaya itu memengaruhi fisik dan
kejiwaan orang-orang tertentu pula. Bahkan, gaya itu juga dapat
memengaruhi kendaraan yang berlalu lalang di atasnya. Oleh karena itu,
di tempat-tempat tertentu sering terjadi kecelakaan yang melibatkan
kendaraan atau orang-orang tertentu pula. Hal ini sering kali menjadi
sebab munculnya takhayul. (hal. 111).
Penulisan
masalah IPTEK untuk pelajaran agama tingkat SMA harusnya dilakukan
dengan memberikan data-data ilmiah yang memadai, baik data tentang sains
klasik maupun modern. Jika penulis buku Pendidikan Agama tidak memahami
masalah-masalah IPTEK, seharusnya berkonsultasi dengan pakar di
bidangnya, agar tidak keliru ketika menulis tentang IPTEK. Pemuatan
cerita tentang anak sakit ketika pindah rumah itu tidak disertai dengan
data-data ilmiah, dimana terjadinya, dan apakah rumah itu memang sudah
diteliti secara ilmiah, dan terbukti di situ terdapat ”gaya medan magnit
bumi”. Cerita semacam ini harusnya diberikan referensi
dari pakar fisika atau buku tertentu yang membuktikan ada kebenaran
cerita semacam itu.
Ada
lagi yang perlu ditinjau dari buku Pelajaran Agama semacam ini, yaitu
begitu beratnya materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa-siswa
SMA, seperti pembahasan satu bab khusus tentang hukum waris. Tentu ini
materi yang baik. Tetapi, apa perlunya anak-anak SMA harus menguasai
secara mendetail hukum-hukum waris. Mestinya, cukup diberikan filosofi
dasar hukum waris dan keadilan hukum waris dalam Islam, agar nantinya
anak-anak tertarik untuk mendalami hukum waris lebih jauh.
Bagian
lain yang perlu mendapat catatan adalah penyajian materi tentang
sejarah Islam. Biasanya cerita yang diberikan kepada siswa adalah
bahwasanya Islam memasuki Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang Arab.
Cerita ini memberikan kesan bahwa yang datang ke wilayah Nusantara
bukanlah para dai yang sungguh-sungguh ingin menyebarkan Islam, tetapi
dakwah adalah pekerjaaan sambilan para pedagang Arab itu. Padahal, para
wali yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa, misalnya, adalah para ulama
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ada lagi sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA keluaran sebuah penerbit di Bandung, yang dengan gegabah menyajikan materi sejarah Islam Indonesia. Sebagaimana buku ’Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’ karya Prof. Harun Nasution, yang dijadikan sebagai buku pegangan Studi
Islam di Perguruan Tinggi Islam, buku untuk anak SMA ini juga
menyajikan perkembangan sejarah Islam pada Abad Pertengahan. Istilah
’Islam Abad Pertengahan’ ini jelas mencontoh periodisasi sejarah
peradaban Barat yang kelam. Barat menyebut periode pertengahan ini
sebagai ’The Dark Ages’, zaman kegelapan.
Mengacu
pada sifat peradaban Barat tersebut, buku pelajaran untuk anak SMA ini
juga menceritakan wajah kelam Islam pada Zaman Pertengahan Islam
(1250-1800 – tahun ini sama persis dengan yang tertulis dalam buku Harun
Nasution). Buku ini memberikan gambaran kelam tentang perkembangan ilmu
pengetahuan Islam: ”Perkembangan ajaran Islam pada abad ini tidak
sepesat beberapa abad sebelumnya. Ajaran Islam hanya dipandang sebagai
pelengkap kehidupan rohani semata. Sehingga ilmu pengetahuan Islam
hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.” Juga ditulis: ”Dapat
dikatakan, ajaran Islam yang berkembang pada abad pertengahan adalah
ajaran tasawuf dan tarekat, yang cenderung mengungkung orang untuk berkreatifitas dan berkarya secara bebas.”
Pada
bagian berikutnya dari buku ini dibahas tentang ”Pengaruh Perkembangan
Dunia Islam Abad Pertengahan terhadap Islam dan Umat Islam di
Indonesia.” Pada bagian ini, penulisnya memberi catatan hitam atas
perkembangan Islam di Indonesia. Ia memaparkan:
”Dapat
dikatakan, bahwa ilmu-ilmu Islam yang berkembang pada masa itu,
hanyalah ilmu tasawuf dan tarekat, disamping ilmu fiqih dan tauhid
sebagai sekedar pelengkap ibadah semata. Para tokoh dan ulama yang
muncul pada masa itu juga hanya ulama-ulama tasawuf dan tokoh-tokoh
tarekat. Hampir tidak ditemukan nama-nama ulama fiqih, hadits, tafsir, dan yang lainnya. Di Aceh dan Sumatera misalnya,
muncul beberapa ulama nusantara kenamaan, seperti Syaikh Hamzah
Fansuri, Syaikh Abdurrauf Singkel, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh
Syamsuddin As-Sumatrani, Abdusshamad Al-Falimbani yang nota bene semua
adalah ulama tasawuf dan tokoh tarekat tertentu. Di Jawa juga muncul
beberapa ulama seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Siti Jenar
dengan kelompok wali songonya, yang juga dapat dikatakan sebagai tokoh
tasawuf dan penganut tarekat tertentu. Begitu juga di Sulawesi dan
Kalimantan, terdapat nama-nama besar ulama tasawuf dan tokoh-tokoh
tarekat. Misalnya, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad al-Banjari,
dan Syaikh Ahmad Khatib Syambas. Mereka telah belajar cukup lama di
kawasan dunia Islam, dan pulang ke tanah air sebagai tokoh tasawuf dan
tarekat.” (hal. 87-90).
Cara
menyajikan sejarah para ulama Indonesia seperti itu sangatlah tidak
bijak, sebab terlalu mudah mengecilkan karya-karya mereka. Hingga kini,
ratusan karya tulis para ulama itu masih bisa dikaji dan terus menjadi
bahan penelitian di berbagai universitas di dunia. Menyamakan kedudukan
Siti Jenar dengan walisongo yang lain juga kekeliruan dan kecerobohan.
Penulis buku Pendidikan Agama Islam ini pun tampak begitu sengit dengan
paham tasawuf, tanpa melalukan penelitian yang mendalam tentang apa itu
tasawuf. Sultan Muhammad al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel tahun
1453 adalah pengikut tasawuf.
Jika
ulama-ulama di Nusantara itu dikecilkan semua kualitas keilmuannya,
maka siapa lagi yang dipandang berjasa menyebarkan Islam di Indonesia.
Bentuk pengajaran sejarah Islam seperti ini, sangatlah tidak mendidik
para siswa SMA untuk mencintai khazanah Islam Indonesia. Harusnya,
diberikan contoh karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai bidang
keilmuan, agar para siswa nantinya berminat menekuni bidang sejarah
Islam dan bangga sebagai Muslim Indonesia yang memiliki sejarah yang
gemilang. Dari paparan tentang sejarah Islam Indonesia tersebut, tampak
jelas, bahwa si penulis buku Pendidikan Agama Islam ini tidak mempunyai
visi dan misi yang jelas tentang sejarah Islam Indonesia, sehingga
begitu mudah mengecilkan kualitas karya-karya para ulama yang telah
berjasa besar dalam menyebarkan Islam di bumi nusantara ini.
Inilah
contoh-contoh materi Pendidikan Agama Islam untuk tingkat SMA. Kita
bisa melanjutkan penelitian ke berbagai buku Pendidikan Agama Islam pada
tingkat pendidikan lainnya. Contoh ini, mudah-mudahan sedikit menggugah
kita untuk melihat kenyataan, bahwa selama ini umat Islam Indonesia
sebenarnya belum melakukan upaya yang serius dalam pembenahan pendidikan
Agama Islam di sekolah-sekolah. Padahal, usaha untuk memasukkan
Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, selama
ini membutuhkan usaha keras. Berbagai organisasi dan tokoh Islam sampai
harus terjun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demonstrasi mendukung
RUU Sisdiknas yang menjadikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran
wajib di sekolah.
Hingga
kini, usaha untuk menggusur Pendidikan Agama di sekolah terus dilakukan
dengan gencar. Interfidei Yogya, misalnya, baru menerbitkan sebuah buku
berjudul ”Problematika Pendidikan Agama di Sekolah” (2007).
Buku ini merupakan hasil penelitian tentang Pendidikan Agama di
Yogyakarta tahun 2004-2006. Buku ini antara lain merekomendasikan:
”Pemisahan siswa berdasarkan perbedaan agama pada pelajaran agama sangat
layak untuk dikaji ulang. Dalam hal ini perlu diteliti dengan cermat
tentang dampak sosial pada masa depan, karena terdapat temuan dalam
penelitian ini yang menunjukkan makin tinggi level pendidikan siswa
tampak besar kecenderungan untuk tidak santai dengan perbedaan agama.”
Juga dikatakan seorang Profesor yang memberi kata pengantar buku ini,
bahwa Pendidikan Keagamaan kita belum memberikan kondisi mempersatukan
bangsa dalam corak multikulturalisme bangsa untuk menyikapi ragam Agama
di Indonesia, melainkan justru memperuncing perbedaan antar Agama.
Suara-suara
yang menolak pendidikan Agama di sekolah-sekolah seperti itu, memang
sulit kita terima. Tetapi, kita perlu mengakui, bahwa selama ini, mutu
dan kualitas pendidikan Agama di sekolah-sekolah itu masih amat sangat
perlu ditingkatkan. Dalam acara diskusi itu, saya mengajak para guru
agama di wilayah DKI yang hadir dalam acara tersebut, untuk bersama-sama
berusaha keras menjadikan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai
mata pelajaran yang paling bermutu, paling menarik, dan paling diminati oleh para siswa sekolah. Ini perlu kerja keras dan perlu guru-guru agama yang berkualitas tinggi. Wallahu a’lam. (Depok, 28 September 2007). [insist]
0 komentar:
Posting Komentar