Rabu, 23 Januari 2013

Pendidikan Karakter

Posted by Kak Galuh On 05.44 | No comments
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika anak-anak sekolah hobi tawuran hingga baku bunuh; di saat anak-anak remaja kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba); manakala kasus perkosaan biasa menimpa remaja wanita bahkan anak-anak dibawah umur, orang lalu bertanya salah siapa? 

Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera menemukan sebab awalnya.
Kini solusi yang ditawarkan adalah pendidikan karakter (character education) yang dibebankan ke pundak sekolah. Di Amerika pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelum terjadi hura hara kekerasan di sekolah-sekolah Amerika, Horce Mann, tokoh pendidikan Amerika, sudah mendukung dan mengarahkan adanya program pendidikan karakter di sekolah. Tapi ia bersama tokoh pendidikan abad 20 ragu pendidikan karakter ini akan mengarah pendidikan moral. Sebab moral biasanya dikaitkan dengan keluarga dan gereja.

Meski dikhawatirkan menjadi pendidikan moral atau agama, tapi pada tahun 1980 dan 1990an pendidikan karakter di Amerika memperoleh perhatian kembali. Menurut Vessels, G. G  ini untuk pencegahan dekadensi moral (Character and community development: A school lanning and teacher training handbook, 1998,  hal.5). Tapi menurut Beach, W dan Lickona, T., ini bukan hanya mencegah tapi sudah harus memperbaiki moral yang sudah merosot. (Lihat Beach, W. Ethical education in American public schools. Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility). 

Tapi karena inisiatif solusi ini tidak datang dari pendidik, penekanannya hanya pada perilaku standar dan kebiasaan yang positif. Perhatian kembali ini didukung oleh para politisi dan pemimpin Negara. Clinton, misalnya mengadakan lima konferensi tentang pendidikan karakter. Dilanjutkan oleh George W Bush yang menjadikan pendidikan karakter sebagai fokus utama dalam agenda reformasi pendidikan. 

Tapi apa itu pendidikan karakter itu? Lockwood, A. T mengartikan pendidikan karakter sebagai program sekolah, untuk membentuk anak-anak muda secara sistematis dengan nilai-nilai yang diyakini dapat mengubah perilaku mereka.  (Lockwood, A. T. Character education: Controversy and consensus 1997, hal. 5-6).  Namun secara luas diartikan pula sebagai penanaman sifat sopan, sehat, kritis, dan sikap-sikap sosial seperti kewarganegaraan yang dapat diterima masyarakat. 

Kekhawatiran Horace Mann terbukti. Pendidikan karakter dianggap sama dengan pendidikan moral atau sekurangnya mirip. Maka para penganut Protestan di Amerika segera mencium bau pendidikan moral dalam pendidikan karakter ini. Mereka pun protes. Ini mereka anggap sebagai penjelmaan dari program pendidikan agama dan nilai yang dianggap telah gagal di masa lalu. 

Untuk itu arti pendidikan moral mulai dikaburkan dari nilai-nilai agama dan diartikan sebagai upaya sadar untuk membantu orang lain mencari pengetahuan, skill, tingkah laku, dan nilai untuk kepentingan pribadi dan sosial  (Kirschenbaum, 100 ways to enhance values and morality in school and youth settings). 

Tapi istilah dan konsep pendidikan karakter pun bukan tanpa masalah. Apa yang disebut baik dan perilaku baik itu di Barat relatif. Nilai baik buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai mereka yang boleh jadi bersifat lokal.  Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri. 

Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, humanisme dan sebagainya.  Maka arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik di Amerika. Tapi herannya mengapa di Indonesia yang problemnya berbeda mesti harus menanamkan nilai-nilai dari negara asing? 

Berhasilkah pendidikan karakter ini menyelesaikan masalah bangsa Amerika? Ternyata tidak. Pada tahun 2007 Kementerian Pendidikan Amerika Serikat melaporkan bahwa mayoritas pendidikan karakter telah gagal meningkatkan efektifitasnya.  Bulan oktober 2010 sebuah penelitian menemukan bahwa program pendidikan karakter di sekolah-sekolah tidak dapat memperbaiki perilaku pelajar atau meningkatkan prestasi akademik. 

Ternyata dibalik itu terdapat beberapa masalah. Pertama tidak ada kesepakatan dari konseptor dan programmer pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama. Karakter kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, keadilan, persamaan, sikap hormat dan sebagainya secara istilah bisa diterima bersama. Namun, ketika dijabarkan secara detail akan berbeda-berbeda dari satu bangsa dengan bangsa lain. 

Masalah kedua, ketika harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi. Ketiga, konsep karakter masih ambigu karena - merujuk pada wacana para psikolog - masih merupakan campuran antara kepribadian (personality) dan perilaku (behaviour). 

Persoalan keempat dan terakhir arti karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil dari akhlaq. Pendidikan karakter hanya menggarami lautan makna pendidikan akhlaq. Sebab akhlaq berkaitan dengan iman, ilmu dan amal. 

Semua perilaku dalam Islam harus berdasarkan standar syariah dan setiap syariah berdimensi maslahat. Maslahat dalam syariah pasti sesuai dengan fitrah manusia untuk beragama (hifz al-din), berkepribadian atau berjiwa (hifz al-nafs), berfikir (hifz al-‘aql), berkeluarga (hifz al-nasl) dan berharta (hifz al-mal). Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhannya. Wallahu a’lam.*  [insist]

Jumat, 18 Januari 2013

Oleh: Erma Pawitasari (Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor) 

Pendidikan karakter adalah sesuatu yang baik. Dalam Islam, karakter identik dengan akhlaq, yaitu kecenderungan jiwa untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Akhlaq yang sesuai ajaran Islam disebut dengan akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, 1975), yang dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, bawaan lahir, sebagai karunia dari Allah. Contohnya adalah akhlaq para nabi. Kedua, hasil usaha melalui pendidikan dan penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, 1988).

Berdasarkan pengkajian penulis terhadap konsep akhlak Islam yang berlandaskan nash al-Quran dan hadits Nabi serta konsep karakter dalam tradisi empiris-rasional Barat, program pendidikan karakter yang baik seyogyanya memenuhi enam prinsip pendidikan akhlaq, yaitu:

1. Menjadikan Allah Sebagai Tujuan

Perbedaan mendasar antara masyarakat sekular dengan Islam terletak pada cara memandang Tuhan. Masyarakat sekular hanya mengimani “ide ketuhanan” karena ide ini berpengaruh baik bagi perilaku manusia. Mereka tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, 1993). Sebuah penelitian menunjukkan, 80% responden menyatakan bahwa mencuri tetap salah sekalipun diperintahkan Tuhan (Larry Nucci, Handbook of Moral and Character Education, 2008). Kaum secular mengurung agama dalam interpretasi kemanusiaan. Agama versi sekular tidak dapat menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi Ibrahim tatkala menerima wahyu untuk menyembelih putranya.
Islam mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud sehingga ketaatan kepadaNya menjadi mutlak. Islam bukanlah agama sekular yang memasung agama dalam dinding kehidupan privat. Agama tidak diakui sekedar diambil manfaatnya. Agama merupakan penuntun kehidupan dunia menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” [QS. al-Dzaariyaat 56]
                Keridhaan Allah merupakan kunci sukses kehidupan. Ilmu, kecerdasan, maupun rizki hanya mungkin dicapai apabila Allah menganugerahkannya kepada manusia (Zibakalam-Mofrad, 1999; Alavi, 1975). Untuk menggapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib menghiasi diri dengan akhlaq mulia (Sherif, 1975).

2. Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional

Perilaku manusia dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang hidup (an-Nabhani, 2002). Pendidikan karakter tidak akan membawa kesuksesan apabila murid tidak memahami makna-makna perilaku dalam kehidupannya. Untuk itu, Islam sangat menekankan pendidikan akal. Allah Swt menyebutkan keutamaan orang-orang yang berpikir dan mempunyai ilmu dalam berbagai ayat, salah satunya adalah QS. at-Thariq [86] ayat 5 (yang artinya): Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?
Akal adalah alat utama untuk mencapai keimanan. Akal harus diasah dengan baik sehingga manusia memahami alasan perilaku baiknya. Pada tahap awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi. Orang tua tidak boleh membiarkan mereka memukul teman atau bermain api walaupun mereka belum memahami alasan pelarangan itu. Namun, sejalan dengan usia, akal manusia mulai mempertanyakan alasan rasional. Keingintahuan ini tidak boleh diabaikan. Salah satu cara untuk mengasah akal adalah dengan perumpamaan dan dialog (Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, 1995). Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]
Dialog antara pendidik dan anak didik harus selalu dipelihara. Pendidik harus cerdas sehingga mampu mengimbangi pertanyaan-pertanyaan dari anak didik. Pendidik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk memikirkan persoalan yang dihadapi dan mengarahkannya pada solusi Islam.

3. Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi

Perilaku manusia banyak terpengaruh oleh kecenderungan emosinya (Elias dkk, 2008; Narvaez, 2008). Pendidikan karakter yang baik memperhatikan pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Penelitian menunjukkan bahwa program pendidikan karakter yang efektif harus disertai dengan pendidikan emosi (Elias dkk, 2008; Kessler & Fink, 2008).
Ketika seorang pemuda datang meminta ijin berzina, Rasulullah Saw tidak menghardik pemuda ini atas kegagalannya memahami larangan zina secara kognitif. Nabi Saw menyentuh faktor emosinya dengan mengatakan, “Sukakah dirimu jika seseorang menzinai ibumu?” Sang pemuda menjawab, tidak. Maka Nabi mengatakan, “Sama, orang lain juga tidak suka ibunya kamu zinai. Sukakah dirimu jika seseorang menzinai putrimu?” Sang pemuda terkejut dan secara tegas menolaknya. Nabi Saw melanjutkan, “Sama, orang lain juga tidak suka jika putrinya kamu zinai.” Nabi Saw memahami gejolak sang pemuda dan memilih menyentuh faktor emosinya. Sang pemuda diarahkan untuk merasakan bahwa apa yang hendak dilakukannya akan menyakiti orang lain.
Pembangunan kecerdasan emosi juga Rasulullah Saw lakukan melalui upaya meningkatkan kedekatan hamba kepada Allah Swt. Disebutkan dalam sebuah hadits qudsi: “Jika seorang hamba bertaqarrub kepadaKu sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekatiKu sehasta, Aku medekatinya sedepa. Jika ia mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan berlari.” (Shahih Bukhari)
Kecerdasan emosi anak didik harus mendapatkan perhatian. Emosi anak yang ditekan dapat menjadikan anak tumbuh sebagai individu yang masa bodoh (al-Naqib, 1993). Kehebatan akal yang tidak didukung dengan kecerdasan emosi menyebabkan manusia melakukan tindakan spontan yang bertentangan dengan rasional dan nilai-nilai akhlaq.

4. Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan

Lingkungan masyarakat yang mempraktikkan akhlaqul karimah merupakan bentuk keteladanan dan pembiasaan terbaik. Penelitian menyebutkan bahwa perilaku anak lebih ditentukan oleh lingkungannya daripada kondisi internal si anak (Leming, 2008). Keteladanan dan pembiasaan merupakan faktor utama dalam mengasah kecerdasan emosi (Narvaez, 2008).
Dalam mendidik karakter umat Islam, Rasulullah Saw menjadikan dirinya suri teladan terlebih dahulu sebelum menuntut umatnya mempraktikkannya. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh para pendidik. Bahkan, para teladan harus menunjukkan kebaikan yang lebih besar dari apa yang dituntut atas anak-anak sehingga anak-anak menjadi lebih termotivasi dalam menjalankan kebaikan.
Keteladanan Rasululullah Saw ditegaskan Allah Swt dalam firmanNya di Surat al-Ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah Saw selalu berpegang teguh kepada perilaku terpuji sesuai ajaran Islam, sehingga Aisyah ra. menyatakan: “Akhlaq Rasulullah Saw adalah (sesuai) al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Selain memberikan keteladanan, Rasulullah Saw menyuruh para orang tua untuk membiasakan anak-anak menjalankan perintah agama sejak kecil, walaupun mereka baru terkena beban agama setelah baligh. Dalam sebuah hadist Nabi Saw bersabda: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud & al-Hakim)
Rasulullah Saw memberikan keteladanan sekaligus membiasakan perbuatan baik melalui penerapan Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Larangan zina, misalnya, didukung dengan langkah-langkah untuk menjauhkan manusia dari berzina, seperti larangan untuk berdua-duaan, kewajiban untuk menutup aurat, serta pelaksanaan hukuman bagi pelaku zina.

5. Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Karakter tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Seseorang yang beristri lebih mudah untuk menghalau keinginan berzina daripada mereka yang membujang. Seseorang yang kenyang akan terhindar dari mencuri makanan. Tindakan kriminalitas sering terjadi akibat tekanan kebutuhan.
Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Apabila seseorang tidak mampu mendapatkan pekerjaan sendiri, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan untuknya. Apabila seseorang tidak mampu bekerja (cacat, tua, gila, dsb) maka Islam mewajibkan keluarganya untuk menanggung hidupnya. Apabila keluarganya tidak mampu atau tidak memiliki keluarga, maka Islam mewajibkan negara untuk mengurusi segala keperluannya (Abdul Aziz Al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, 1995). Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah penanggungnya.” (HR. Muslim)
Jaminan atas kebutuhan dasar hidup memberikan rasa aman bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat. Masyarakat tidak lagi perlu khawatir biaya sekolah anak cucunya sehingga menumpuk harta melebihi kebutuhannya, bahkan dengan cara-cara tidak halal. Masyarakat lebih rela mengantri apabila ada jaminan bahwa mereka yang mengantri tidak akan kehabisan sembako, tiket, atau kursi. Penumpang pesawat terbang bersedia mengantri dengan tertib karena jatah kursinya sudah terjamin. Penumpang kereta ekonomi tidak mau mengantri karena mereka harus berebut kursi.

6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas

Pendidikan karakter seringkali tidak efektif karena ada perbedaan prioritas dalam memandang nilai. Ada seorang siswa laki-laki sekolah menengah trauma ke sekolah akibat digundul secara paksa oleh gurunya. Perbedaan persepsi rambut panjang bahkan pernah berujung menjadi tawuran antara orang tua murid dengan guru
Islam memiliki konsep prioritas perbuatan, yang terbagi dalam 5 (lima) kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas tidak terlepas dari kelima tingkatan prioritas ini. Islam tidak melarang laki-laki berambut panjang, namun mewajibkan merapikan dan menjaga kebersihannya (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, 2011). Dalilnya adalah kisah Abu Qatadah ra. yang memiliki rambut panjang dan menanyakan kebolehannya kepada Nabi. Beliau Saw menyuruhnya untuk merapikan dan menyisirnya setiap hari.
Pendidik wajib mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengambilnya sebagai aturan kedisiplinan. Dalam wilayah yang sunnah, mubah, dan makruh, apabila ada hal yang ingin dijadikan aturan kedisiplinan, maka pendidik harus mengkomunikasikan dan mengikutsertakan anak-anak dalam membuat keputusan sehingga mereka memaklumi manfaat aturan tersebut bagi kelangsungan komunitas dan menjalankannya secara bersungguh-sungguh.
Demikianlah enam prinsip pendidikan karakter. Keenam prinsip ini harus dipenuhi agar pendidikan karakter dapat mencapai kesuksesan.* [insist]

Rabu, 16 Januari 2013

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.

Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa beliau lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.

Keislaman dan Pernikahannya
Zainab binti Khuzaimah. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah.

Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.

Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah . menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang miskin.

Meskipun Nabi. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.

Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah . menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.


Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah [kisah islami]

Minggu, 13 Januari 2013

Kisah Dua Jasad Sahabat Nabi Yang Utuh

Posted by Kak Galuh On 10.54 | No comments
Sebagaimana lazimnya kita mengetahui bahwa apabila mayat sudah dikubur pasti akan segera mengalami proses pembusukan dan penguraian apalagi mayat yang sudah dikubur dalam waktu yang sangat lama. Namun, dengan Kuasa Allah, kita bisa temui banyak fakta dan bukti yang sangat kuat bahwa mayat atau jenazah para Syuhada (Orang Yang Mati Syahid /Martir), para Nabi, dan orang-orang suci (Waliyullah) itu tetap segar bugar dan tidak mengalami proses pembusukan ketika kuburan mereka itu digali kembali. Salah satunya adalah peristiwa yang sangat luar biasa ini, yang sempat menghentak publik dunia terutama penduduk di kawasan Timur Tengah.
Pada tahun 1932 (bertepatan dengan tahun 1351 H), Raja Iraq yang bernama Shah Faisal I bermimpi dimana dalam mimpinya ia ditegur oleh Huzaifah Al-Yamani (salah seorang sahabat Nabi saww) yang berkata:
“ Wahai Raja ! Ambillah jenazahku dan jenazah Jabir Al-Ansari (juga salah seorang sahabat Nabi saww) dari tepian sungai Tigris dan kemudian kuburkan kembali di tempat yang aman karena kuburanku sekarang dipenuhi oleh air; kuburan Jabir juga sedang dipenuhi oleh air.”

Mimpi yang sama terjadi berulang-ulang pada malam-malam berikutnya akan tetapi Raja Faisal I tidak peduli dengan mimpi itu karena ia merasa ada hal-hal lain yang jauh lebih penting dalam kehidupannya yang berupa urusan-urusan kenegaraan. Pada malam ketiga Huzaifah Al-Yamani hadir dalam mimpi Mufti Besar Iraq. Huzaifah Al-Yamani berkata dalam mimpi sang Mufti itu:
“ Aku telah memberitahukan Raja dua malam sebelumnya untuk memindahkan jenazahku akan tetapi tampaknya ia tidak peduli. Beritahukanlah kepada Raja agar ia mau sedikit berempati untuk memindahkan kuburan-kuburan kami.”

Raja Faisal I (1883 – 1933)

Lalu setelah mendiskusikan masalah ini, Raja Faisal disertai oleh Perdana Menteri dan Mufti Besar bermaksud untuk melaksanakan tugas ini. Diputuskanlah bahwa Mufti Besar akan memberikan fatwa mengenai hal ini dan Perdana Menteri akan menyampaikan pernyataan pers supaya semua orang tahu tentang rencana besar ini. Kemudian diumumkanlah kepada publik bahwa rencana ini akan dilangsungkan pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah shalat Dzhuhur dan Ashar. Kuburan kedua sahabat Nabi itu akan dibuka dan jenazahnya akan dipindahkan ke tempat lain.

Karena pada waktu itu sedang musim Haji, maka para jamaah haji yang sedang berkumpul di kota Makkah. Mereka meminta Raja Faisal I untuk menunda rencana itu selama beberapa hari agar mereka juga bisa turut menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses ekskavasi dari kedua tubuh sahabat Nabi itu. Mereka ingin agar proses ekskavasi itu ditunda hingga mereka selesai beribadah haji. Akhirnya Raja Faisal setuju untuk menangguhkannya dan mengundurkannya hingga tanggal 20 Dzulhijjah.

Setelah shalat Dzhuhur dan Ashar, pada tanggal 20 Dzulhijjah tahun 1351 (Hijriah) bertepatan dengan tahun 1932 Masehi, orang-orang berdatangan ke kota Baghdad. Dan yang datang ketika itu bukan hanya kaum Muslimin melainkan juga dihadiri oleh banyak Non-Muslim. Mereka berkumpul di kota Baghdad hingga penuh sesak. Ketika kuburan Hudzaifah Al-Yamani dibuka segera mereka melihat bahwa kuburan itu dipenuhi air di dalamnya. Tubuh Hudzaifah Al-Yamani diangkat dengan menggunakan katrol dengan sangat hati-hati agar tidak rusak dan kemudian jenazah yang tampak masih sangat segar itu dibaringkan di sebuah tandu. Kemudian Raja Faisal beserta Mufti Besar, Perdana Menteri dan Pangeran Faruq dari Mesir mendapatkan kehormatan untuk mengangkat tandu itu bersama-sama dan kemudian meletakkan jenazah segar itu ke sebuah peti mati dari kaca yang dibuat khusus untuk menyimpan jenazah-jenazah itu. Selanjutnya tubuh Jabir bin Abdullah Al-Ansari juga dipindahkan ke peti mati dari kaca yang sama dengan cara yang sama hati-hatinya dan dengan segenap penghormatan.

Prosesi Pemindahan Jenazah Dua Sahabat Nabi Yang Mulia

Pemandangan yang sangat menakjubkan itu sekarang sedang dilihat oleh banyak orang laki-laki dan perempuan, muda dan tua, miskin dan kaya, Muslim dan Non-Muslim. Kedua jenazah suci dari sahabat sejati Nabi yang kurang dikenal kaum Muslimin ini kelihatan masih segar dan tak tersentuh oleh bakteri pengurai sedikitpun. Keduanya dengan mata terbuka, mata yang telah menatap sinar Kenabian. Kedua jenazah mulia yang menggemparkan dunia dan membuat semua yang menyaksikan saat itu terperangah dan tak bisa menutup mulutnya. Kebisuan pun mengharu biru……….. Mereka seolah tak percaya dengan apa yang mereka saksikan pada hari itu.

Selain tubuh keduanya yang tampak segar bugar, juga peti mati mereka yang juga tampak masih utuh dan baru; bahkan pakaian yang mereka kenakan pada saat dikubur semuanya utuh dan kalau dilihat sekilas kedua Sahabat Nabi dan Pahlawan Islam ini tampak seperti masih hidup dan hanya terbaring saja.
Kedua jasad suci ini akhirnya dibawa dan dikebumikan kembali di kuburan yang baru tidak jauh dari kuburan sahabat sejati Nabi lainnya yaitu Salman Al-Farisi yang terletak di SALMAN PARK kurang lebih 30 mil jauhnya dari kota Baghdad. Kejadian ajaib ini sangat mengundang kekaguman para ilmuwan, kaum filsafat, dan para dokter. Mereka yang selalu mampu berkicau memberikan analisa sesuai dengan bidangnya masing-masing, kali ini hanya tertunduk bisu, terkesima dengan kejadian yang teramat langka ini.

Makam Baru Jabir bin Abdullah Al-Anshary

Salah satu dari mereka adalah seorang ahli fisiologis dari Jerman yang kelihatan sangat tertarik dengan fenomena ini. Ia sangat ingin melihat langsung kondisi tubuh jenazah kedua sahabat Nabi itu yang telah dikuburkan selama 1300 tahun lamanya. Oleh karena itu, ia serta merta langsung mendatangi Mufti Besar Iraq. Sesampainya ia di tempat dimana peristiwa akbar itu sedang terjadi, dan setelah menyaksikan sendiri Tanda Kekuasaan Allah tersebut, dia langsung memegang kedua tangan sang Mufti dengan eratnya sambil berkata:

“ BUKTI APALAGI YANG HARUS DICARI BAHWA ISLAM ITU BENAR. AKU SEKARANG JUGA AKAN MASUK ISLAM DAN TOLONG AJARI AKU TENTANG ISLAM “

Di hadapan ribuan orang yang sedang menyaksikan dirinya, dokter dari Jerman itu menyatakan keIslamannya. Dan seketika itu juga banyak orang lainnya yang beragama Kristen bahkan Yahudi turut juga menyatakan diri sebagai Muslim karena mereka telah melihat bukti yang sangat nyata dipampangkan di depan mereka. Ini bukan yang pertama dan terakhir. Masih banyak lagi setelah itu kaum Nasrani dan Yahudi serta dari agama lain yang berbondong-bondong masuk Islam karena telah menyaksikan atau mendengar kejadian aneh nan menakjubkan ini. [kisah islami]

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE