Sabtu, 13 Juni 2009

Resensi: The Road To The Empire

Posted by Kak Galuh On 10.42 | No comments
Judul Buku: The Road To The Empire
Penulis: Sinta Yudisia
Penyunting: Maman S. Mahayana & Taufan E. Prast
Tebal: 586 hlm; 20,5 cm
Terbit: Cetakan 1, Desember 2008
Cetakan 2, Februari 2009
Penerbit: PT. Lingkar Pena Kreativa, 2008


The Road To The Empire, adalah sebuah kisah perjuangan heroik penuh hikmah yang terjadi pada peradaban Bangsa Mongolia, keturunan Jengis Khan yang tersohor bengis dan kejam beberapa abad lalu. Novel betikan Sinta Yudisia ini bukanlah sekedar kisah tentang perebutan kekuasaan, konspirasi, dan kudeta yang layaknya terjadi pada sebuah perjalanan kekuasaan para Kaisar. Juga bukan sekedar kisah cinta terhormat yang tersembunyi mewarnai kehidupan tokoh sentralnya. Semuanya terangkum secara apik. Tapi dibalik tema The Road To The Empire tersebut ada sebuah kisah yang menjadi ruh novel ini, yakni tentang perjuangan keimanan yang patut menjadi renungan. Sekaligus pengingat, bahwa sunnah sejarah selalu berulang. Sejak zaman Rasulullah Saw., hingga masa peradaban Mongolia yang terekam dalam novel ini, kembali sejarah menampilkan pengulangan. Jalan mendaki, terjal, fitnah, kesabaran tanpa batas, adalah resiko yang harus dihadapi dalam mempertahankan keimanan. Inilah pesan agung dari The Road To The Empire.

Adalah Tuqluq Timur Khan, seorang Kaisar Mongol yang berkuasa pada saat itu menjalin kisah persahabatan yang monumental dengan Syeikh Jamaluddin, musafir Muslim yang sedang mengembara di daratan Mongol bersama beberapa muridnya. Awalnya, pengembaraan tersebut menyebabkan Kaisar murka. Karena Sang Musafir telah dianggap menggangu waktu berburu Kaisar. Namun tak diduga, ketika Syeikh Jamaluddin ditangkap dan hendak dibunuh oleh prajurit Kaisar, Kaisar Tuqluq Timur Khan dengan kebencian penuh kesal menanyakan permintaan terakhir Syeikh Jamaluddin, segera Syeikh Jamaluddin pun menjawab pertanyaan Kaisar secara arif. Sebuah jawaban yang mencerminkan kesederhanaan serta keyakinan yang teguh. Tersentak hati Kaisar Tuqluq Timur Khan mendengar jawaban yang diutarakan Syeikh Jamaluddin. Alih-alih Syeikh Jamaluddin akan dieksekusi, Kaisar sebalikya menjadi kagum dengan Syeikh Jamaluddin. Karena ternyata jawaban yang dilontarkan Syeikh Jamaluddin berbanding terbalik dengan keyakinan warisan leluhurnya Jengis Khan. Kaisar Tuqluq Timur Khan telah mempercayai bahwa Kaisar Mongolia adalah keturunan dewa yang berhak melebarkan kekuasaan pada bangsa, dan suku lain untuk tunduk dalam sebuah imperium emas Mongolia dengan hanya satu kepemimpinan saja. Karenanya, sebagai titisan dewa ia merasa berhak untuk melakukan apapun untuk mencapai ambisi leluhurnya, meski dengan terus berperang secara keji dan tak kenal belas kasih jika ada yang menghalangi niatnya. Kesederhanaan Syeikh Jamaluddinlah yang akhirnya meruntuhkan seluruh kesombongan Tulquq Khan. Dan pada akhirnya persahabatan sejati terjalin dengan sebuah janji, bahwa suatu saat Mongol akan berdiri sebagai bangsa yang besar, beradab dalam naungan keyakinan dan kesederhanaan sejati, seperti yang diyakini oleh Syeikh Jamaluddin.

Mewanginya persahabatan tersembunyi antara Sang Kaisar dan Sang Musafir, tercium begitu anyir oleh beberapa petinggi kekaisaran, termasuk panglima besar kepercayaan Kaisar Albuqa Khan yang ingin tetap mempertahankan status quo, yakni kekuasaan mutlak dibawah kaki imperium Mongol dengan satu kepemimpinan. Mimpi buruk warisan leluhurnya itu ternyata telah begitu membutakan mata hati pendukung status quo. Sehingga mereka berani melakukan konspirasi jahat untuk melenyapkan Kaisar Tulquq Khan dan Permaisuri Ilkhata, yang bagi mereka terlalu lemah dan sudah tidak pantas memimpin bangsa Mongol yang kuat seperti serigala. Makar berhasil dilaksanakan. Kaisar dan Permaisuri wafat, dibunuh secara keji. Tetapi ketiga putra Kaisar dan Permaisuri tidak ikut dibunuh. Bahkan Pangeran pertama menghilang dari istana. Hilang dalam penyelematan diri atas titah Permaisuri dipenghujung akhir hayatnya. Karena pada Pangeran kesatulah janji yang terikat antara Kaisar Tuqluq Khan dan Syeikh Jamaluddin diwariskan. Tugas Suci yang tidak mudah ini menyebabkan Takudar sebagai putra mahkota pergi meninggalkan kedua adiknya Argun Khan dan Buzun di Istana. Takudar pergi bersama seorang dayang istana kepercayaan Permaisuri, Uchatadara. Mereka pergi ke suatu tempat dimana ahli waris satu-satunya Syeikh Jamaluddin yaitu Rasyiduddin tinggal.

Sejak menghilangnya pangeran kesatu Takudar, secara otomatis Pangeran kedualah Argun Khan yang menempati tahta kekaisaran. Kepemimpinan Argun Khan sangat dipengaruhi oleh Albuqa Khan, sehingga Argun Khan lebih terlihat seperti boneka Sang Panglima. Terlebih, Argun Khan sangat mencintai Urghana putri pertama Panglima yang cantik, cerdas, tinggi ilmu bela dirinya, dan juga memiliki kepribadian bangsawan yang santun. Namun sayang, cinta sang Kaisar bertepuk sebelah tangan, karena ternyata putri Panglima lebih mencintai Pangeran ketiga, Buzun. Pangeran ketiga yang menjabat sebagai kepala bendaharawan Kekaisaran itu, sifat dan karakternya begitu lembut dan welas asih terhadap orang miskin. Begitu jauh berbeda dengan sifat dan karakter Pangeran kedua, Argun Khan.

Kaisar Argun Khan melanjutkan ambisi leluhurnya Jengis Khan merebut Jerusalem di bawah Imperium Mongolia. Bahkan, Kaisar Argun Khan lebih kejam dari leluhurnya Jengis Khan. Meskipun leluhurnya Jengis Khan terkenal bengis dan tanpa ampun pada bangsa lain, tetapi masih berupaya untuk mensejahterakan bangsa Mongol secara keseluruhan. Berbeda dengan Argun Khan, kebijakan pemerintahannya sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Pendapatan negara yang diperoleh dari upeti bangsa-bangsa yang telah ditaklukkannya lebih banyak diprioritaskan untuk keperluan militer semata. Tak mengherankan bila perlengkapan perang dan pasukan yang dimiliki oleh Argun Khan adalah yang terbaik. Para pasukan dilatih dengan disiplin tinggi dan sangat keras pada perguruan-perguruan bela diri terbaik di negeri Mongolia. Tak hanya perlengkapan militer dan fisik, mental pasukan juga di persiapkan sedemikian rupa, hingga pada saat terjun ke medan perang mereka menjadi prajurit-prajurit tangguh yang tidak memiliki belas kasih sedikitpun, bagaikan serigala kelaparan yang memangsa domba tanpa ampun dan hanya menyisakan tulang-belulang saja. Rakyat yang semakin menderita hanya dapat memendam ketidakpuasan tersebut, karena takut akan tebasan pedang para algojo berbadan besar yang siap kapan saja menghujamkan pedang tajamnya atas perintah Kaisar Argun Khan. Kelak situasi ini yang akhirnya menjadi bumerang bagi Argun Khan saat menghadapi kakaknya, sang pangeran ke satu Takudar Khan dalam sebuah peperangan bersejarah.

Jika Argun Khan memiliki perlengkapan senjata dan pasukan yang memadai untuk dipersiapkan pada sebuah perang penaklukkan, sebaliknya Pangeran kesatu Takudar Khan tidak memiliki setengahpun dari apa yang dimiliki oleh adiknya. Di sisi Takudar hanya ada segelintir sahabat kaum Muslimin yang kerap menyemangatinya untuk menghentikan kekejian Argun Khan dengan perlawanan berbalutkan keimanan. Berbekal pendidikan santri di Babusallam tempat Rasyiduddin, Takudar Khan yang menyamar sebagai Baruji dalam pelariannya, mulai mengumpulkan strategi untuk menghentikan kekejaman Argun Khan. Dalam perenungannya pada misi besar dan mulia itu Takudar dihadapkan oleh perang batin yang dahsyat dan menguras seluruh emosinya. Tak dapat dipungkiri dalam darahnya mengalir deras ambisi Mongolia sebagai bangsa penakluk yang tak terkalahkan, berseberangan dengan aqidah yang telah diimaninya, dimana penegakkan keadilan dan perlawanan kepada pemerintahan lalim dan jahil dibawah panji Diinullah adalah sebuah kewajiban. Terbayang olehnya menghadapi kedua saudara kandungnya Argun dan Buzun, bukanlah perkara mudah mengingat mereka pernah tumbuh bersama dalam kedamaian masa kecil yang indah. Tapi tentu saja iman bukanlah hal yang pantas dipertaruhkan hanya karena darah yang sama. Saudara sekalipun, jika telah melewati batas-batas kemanusiaan akan menjadi musuh bagi keimanan yang diyakininya.

Masa-masa penyusunan strategi dan kekuatan bagi Takudar dan pasukan Muslim disekitar daratan Mongolia adalah masa-masa terberat. Pada prosesnya Takudar berhasil mendapatkan kitab sejarah perang milik Jengis Khan yang dicuri oleh Uchatadara. Kitab inilah yang menjadi gambaran bagi Takudar untuk membaca kekuatan lawan dibalik persiapan minimalis yang dimilikinya. Selain kitab tersebut, Takudar dibantu oleh beberapa Syeikh berpengalaman mengkaji strategi-strategi perang milik Rasulullah Saw. dan Sahabat, yang dalam sejarahnya kerap memenangkan perang meski dengan jumlah pasukan dan peralatan perang terbatas, jauh dengan apa yang dimiliki lawannya. Kunci dari rahasia terbesar Rasulullah Saw. dan pasukannya yang tidak didapati pada kitab sejarah perang milik Jengis Khan adalah keimanan, berpegang teguh kepada Diinullah. Bagi Takudar dan pasukannya, kunci rahasia tersebut adalah senjata paling ampuh diantara sekian banyak senjata perang tercanggih yang dimiliki oleh Argun Khan pada saat itu. Islam dengan segala kesempurnaannya telah memberi keuntungan bagi para pemeluknya. Jika mati dalam peperangan maka mereka meraih syahid, dan jika menang kemulianlah yang diraihnya. Oleh karenanya, meskipun tidak lebih dari sepuluh ribu pasukan, mereka tak gentar sedikitpun melawan pasukan Kaisar Argun Khan yang jumlahnya dua puluh kali lipat dari mereka.

Benar saja. Disaat perang antara kedua pasukan tak bisa dihindari lagi, pasukan Muslim yang meski sempat mengacau-balaukan barisan pasukan Argun Khan, secara tiba-tiba berkurang sedikit demi sedikit karena jumlah yang tak sepadan. Tapi tentu kematian mereka bukanlah sesunguhnya kematian. Terbayang pula begitu banyak bidadari-bidadari cantik yang menyambut diatas langit daratan Mongolia, menjemput jiwa-jiwa syahid yang tak pernah tersesat dalam kepulangannya. Pada saat Argun Khan merasa kemenangan berpihak padanya, dengan penuh kesombongan serupa Fir’aun dikarenakan pasukan lawan hanya tersisa Takudar Khan sebagai pemimpin dan beberapa orang sahabat saja, tiba-tiba saja Argun Khan dikagetkan oleh senjata rahasia milik kaum Muslimin bernama keimanan. Situasi yang semula berada dalam genggaman Argun Khan dibalikan seketika oleh Dzat Maha Besar yang tak pernah dikenal dan diyakini oleh Argun Khan selama ini. Sebagian pasukan Argun Khan yang telah lama muak dengan kelalimannya memecah diri dan berbalik memihak pewaris tahta sesungguhnya, Takudar Khan. Dengan harapan keadaan Mongolia akan lebih baik pada pundak Pangeran ke satu itu yang terlihat lebih bijak dan bersahaja. Belum reda sakit hati Argun Khan atas pengkhianatan pasukannya, ia di kejutkan pula oleh bala bantuan pasukan Muslimin yang datangnya dari Mesir untuk mengalahkan pasukan Argun Khan yang sebelumnya telah terpecah belah terlebih dulu. Dengan segala keyakinan yang di miliki Muhammad Takudar Khan, ia telah mampu menundukkan kezaliman yang diciptakan oleh adik kandungnya sendiri. Tunai sudah janji pada Ilahnya, pada kaum Muslimin taklukan Mongol, dan tentu pada Sang Ayah yang sedang tersenyum puas di alam yang terpisah jauh jaraknya dari alam kemenangannya saat itu.

Kisah epik ini, patut menjadi sumber inspirasi dan penyemangat bagi siapapun yang merasa bahwa kejayaan Islam sudah tidak mungkin lagi terjadi di dunia. Perjalanan perjuangan Takudar Khan tergambar jelas pada surat At-Taubah: 25-26. “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada rasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan Bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir”. Maka dari itu, perjuangan menegakkan Diinullah tidak akan pernah berakhir dan terhenti meski zaman terus berubah. Keimanan atas Diinullah inilah perjuangan akan terus berlanjut, hingga kejayaan Islam kembali. Dan Aqidah atas Diinullah menjadi kunci rahasia kejayaan itu. [gkw]



Kamis, 11 Juni 2009

Wanita di Emperan Musholla

Posted by Kak Galuh On 05.23 | No comments
Ketika saya coba mengamati wajah wanita yang berada di samping saya itu, ia tersenyum penuh keikhlasan di tengah peluhnya yang bercucuran. Tak sedikitpun terlihat wajah sedih ataupun kesusahan layaknya cerita yang baru saja mengalir dari bibirnya yang kering itu. Saya tidak belum pernah mengenal wanita itu, tapi entah mengapa rasanya seperti saya sudah mengenalnya bertahun-tahun. Dalam balutan gamis coklat tua dan juga bergo babat besar warna senada ia termenung pada emperan musholla terminal. Di genggamannya ada sebuah tas plastik kresek berwarna hitam yang isinya adalah setelan gamis dari bahan denim. Ia hendak menjual isi kresek tersebut kepada siapapun yang mau membelinya.

“Suami saya sudah dua minggu tidak pulang.” Wanita itu mencoba membuka pembicaraan. “Sebelum pergi dua minggu yang lalu ia berpesan, bahwa jika dalam waktu seminggu ia tidak pulang, maka telah terjadi sesuatu pada dirinya, dan dia minta saya mengikhlaskan dirinya.” Saya mulai memalingkan wajah saya yang tadinya tertunduk kearah wanita tersebut mengisyaratkan pada wanita itu bahwa saya siap dan serius ingin mendengar ceritanya. Wanita itu tersenyum penuh keikhlasan dan kembali bercerita sambil memandang jauh ke depan. “Suami saya bukan suami seperti kebanyakan orang. Ia juga bukan orang yang tidak bertanggung jawab pada keluarganya, meski fitnah tentang kelalaiannya pada keluarga sudah santer terdengan sejak awal kami menikah.” Sambil menghela nafas panjang ia kembali bercerita. “Mbak... mau menolong saya?” Saya gelagapan merespon pertanyaannya yang tiba-tiba itu. “eee... apa yang bisa saya bantu mbak?”saya balik bertanya padanya. “Ini adalah barang terbaik saya.“ ujarnya sambil menyodorkan gamis denim dari kresek yang dibawanya. “Kemarin ada seorang teman yang suaminya sama seperti suami saya, sudah tidak pulang sebulan lamanya tanpa ada kabar berita. Ia kerumah saya berniat untuk meminjam uang karena anaknya yang baru berusia satu tahun sudah tiga hari demam dan tidak juga turun. Kemarin saya belum bisa bantu karena saya memang tak memegang uang sepeserpun. Tapi jika mbak mau membeli gamis ini, mungkin saya bisa membantu teman saya itu.” Jelasnya lugas tanpa adanya tekanan nada kesulitan pada kalimat-kalimatnya.

“Terimakasih mbak.” Ucapnya saat saya memberikan beberapa lembar uang lima puluh ribuan padanya yang sesaat kemudian langsung dibalas olehnya dengan memberikan gamis denim yang di jualnya itu pada saya. Dengan tersenyum padanya saya kembalikan gamis itu sambil berkata “gamis ini adalah gamis favorit saya. sekarang saya menghadiahkannya untuk mbak sebagai sahabat baru saya. Tolong terima ya!” wanita itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pada saya. “Mbak sudah punya anak? “ Tanya saya mencoba untuk lebih akrab. “Sudah. Alhamdulillah sudah empat.” Jawabnya penuh kebanggaan. “Apa mereka tidak bertanya tentang bapaknya? Maaf jika pertanyaan saya terlalu pribadi”. “oh... tidak apa-apa. Anak-anak saya sudah tahu siapa bapaknya, dan untuk alasan apa bapaknya sering pergi dalam waktu yang lama tanpa ada kabar berita. Mereka anak-anak yang tangguh.” Sambil tersenyum simpul ia berkata lagi, “mereka memanggil bapaknya sebagai ‘pekerja langit’.” “Untuk alasan yang tidak akan pernah dimengerti oleh orang pada umumnya, orang-orang seperti suami saya tidak akan pernah berhenti untuk terus berjuang menyebarkan nilai-nilai sejati pada setiap sendi kehidupan di dunia ini. Ada yang merasakannya sebagai racun yang membunuh, tapi ada juga yang menikmatinya sebagai dahaga di sebuah padang pasir tandus.” Ucap wanita itu mengakhiri pembicaraan kami sambil kemudian menyalami saya penuh persahabatan dan menghilang di balik kerumunan seribu orang yang berlalu lalang di terminal.

Setelah pertemuan itu, saya kerap memikirkan wanita itu dengan bayangan-bayangan yang terkadang muncul atas daya khayal yang saya ciptakan sendiri. Pertemuan yang sungguh tak biasa, tapi terus menyisakan sejumlah pertanyaan yang tak pernah usai dan tak pernah terjawab hingga kini. Dan pertanyaan –pertanyaan dalam alam khayal itu bertambah menggigit saat saya membuka Al-quran yang menyebabkan terbacanya sebuah ayat yang artinya: “(berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS 2: 273).


Apakah orang-orang seperti keluarga wanita di emperan mushola itu adalah termasuk dari orang-orang yang terikat yang tidak dapat berusaha di muka bumi ini??? Entahlah… Wallahu’alam…  [gkw]

Kamis, 04 Juni 2009

Bowo, Remaja 17 Tahun

Posted by Kak Galuh On 06.30 | No comments
Dini hari ini Bowo kembali harus bangun lebih awal lagi sebelum pemilik emperan toko tempat dia menginap mencacinya dengan segala sumpah serapah yang mungkin saja akan disertai dengan siraman air bekas rendaman pakaian seperti yang dirasakannya tempo hari. Seandainya saja Bowo mampu melangkahkan kakinya pulang ke rumah, mungkin ia tak kan harus bangun sepagi ini. Tapi apa yang akan dikatakannya pada orang-orang rumahnya ketika mereka mengetahui Bowo pulang tanpa membawa hasil apapun, sementara Ibu dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil seperti kumpulan anak ayam yang sangat membutuhkan perlindungan induknya itu begitu bergantung pada apapun yang dibawa Bowo pulang kerumahnya. Entah itu hanya gorengan oncom yang berjumlah tiga biji ataupun suatu waktu yang sangat jarang sebungkus nasi padang lengkap dengan ayam karenya, tak perduli apa yang dibawa Bowo, yang penting enam mulut dirumahnya yang termasuk ibunya memiliki sesuatu untuk dimakan dan dibagi, meskipun pembagian tersebut sangatlah jauh dari ukuran keadilan dan kesejahteraan.


Sudah empat hari Bowo tak muncul dirumahnya. Sang Ibu yang sebenarnya masih terlihat segar itupun sudah beberapa hari ini celingukan menantikan kehadirannya. Setahun lalu ketika adik bungsunya baru saja lahir, Bapak Bowo pamit untuk mencari kerja di Ibu Kota demi mencukupi kebutuhan ke-enam anaknya. Namun pada saat Bapak Bowo melangkahkan kakinya satu langkah keluar rumah, pada saat itu pula Bowo merasa laki-laki tak bertanggung jawab itu tidak akan kembali lagi. Dan benar saja, meski tiap hari sang Ibu begitu rajin menengok halaman depan rumahnya, tetap saja tak ditemukan sosok lelaki yang dicintainya itu. Kepergian Bapak Bowo tidak begitu memberi pengaruh besar bagi Bowo dan adik-adiknya. Karena toh selama Ia berada di rumah , tak ada satupun yang berguna yang dilakukannya kecuali menambah utang dari segala penjuru pelosok kampung ini. Satu-satunya yang masih dengan sabar melayani Bapak Bowo hanyalah Ibunya. Sang Ibu yang cantik itu begitu mencintai Bapak yang pengangguran itu. Meski sering dibohongi Bapak Bowo, Sang Ibu tetap memujinya habis-habisan di depan anaknya sebagai seorang bapak yang baik. Terkadang Bowo jengah dengan pujian-pujian tersebut. Karena toh sudah hampir setahun lelaki kebanggaannya itu tak jua memunculkan diri untuk memenuhi apa yang sudah dijanjikan kepada keluarganya ketika lelaki itu pamit untuk pergi.


Adik-adik Bowo merengek kelaparan. Menari-narik baju sang Ibu. Si bungsu yang sedang menyusu itu pun ikut menjerit bergabung bersama kakak-kakaknya yang diantaranya hanya berjarak selang setahun itu. Rumah kontrakan Bowo yang sudah terlihat kumuh itu semakin mengumuh ketika keramaian suara adik-adiknya memenuhi seluruh ruangan bahkan sampai sempat membuat para tetangga ada yang menutup erat kupingnya, membanting pintu isyarat muak dengan suara-suara tersebut. Bagaimana ini? Ibu Bowo mengeluh dan tak tahu harus melakukan apa. Diambilnya sandal, lalu dipukulilah anak-anaknya itu. Adik-adik Bowo kesakitan mereka mencoba untuk menjerit lebih keras lagi, namun tak kalah sengit Sang Ibu memukulkan sandalnya lebih keras lagi sehingga Adik-adik Bowo menyerah. Kehabisan nafas. Kehabisan airmata. Kehabisan suara. Setelah semuanya reda, Sang Ibu menggiring anak-anaknya masuk ke kamar, menidurkannya, lalu perlahan dengan si bungsu Ia keluar kamar dan mengunci mereka dengan sangat perlahan nyaris tak terdengar. Sang ibu mindik-mindik menggantungkan kunci kamar di paku kalender yang ada persis disebelah kiri kamar. Sang Ibu pergi bersama si bungsu. Meninggalkan adik-adik Bowo melaluli pintu belakang dan membiarkannya tidak terkunci. Berharap sore ini Bowo pulang dan memakani adik-adiknya.

Bowo menarik nafas panjang, merasakan kesesakan yang memilu di dadanya. Sudah seminggu Ia tak berani pulang. Dua hari lalu ketika dia mendapatkan 20.000 atas hasilnya menjadi kuli angkat dipasar telah dipalak oleh preman pasar itu yang kerjanya hanya mabok-mabokan dan berjudi. Padahal Bowo berencana membelikan 4 buah nasi rames untuk adik-adik dan Ibunya. Ia mencoba lagi untuk menjadi kuli angkat sehari setelah itu, namun sebelum Ia memulai pekerjaannya, para kuli angkat pasar tersebut menghadangnya beramai-ramai. Mengeroyoknya dengan penuh kepuasan, karena mereka mendapat kabar dari para preman bahwa ada kuli angkat baru yang mendapatkan hasil 50.000 seharinya, kontan para kuli angkat yang sehari-harinya hanya mendapatkan paling banyak 35.000 menjadi panas kuping dan hatinya. Tak ada cara lain, singkirkan kuli angkat baru itu, ucap mereka sepakat. Bowo merintih. Memegangi dadanya yang semakin terasa perih. Terbayang olehnya tangisan kelaparan adik-adiknya, beberapa tagihan utang Bapaknya yang terus menghantui Ibunya, uang kontrakan yang sudah hampir dua bulan menunggak. Bowo mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, ketika hatinya semakin yakin, ia berjalan perlahan menuju seorang Ibu yang sedang menawar kalung di toko perhiasan emas tempat ia menginap. Cukup lama Bowo mengawasi Ibu itu. Dengan segala kegundahan dan kecemasan yang berkecamuk dalam pikirannya, Bowo memutuskan untuk menghampirinya. Perlahan tapi pasti ia mengambil tas Ibu itu yang tergeletak begitu saja di sebelah bangku tempat Ibu itu duduk. Bowo yakin sepenuhnya telah mendapatkan tas itu pada tangannya, lalu ia berlari sangat kencang dalam kegalauan. Sayup-sayup terdengar teriakan “copeeeet” dengan sangat kencang dari arah toko itu. Semua orang berkerumun. Ada juga beberapa yang berusaha mengejar Bowo. Bowo tak perduli lagi sudah berapa orang yang ditabraknya. Yang penting adik-adiknya makan, Ibunya tak perlu dihantui tanggung jawab membayar hutang Bapaknya, dan uang kontrakkan bisa dilunasi. Bowo berhasil menghilang dari kejaran tersebut. Bersembunyi pada kamar mandi Musholla di pinggir jalan.


Bowo pulang, membawa beberapa plastik berisikan makanan, baju, beberapa kebutuhan rumah untuk sebulan. Dengan senyum yang sumringah Bowo memacu langkahnya bergegas. Setelah sampai di depan teras rumahnya, Ia melihat orang-orang berkerumunan seperti lalat yang sedang mengerubungi sampah. Sesuatu yang buruk telah terjadi pikirnya seketika. Segala kemungkinan buruk mulai berbaris memenuhi pikirannya, semakin cepat ia melangkah meninggalkan plastik-plastik kebanggaannya itu begitu saja. Pak Rusdi, salah seorang tetangga yang melihat kedatangan Bowo menghampiri tergesa. “ Aduh nak Bowo.. Kamu kmana saja? Lihat tuh adik-adikmu kelemasan di dalam kamar yang dikunci Ibumu.. mulanya Bapak kira mereka menangis karena dipukuli Ibumu lagi. Tapi ternyata ketika mas Dadang memeriksa pintu belakang yang tidak terkunci itu, tidak didapatinya Ibumu. Lalu terdengar suara gaduh....” tanpa mendengarkan lebih lanjut lagi keterangan bapak tadi yang sepertinnya lebih sibuk menceritakan kepahlawanan anaknya si Dadang dibanding keadaan adik-adiknya yang entah sudah jadi apa di dalam sana, Bowo masuk kerumah. Didapatinya wajah-wajah kecil itu memelas kelemasan, kelelahan, kelaparan. Segera ia mengangkat mereka dan meminta bantuan para tetangga untuk membawa mereka ke puskesmas terdekat. Bowo sangat menyesal. Ini adalah pertama kalinya Ia meninggalkan rumah sampai sebegitu lamanya. Biasanya tak kurang dari dua hari Bowo pasti pulang, dengan atau tidak membawa sesuatu. Tapi keadaan keluarganya yang semakin hari semakin terpuruk ini membuatnya nekat untuk tidak pulang sebelum membawa sesuatu untuk keluarganya. Rembesan air melinangi matanya, dalam hati ia mengutuk ibunya yang sudah dengan seenaknya menjadi seperti bapaknya. Melepas tanggung jawab dan membiarkan anak-anaknya bertarung dalam ketakutan dan kelaparan selama kurang lebih seminggu.


Bowo kini adalah Bapak dan Ibu bagi adik-adiknya. Seharian bowo bekerja demi menghidupi tubuh-tubuh kecil yang sama sekali tak mengerti mengapa mereka di tak memiliki orangtua seperti kebanyakan anak seusia mereka. Yang mengasihi, menyayangi serta menjaga mereka dengan penuh cinta. Bowo bertekad, tak akan biarkkan tubuh-tubuh kecil yang kerap kelaparan itu tersiksa lebih lama lagi. Rutinitas baru Bowo, menjaga toko pakaian milik Pak Rusdi di pasar hingga tengah hari, lalu Bowo pulang membawa jatah makan siangnya untuk ke-empat adiknya. Setelah itu bergegas kembali ke pasar, melanjutkan pekerjaannya menjaga toko hingga sore hari. Pak Rusdi memberi pekerjaan tersebut pada Bowo karena alasan kemanusiaan, begitulah yang didengar oleh Bowo melalui anak Pak Rusdi, si Dadang. Bagi Bowo alasan apapun yang dikemukakan oleh orang terpandang seperti Pak Rusdi bukanlah masalah. Yang terpenting adik-adiknya makan, kontrakan rumah tetap dapat dibayar agar ia dan adik-adiknya tak harus menginap di kolong jembatan atau di pinggir emperan toko seperti yang sering dilakukannya dulu. Lagi pula Pak Rusdi adalah orang yang sangat tahu tentang apa yang terjadi dalam keluarganya. Hal ini terjadi karena semenjak dulu Pak Rusdilah yang sering memberi Ibunya uang sepeser dua peser. Begitu setia, meski Pak Rusdi tahu Ibu Bowo tak kan mungkin meninggalkan Bapak Bowo hanya demi uang. Tapi Pak Rusdi tak peduli. Harapannya tetap sama. Dapat menjadikan Ibu Bowo sebagai pengganti istrinya yang telah bertahun-tahun meninggal.


Selang waktu berjalan sudah sebulan Bowo bekerja pada Pak Rusdi. Semakin hari Pak Rusdi semakin terlihat akrab dengan adik-adik Bowo, sehingga ketika Bowo harus meninggalkan rumah untuk bekerja ia tak perlu mengkhawatirkan tubuh-tubuh kecil itu akan terlantar lagi. Sampai suatu saat secara tidak sengaja Bowo mendapati anak Pak Rusdi, si Dadang dengan ke-empat adiknya sedang berada pada sebuah restoran ternama. Dengan diliputi oleh rasa ingin tahu Bowo terus memperhatikan mereka dari jauh, mencoba menebak apa yang sedang mereka lakukan disana pada senja hari seperti ini. Merasa tak menemukan jawaban yang sebenarnya tentang keberadaan mereka disitu, lantas Bowo berniat untuk melangkah menghampiri mereka saja, tapi langkah itu terhenti ketika Bowo melihat anak Pak Rusdi, si Dadang berdiri lalu berjalan ke arah pintu keluar. Namun yang menjadi pertanyaan bagi Bowo mengapa laki-laki itu keluar tanpa adik-adiknya. Sedangkan yang bersama adik-adiknya di dalam restoran itu adalah orang-orang yang tidak pernah dijumpai sebelumnya. Semula Bowo berpikir anak Pak Rusdi, si Dadang itu hanya sebentar saja keluar dan akan kembali membawa serta adik-adiknya. Tapi hingga kurang lebih tiga puluh menit, laki-laki itu tidak kembali. Sampai dia melihat dengan sangat jelas adik-adiknya dibawa keluar oleh sekelompok orang yang tak dikenalnya tadi. Adik-adik Bowo meronta-ronta ingin pulang. Namun mereka tak peduli. Bowo menyaksikan adiknya dipukul, disekap mulutnya. Tak terlihat rasa belas kasihan dari wajah mereka, yang ada hanyalah keinginan agar tubuh-tubuh kecil itu menurut, tidak meronta. Bowo sangat berang mendapati adik-adiknya disiksa. Dihampirinya mereka dengan penuh kebranian. “ Bajingan kalian. Mau diapakan mereka?” teriak Bowo lantang. Orang-orang yang tadinya sibuk dengan aktifitasnya masing-masing disekitar restoran itu mulai memperhatikan mereka, namun dengan kekhasan kebiasaan orang perkotaan yang tidak peduli pada apa yang terjadi di lingkungannya, maka bukannya tersentuh atas keberanian Bowo dan berusaha menolongnya, mereka malah menjadikannya tontonan. Melihat tak ada respon yang berarti yang dapat membahayakan kelompok asing yang menyekap adik-adik Bowo, mereka lalu bergegas pergi menuju arah parkir mobil. Salah satu laki-laki dari kelompok tersebut, perlahan mulai mengeluarkan sebilah pisau dari kantong celananya. Begitu rapi dan tanpa merasa berdosa mereka terus berjalan. Bowo semakin murka, tangannya yang terkepal penuh amarah memaksanya untuk berjalan mengikuti kelompok tersebut. “ Berhenti Brengsek! Kalian tidak akan membawa mereka kemana-mana sebelum menjelaskannya terlebih dahulu padaku” ujar Bowo berteriak. Lelaki yang mengeluarkan pisau tadi rupanya cukup kesal dengan teriakan Bowo. “ Hai anak ingusan! Kau tak usah ikut campur urusan kami. Anak-anak kecil itu sudah kami beli dengan harga yang tidak murah. Mau diapakan mereka, terserah kami. Kau tak usah jadi pahlawan kesiangan. Pulanglah kerumah, cuci kakimu lalu tidurlah! “ bentaknya kasar. Sudah cukup jelas kini mengapa mereka menarik paksa tubuh-tubuh kecil itu tanpa belas kasihan. Dalam hati Bowo mengutuk anak pak Rusdi, dalam benaknya andai saat ini anak Pak Rusdi, si Dadang ada dihadapannya, tak segan segan Bowo ingin menghajar bahkan bila perlu membunuhnya sekalian. Dengan amarah yang sudah mencapai puncaknya Bowo menarik tangan lelaki yang membawa pisau itu, dan menghajar hidungnya dengan satu pukulan yang cukup keras sehingga lelaki tersebut sempat jatuh dan tak lama dari itu keluar cairan berwarna merah pekat dari hidung lelaki tersebut. Menyadari dirinya tersungkur karena pukulan anak yang dianggapnya ingusan, lelaki itu merasa terhina. Lelaki itu bangkit dari tempatnya tersungkur, tanpa berkata apa-apa lagi ia menancapkan pisau yang dipegangnya ke perut Bowo, mencabutnya dan menancapkannya lagi berulang-ulang sampai Bowo terjatuh tak berdaya. Setelah dirasa tak ada perlawanan yang berarti dari Bowo, lelaki itu mengambil pisau yang tertancap pada tubuh Bowo. Mengelap darah yang berlumuran pada pisau itu, lalu bergegas pergi bersama kelompoknya yang telah terlebih dahulu menunggunya didalam mobil Van berwarna hitam, yang terpakir kurang lebih hanya 100 meter dari tempat Bowo terjatuh. Bowo mengerang kesakitan sambil menyaksikan mobil itu pergi. Begitu menyedihkan. Begitu menyakitkan. Begitu tak berdaya.


Kepala Bowo terasa sangat berat. Bowo pun tak kuasa membuka matanya untuk mengetahui apa yang sudah terjadi padanya. Namun sayup-sayup ia mendengar suara pertengkaran. Suara-suara yang sangat dikenalnya. Suara Pak Rusdi dan anaknya, si Dadang. “ Mengapa kau menjual mereka Bodoh? Bukankah semua kebutuhanmu sudah kupenuhi, mengapa kau masih saja mengusikku? “. “ Bapak pikir saya puas dengan semua yang bapak beri untuk saya? Saya ingin pergi dari rumah ini. Dan saya tidak sudi serumah dengan orang bejat seperti bapak. Bapak telah membohongi semua orang. Banyak orang berpikir bahwa bapak adalah dewa penolong bagi keluarga Bowo. Padahal bapak menolong dengan tujuan yang laknat. Sudah berapa kali bapak mencabuli anak-anak itu dengan menyodominya? Bapak pikir saya tidak tahu mengapa bapak melakukan itu? Bapak selalu membayangkan wajah Ibu Bowo pada wajah anak-anak itu. Dan untuk memenuhi nafsu yang tak tersampaikan itu, tanpa ampun bapak melakukan perbuatan bejat itu tanpa sepengetahuan Bowo. Lebih baik saya jual mereka ke para distributor pekerja anak. Dan bapak tak kan pernah menjumpai mereka lagi untuk dicabuli. Mereka bebas saya pun mendapatkan uang yang banyak untuk bisa memulai hidup saya lagi dengan pergi dari rumah terkutuk ini “. Bowo menangis. Merasa tak berguna karena tak bisa berbuat apa-apa untuk dapat menyelamatkan tubuh-tubuh kecil itu dari iblis-iblis yang berwajahkan manusia tersebut. Dalam keadaan tak berdaya, bowo memaksa untuk bangkit dari tempat tidur yang ternyata berlokasi di kamar Pak Rusdi. Dilihatnya pintu kamar terbuka. Bowo memaksa tubuhnya untuk berjalan keluar kamar. Pak Rusdi dan anaknya terkejut melihat kemunculan Bowo di ruang makan. Semuanya terdiam. Bowo melihat ada sebilah pisau buah di meja makan. Bergegas dalam kelunglaian Bowo mengambilnya, yang spontan membuat bapak dan anak itu semakin terkejut, pucat, merasa menjadi target operasi kemarahan Bowo. Bowo menatap mereka dengan tajam secara bergantian. Bapak dan anak itu merasa terteror dengan tatapan Bowo. Tak lama kemudian Bowo mengangkat tangan kanannya yang berisikan pisau ke arah Pak Rusdi. Pak Rusdi menghindar dan mencoba untuk merebut pisau itu, sementara dari belakang anak Pak Rusdi, si Dadang memukul kepala Bowo dengan kursi. Setelah bowo terjatuh, Pak Rusdi menancapkan pisau yang masih berada pada genggaman Bowo ke arah perut Bowo yang terluka, Bowo terkapar dihadapan bapak dan anak itu dengan mata yang terbelalak penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Pak Rusdi mendekati tubuh yang telah bergelimang darah itu. Di tempelkannya jari telunjuk ke arah hidung Bowo. Tak ada hembusan nafas lagi. Pak Rusdi terduduk. Memandangi tubuh tak bernyawa itu dengan pandangan kosong, terdengar olehnya pintu depan dibanting keras oleh anaknya. Anak Pak Rusdi, si Dadang pergi. Senyap. Sunyi. Sepi.


Bowo adalah remaja 17 tahun. Tak bersekolah. Tak memiliki cita-cita. Tak memiliki orangtua. Tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan tubuh-tubuh kecil yang sangat dicintainya itu. Bowo adalah remaja 17 tahun. Memiliki keberanian yang akan selalu hidup selamanya meski tanpa sekolah, tanpa cita-cita, tanpa keluarga dan tanpa kekuatan untuk menyelamatkan tubuh-tubuh kecil yang sangat dicintainya itu. [gkw]

KOMENTAR SAHABAT

INSIST

Hidayatullah ONLINE